Sebuah kalimat yang berganti atau dihilangkan satu kata saja bisa berubah menjadi hoax. 'Aku suka baju kamu ....' (kata 'baju' ternyata nggak kedengaran) jadi ... 'Aku suka kamu ....' 👻
Selagi Asher merayu Laura yang tak ingin bercinta karena kondisi sang suami yang belum pulih, Adam saat ini sedang berdiri menghadapi para tamu yang tak diundang. Adam Smith, pria yang berpengalaman dan berwibawa itu, sedang berdiri kaku di depan tamu dengan keringat dingin mengalir di tubuhnya. Dia bingung harus memulai dari mana untuk membuka acara yang seharusnya tak pernah ada. Setidaknya, bukan saat ini. Adam yakin jika Asher akan hidup lebih lama darinya. “Tuan Adam, bagaimana bisa orang segagah Tuan Asher yang sangat sehat bisa meninggal secepat ini?” celetuk rekan bisnis Adam. Adam berdeham berulang-ulang ketika beberapa orang ikut mengucap belasungkawa. Bahkan, ada beberapa wartawan datang dengan raut wajah penuh kesedihan. Asher Smith yang dikenal sebagai pria arogan itu, sebenarnya banyak membantu di berbagai bidang secara diam-diam. Banyak orang yang tertolong oleh Smith Group ketika Asher masih menjadi penguasa. Biarpun ada sebagian orang yang makan hati lantaran kat
Di kediaman Smith, Rangga sejak tadi juga mencari-cari keberadaan Rachel. Dia mendapat firasat buruk sejak Alan menghilang dari pandangannya. “Sabar, Mas .... Mungkin Rachel sedang bersama Tuan Asher dan Laura.” Vina menepuk-nepuk lembut lengan sang suami. Rangga dan Vina gegas menuju kamar Asher. Beruntung, Laura tak mau melayani Asher. Jika tidak, Rangga mungkin akan melihat mereka karena pintu tak terkunci, dan ayah Rachel itu menerobos masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu. “Tidak ada ....” Rangga semakin terlihat marah. “Mereka tidak ada di sini!” “A-ada apa, Tuan Rangga?” tanya Laura panik karena Asher masih menarik-narik dirinya. “Lepaskan aku ...,” bisiknya kepada Asher. Sudah sampai di kamar Asher, Vina tak enak hati kalau tidak menjenguk terlebih dulu. Dia menyeret Rangga duduk di dekat ranjang Asher. Asher memijat pelipisnya karena tak jadi bersenang-senang dengan sang istri. Rasa nyeri di perutnya masih sesekali terasa dan dia tetap menginginkan Laura. Rasa tak nyaman
Alan teringat kenangannya di masa lalu. Ketika seorang wanita pertama kali mencium pipinya. Rasanya begitu menyenangkan hingga membuat dirinya menginginkan ciuman terus-menerus dari wanita itu. Dia bersikap manis dan patuh agar mendapat ciuman di pipi atau kecupan singkat di bibirnya. Bibir wanita itu terasa empuk dan membuat hatinya terasa hangat. Lambat laun, para wanita lain datang dan juga ingin mencium pipinya. Alan jadi tak suka dengan ciuman di pipi. Oleh karena itu, setiap kali wanita itu akan mencium pipinya, Alan menolak dengan tegas. Namun, wanita itu sepertinya terobsesi dengan Alan. Karena hingga sekarang, dia tetap selalu mencuri-curi ciuman di pipinya. Wanita itu adalah Pamela Ruiz, ibu kesayangan Alan. Wanita pertama yang mencium pipinya. Anehnya, sekarang Alan sangat bahagia ketika pipinya merasakan bibir wanita lagi. Perutnya berdesir hingga menjalar di sekujur tubuh. Alan Ruiz mendadak menginginkan ciuman lain di pipi dan bibirnya. Seperti Pamela dan para wanit
Beberapa menit lalu sebelum Alan datang .... “Oh, kenapa ada cincin di sini?” Rachel mengambil cincin itu dari saku jas Alan. Alan sebelumnya mencengkeram kotak perhiasan kecil itu hingga rusak dan tak dapat ditutup. Juga karena sudah lama berada di saku Alan dan dibawa ke mana-mana, kotal kecil hitam itu jadi rapuh. Rachel memutar cincin itu dan melihat tulisan di bagian dalam. Kedua alisnya terangkat begitu membaca namanya terukir di sana. “Apa ini untukku?” Rachel tersenyum kecil membayangkan Alan malu-malu akan memberikan cincin itu. Lalu, angin mulai bertiup kencang sehingga jas Alan berkibar-kibar. Kotak perhiasan rusak itu terjatuh di pasir. Rachel memakai cincin itu agar tak terjatuh dan hilang di pasir. Sementara dia memungut kotak perhiasan dan mencoba memperbaikinya. Rachel pikir, dia tak sengaja merusak kotak itu. Di saat Alan terlihat dari kejauhan, Rachel dengan panik menyatukan kotak perhiasan itu meski tak berhasil. Dia buru-buru melepas cincin dari jari manisnya
“Kak Alan tidak sedang menganggapku sebagai Kak Laura, bukan?” Rachel tahu betapa Alan menyayangi Laura, setelah dia mendengar cerita dari Emma. Hampir jarang ada pria yang mau menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari pria lain jika bukan karena cinta. Rachel penasaran, apakah Alan masih menyimpan sedikit perasaan cinta kepada Laura? “Benar. Aku dulu pernah mengajak Laura ke tempat ini. Tetapi, saat bersamamu, aku sungguh lupa pernah ke tempat ini bersama Laura. Aku sempat teringat di saat bus yang membawa kita ternyata menuju tempat ini tadi, tetapi langsung lupa dalam beberapa detik.” Dari pengalaman teman-temannya yang memiliki kekasih, Alan biasanya mendengar kebohongan kecil teman-teman prianya kepada kekasih mereka. Bukan karena benar-benar ingin berbohong. Namun, para wanita itu sepertinya lebih suka mendengar kebohongan yang membuat hati mereka tenang. Ada pula pria yang jujur dan tak menutup-nutupi apa pun sesuai permintaan kekasihnya. Hasilnya, wanita itu akan tet
Silau …. Alan menutup wajah dengan lengannya. Dia tak bisa melihat apa pun, kecuali cahaya di sekelilingnya. Meski dia masih merasakan tangan Rachel dalam genggamannya. Apakah dirinya sedang bermimpi seperti yang sudah-sudah. Jika benar, Alan akan sangat kecewa. Namun, suara orang-orang berdatangan mulai menyadarkan dirinya. Alan Ruiz dan Rachel kini berdiri di tengah sorotan cahaya layaknya dua pemeran utama dalam sebuah panggung besar. “Ketemu juga kalian!” seru suara pria yang familier. Orang-orang yang merupakan pengawal Rangga mulai berdatangan mengelilingi Alan dan Rachel. Seolah mereka adalah kriminal yang telah lama dicari-cari dan tak akan membiarkan mereka kabur. Dion sedang berjalan ke arah mereka dengan langkah tegap. Dia menghela napas panjang dan melambaikan tangan agar anak buahnya mematikan lampu sorot tersebut. Jika bukan karena Rangga yang menyuruh mereka ikut mencari keberadaan Rachel dan Alan, Dion tak akan kesulitan. Dengan banyaknya orang yang melapor padan
Asher Smith tak pernah membenci Alan Ruiz. Biarpun Asher sempat cemburu ketika teringat Alan pernah melamar Laura, tetapi Asher tahu jika Alan bukan pria tak tahu malu yang akan berusaha merebut istrinya. Akan tetapi, ketika melihat pemandangan di depannya, Asher rasanya ingin tertawa. Alan bicara dengan tegas. Namun, setelah semua orang terdiam, wajahnya kembali tegang, bibirnya pun gemetaran. Sungguh, Asher tak membenci Alan. Tetapi, Asher tak keberatan menyaksikan Alan dipukul Rangga Cakrawala atas kekurangajarannya. Gara-gara Alan, citra Asher sebagai orang tua yang mengasuh Rachel selama Rangga tak ada menjadi hancur. Berjam-jam dia bicara sampai mulutnya pegal, tetapi Alan dengan mudah merusaknya. Selain itu, Asher sempat diabaikan saat mengomentari Alan. “Wah, berani sekali kau, Alan Ruiz! Kalian katanya pergi ke pantai … jangan-jangan, kau ingin meniruku dan Laura? Kau pasti ingin merasakan sensasi mendebarkan dengan Rachel di pantai,” tuduh Asher. Entah mengapa, Asher sel
Laura menyeret Asher keluar dari kamar itu. Dia tahu jika Asher masih ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Asher bukan lagi mengkhawatirkan Rachel. Laura bisa melihat dengan sangat jelas dari sorot mata sang suami yang berbinar-binar jika dia sedang menanti kegemparan yang akan terjadi. “Sebentar lagi makan malam. Kita harus mencari Claus dan Collin, Sayang! Mereka pasti bermain petak umpet bersama Papa dan Hanna.” “Kakiku lemas, tidak bisa bergerak. Sebentar lagi, biar ototku lemas dulu,” dalih Asher. Laura mencebik kesal. “Kau hanya ingin ikut campur, bukan? Berikan mereka privasi, Sayang.” Laura berusaha keras menyeret badan Asher yang katanya masih lemah tak berdaya. “Kau ini … aku harus menjaga Rangga, kalau-kalau dia mau memukul Alan,” gerutu Asher sepanjang jalan. Langkah Asher terhenti ketika melihat Simon terhimpit di antara dua lemari besar bersama Hanna. “Sedang apa lagi mereka?” tunjuk Asher. “Mereka sedang bermain … petak umpet.” Laura menjawab dengan ragu. Sebab,