Stres dapat membahayakan janin, melemahkan kandungan, sampai keguguran. Apalagi, kandungannya masih berusia muda. Asher tau nggak, ya?
DUK! Kepala Laura tepat membentur pada telapak tangan Asher yang sigap menghalangi di saat dirinya meringkuk dan dahinya hampir mengenai tepi meja. Perut Laura yang tadinya nyeri menjadi kram dan sangat menyakitkan hingga menjalar ke bawah. Asher gegas melangkah lebar dan membantu Laura duduk di sofa. Wanita itu tak menyadari perubahan mimik wajah sang atasan yang menjadi panik seketika. “Apa lagi yang sakit?” Pria yang tak biasa bicara lembut itu, suaranya terdengar seperti sedang mengeluh dan kesal. Laura jadi semakin tertekan karena merasa bahwa Asher sedang menyalahkan dirinya yang membuang-buang waktu berharga sang Presdir itu. “Maaf ... saya akan kembali ke ruangan saya sekarang … ugh …,” rintih Laura saat berusaha bangkit. “Diam di sini dan jangan banyak bergerak!” tegas Asher, kemudian dia segera menghubungi dokter perusahaan agar cepat datang. Melihat sang wanita merintih menahan sakit di perutnya, tangan Asher seperti hendak mengelus untuk meredakan sedikit kesakitanny
“Mama … Papa … Emma! Aku punya berita bagus!” seru Alan. Laura ingin menghentikan Alan karena malu. Tetapi, Alan terlihat sangat bahagia. Laura pun membuntuti Alan yang kini sedang mencari-cari seluruh anggota keluarganya. Emma yang mendengar teriakan Alan bergegas turun dari lantai dua dan menghampiri mereka. “Ada apa? Papa dan Mama sedang keluar menghadiri pertemuan dengan orang penting.” Alan berlari kecil, lalu memeluk Emma setengah mengangkat badannya. Emma meronta-ronta sambil memaki kakaknya. “Laura akan menjadi adik iparmu sebentar lagi, Em!” seru Alan. “Sungguh?” Senyuman terbit di wajah Emma. Dia sampai menjambak kecil rambut kakaknya karena berhasil membujuk sahabatnya. “Tapi … kenapa kau kelihatan bahagia sekali? Bukankah kau bilang kalau Laura hanya boc- um ….” Alan segera membekap mulut adiknya dengan telapak tangan. Dia ingat pernah mengatakan pada Emma jika Laura hanya bocah ingusan dan dia tak akan pernah tertarik atau menggodanya. Tentu saja, Alan mengatakan i
Laura duduk termenung di dalam kamar, memikirkan ucapan ayah Emma beberapa saat lalu. ‘Hillary Smith meminta perjodohan dengan Alan atau ….” Biarpun Benjamin tak mengatakan seluruhnya, Laura tahu apa yang dimaksud ayah Emma tersebut. Hillary Smith, keponakan dari Asher Smith itu memiliki perusahaan yang hampir setara dengan milik pamannya. Mana mungkin Keluarga Ruiz dapat menolak mereka? Hillary lebih dari mampu untuk menjatuhkan bisnis Keluarga Ruiz jika keinginannya ditolak. Karena itu, Benjamin mengatakan kepada Laura dan Alan untuk mempercepat pendaftaran pernikahan mereka. Kalaupun mereka telah memasukkan berkas ke Dinas Pencatatan Sipil, dan Hillary tetap bersikeras menikah dengan Alan, maka pendaftaran itu juga bisa dibatalkan olehnya. TOK TOK! Emma membuka pintu kamar yang tak tertutup rapat setelah mengetuknya. “Lau … aku mau bicara denganmu.” “Masuklah.” Laura berusaha mempertahankan ketenangan agar Emma tak khawatir padanya. Kepala Emma terus tertunduk tatkala dudu
“Kau masih ingat biaya penalti yang harus kau bayar saat mengundurkan diri, bukan?” Asher bicara setenang mungkin supaya tidak membuat Laura terlalu tertekan. Meskipun dadanya terasa panas karena kebodohan wanita di hadapannya yang bersikeras tak mau mengungkap kebenarannya. Laura mengeluarkan kertas lain dan menyerahkannya kepada Asher. “Saya sudah membaca baik-baik surat kontrak kerja ini, Tuan. Jika belum ada satu bulan bekerja di sini, maka saya bisa mengundurkan diri tanpa membayar biaya penalti. Saya hanya tidak akan mendapatkan gaji saya, dan saya bersedia menerima itu.” Sebelumnya, pikiran Laura terlalu kacau untuk membaca ulang surat kontrak tersebut. Dia hanya mendengarkan ucapan Asher tentang biaya penalti tersebut sehingga membuatnya percaya begitu saja. Kenapa Asher harus membohongi dirinya mengenai biaya penalti itu? Apa tujuan pria itu?Laura sempat penasaran, tetapi dia sudah tak peduli lagi dan segera menepis tanda tanya dalam benaknya.“Jadi, kau tidak jadi menikah
“Di mana ini?” Laura langsung duduk terbangun ketika siuman. Laura kini sedang berada di atas ranjang berukuran besar dan bergaya klasik. Matanya mengedar di sekeliling ruangan untuk mencari tahu di mana dirinya berada. Di ruangan luas dan terlihat sangat mewah itu, Laura bangun lalu bergerak menuju jendela. Dia sekarang berada di lantai tiga di sebuah rumah besar dan megah dengan halaman yang sangat luas. Laura mengingat kembali kejadian sebelumnya. Dia dibawa para pria menyeramkan berbaju hitam masuk ke dalam mobil. Perutnya terasa melilit sakit akibat ketakutan yang luar biasa. Hingga akhirnya, Laura tak sadarkan diri dan terbangun di tempat asing ini. Siapa orang-orang itu? Apakah Simon tahu tentang kehamilannya dan membawanya pergi jauh dari kota? Sebab, Laura tak pernah melihat lingkungan ini sebelumnya. Tak terlihat ada rumah selain tempatnya berada sekarang. Di balik gerbang besar di depan sana, hanya ada pepohonan dan satu-satunya jalan beraspal. Laura gegas menuju pintu
“Ada apa ini? Kenapa Anda ada di sini?!” Suara Laura melengking tinggi hingga dia berdiri menegakkan badan untuk menuntut jawaban. Pasangan suami istri pemilik rumah tersebut duduk depan Laura. Laura pun juga ikut duduk sambil masih menatap lekat mata gelap milik pria di depannya. “Apa aku tidak boleh ada di rumah orang tuaku sendiri?” Asher balas bertanya dengan nada santai. Dia kemudian duduk di samping Laura. Laura tampak sangat bingung dan terkejut. Kedua bahu Laura jatuh lemas. Dia sedang tidak bermimpi, bukan? ‘Ini … rumah Tuan Asher? Kenapa Tuan Asher membawaku ke sini?’ Asher menatap singkat Laura yang tak bisa mengalihkan pandangan darinya karena masih belum tersadar dari keterkejutan. Dia lantas beralih memperhatikan orang tuanya yang seolah menuntut penjelasan dengan tatapan mata mereka. “Jadi, kau sudah memutuskan akan menikah dengan Nona Laura Wilson ini?” tanya Adam Smith, ayah Asher. “Ya,” jawab Asher singkat. Regina Smith menghela napas panjang ketika melihat wa
Hening … semua terdiam setelah Asher membongkar aibnya sendiri. Laura tercengang sampai tak berkedip saat memandangi wajah pria itu. Kejadian hari ini terasa begitu cepat baginya. Laura baru ingat jika dokter Ruben yang memeriksa dirinya sejak semalam pun sudah tahu tentang kehamilannya. Kenapa Laura baru sadar akan hal ini? “A-Anda ….” Sejak kapan Asher tahu bahwa Laura sedang mengandung darah dagingnya? Laura ingin menanyakan itu, tetapi suaranya hilang ditelan rasa keterkejutan yang begitu hebat. “K-Kau … jangan bercanda, Asher Smith ….” Regina ingin membentak putranya, tetapi suaranya justru terdengar lirih. Asher masih duduk dengan santai dan terlihat seperti tak pernah melakukan kesalahan apa pun. “Bukankah Mama selalu khawatir aku tidak akan memiliki anak karena selalu menolak pernikahan? Sekarang, Mama sudah dapat menantu dan cucu sekaligus. Bukankah aku hebat?” Mulut Laura terbuka sambil menatap Asher dan Regina bergantian. Bagaimana bisa, orang setenang itu setela
Laura baru tahu ... meskipun telah bekerja hampir satu bulan bersama Asher. Ternyata, apa yang dikatakan orang-orang mengenai pria itu benar adanya. Asher merasa dunia hanya berputar di sekelilingnya. Dialah yang berhak memutuskan segala sesuatu tanpa memikirkan pendapat orang lain. Pria arogan dan dominan yang tak bisa disanggah atau ditolak keinginannya. Akan tetapi, Laura juga enggan kehilangan kebebasannya. “Maaf, Tuan Asher, tetapi saya berhak memutuskan akan menikah atau tidak.” “Kalau begitu, keluar dari rumah ini sekarang juga kalau tidak ingin menikah denganku,” usir Asher tanpa ekspresi. Sungguh? Semudah itu Asher akan melepaskannya? Laura pun tak akan membuang kesempatan supaya bisa pergi dari tempat itu. Dia hendak berbalik, tetapi baru dua langkah saja, Asher melontarkan ucapan yang membuat bulu kuduk Laura meremang dan otot-ototnya menegang sehingga tak bisa beranjak dari tempatnya. “Setelah kau keluar dari rumah ini, aku tidak akan membiarkanmu membesarkan darah da
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang