Bab 13: Terungkapnya Kisah dari Masa LaluXavier duduk dengan posisi bersedekap, menatap kosong melalui jendela kosannya pada langit nan gelap di luar sana. Cahaya remang dari sinar rembulanlah yang menjadi satu-satunya penerangan untuk Xavier, serta perasaan bersalahnya pada Aira dan Jey.Xavier menurunkan kedua kaki perlahan demi menghindari bunyi berderit dari kursi tua yang dia duduki. Perasaannya yang hampa berubah sakit saat melihat bibinya Aira, terlelap di ranjang lapuk miliknya.“Mereka tidur di kasur mahal dengan ranjang berukir, Bi. Kenapa hanya Bibi dan Paman yang bernasib seperti ini?” gumam Xavier tanpa mengalihkan tatapannya pada Aira dan Jey.Kkrrieet!Xavier segera berbalik saat melihat Jey bangun dari tidur. Pria berusia empat puluh tujuh tahun itu mengusap wajahnya yang masih dikuasai kantuk yang hebat. Lalu meluruskan kedua kakinya yang keram karena tidur di ranjang pendek yang tidak sesuai dengan tinggi t
Bab 14: Amarah NailaNaila duduk dengan kaki tersilang di kursi putar yang diperuntukkan oleh perusahaan khusus untuknya. Raut wajah Naila terus mengernyit, tangannya terkepal dan tatapannya lurus ke satu arah.Satu kaki Naila yang menggantung bergoyang-goyang, menandakan pemiliknya sedang kebingungan.Naila mengepalkan tangan lebih keras hingga menghentikan aliran darah di balik kulitnya yang seputih salju. Kini, tatapan Naila jatuh pada Dian yang berdiri tegak dengan kedua tangan berpangku di depan tubuhnya.“Kenapa bocah-bocah ini ada di kantorku, Dian?”Dian sedikit tersentak saat menerima pertanyaan yang seharusnya sudah bisa dia prediksi. Dian membenarkan letak kacamata tebal yang sedikit turun dengan telunjuk, sedangkan pikirannya sibuk mengembara, mencari kombinasi jawaban terbaik agar atasannya puas.Naila menatap bergantian pada tiga meja yang berderet di sisi kiri kantornya yang luas. Tiap-tiap meja telah dihu
Bab 15: Pemuda Penggoda“Aku tidak memintamu memandang rendah orang lain seperti ini, Putriku!” ucap Gabriel tepat di hadapan Naila.Gabriel menautkan tatapannya pada kedua manik mata Naila. Rasa kecewa yang terlukis di bola mata Gabriel membuat Naila meneguk salivanya.“Pa? Aku tidak memandang rendah!” Gadis itu mengajukan pembelaan.“Kamu memang memandang rendah pada mereka, Naila!” Gabriel membalas Naila dengan suara yang tinggi. Naila tersentak begitu melihat balasan jawaban dari Gabriel. Tercetak jelas di wajah lelaki itu, jika kekecewaan dan rasa marah telah memenuhi jiwanya. “Adrian adikmu, Hilda juga sepupumu sendiri. Lalu siapa yang membuatmu merasa terganggu? Xavier? Anak itu? Apa aku dan mamamu pernah mengajarkanmu untuk bersikap sombong seperti ini?” Gabriel melanjutkan kalimatnya. Naila tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini dari Gabriel. Puluhan tahun hidup seba
Bab 16: Egoisnya Naila Pemuda itu mengingat jelas perjanjian yang dia ikrarkan dengan Naila sebelum menjatuhkan pilihan untuk mengikuti keinginan gadis itu. Namun saat ini dia begitu menyesali keputusan yang dia buat, meski awalnya dengan niat untuk membahagiakan gadis itu.Xavier menatap hampa pada butik megah yang didominasi warna kuning yang merupakan efek dari lampu di sana. Sudah hampir seharian dia ikut berkeliling menemani Naila. Tidak sedikit pun juga ada rasa senang yang terlintas di benaknya.Bagi pemuda itu, bolos bukanlah belanja seharian. Bolos bukanlah bermain dengan menggesek kartu kredit di mesin EDC hingga limitnya habis. Bolos juga bukan soal berkeliling di mall lalu keluar masuk toko-toko mahal yang harga satu barangnya saja cukup untuk mengisi perut Xavier selama sebulan.Xavier menempati sofa bundar yang nyaman di salah satu sudut ruangan. Bosan menunggui Naila yang begitu sibuk berganti-ganti pakai
Bab 17: Moment Pertama“Sayang ... aku sudah membeli semua kebutuhanmu dari butik, termasuk lingerie merah yang kamu inginkan. Bukankah sudah waktunya untuk pulang? Aku sudah lapar, dan aku ingin segera memakan dirimu, malam ini,” ujar Xavier dengan suara yang sedikit menggoda.Naila menatap Xavier dengan tatapan yang menghunus tajam. Baru saja dia dipertemukan kembali dengan seniornya dulu di kampus, tapi saat ini dirinya seperti ditelanjangi oleh Xavier dengan ucapan mesum yang dilontarkan pemuda itu.“Siapa dia, Nail?” Pria blasteran yang melihat kekagetan di wajah Naila segera membuka suara. “Aku ....”“Adikku, Bram!” Naila siaga memotong sebelum Xavier kembali melayangkan ucapan yang lebih memalukan.“Ah ... kamu meminta adikmu untuk membeli ....” Bram menggantung kalimatnya. Namun kedua ujung telunjuknya bergerak seiras membentuk segitiga demi mendeskripsikan kata lingerie. “Tidak! Bukan! Omong kos
Bab 18: Apa Salahnya?Rumah mewah milik keluarga Halim terasa lebih lengang. Beberapa pekerja yang biasanya aktif mengurus rumah megah itu sebagian besarnya telah beristirahat. Hanya beberapa yang terlihat dengan mata berlalu lalang di sana, entah bersiap-siap untuk tidur, atau bergantian dengan yang lain untuk berjaga.Berbeda dengan para pekerjanya yang telah memilih untuk menikmati malam, merebahkan punggung serta meluruskan kaki yang kelelahan menopang tubuh. Para anggota keluarga pemilik rumah tersebut masih terjaga. Nyonya Halim yang enggan beranjak dari pintu depan rumah terus saja bolak-balik. Wajahnya terlihat gusar, sesekali menghela nafas demi menetralkan kegelisahan yang melanda dirinya. Gaun malamnya yang tertiup angin setiap kali dia bergerak, juga rambutnya yang tersanggul asal di puncak kepala tetap saja membuatnya terlihat mempesona. Begitu juga dengan sang suami, hanya berbalut piyama bernuansa navy yang be
Bab 19: Cibiran Adrian Mentari di bulan Januari mengintip malu-malu dari balik tirai tipis selembut salju. Kaca jendela lebar yang menjadi pemisahnya, seakan tidak mau tahu jika mentari begitu rindu pada isi ruangan itu. Sesekali, kicau burung dengan surai kuning menjadi lagu di pagi yang syahdu. Dibuai angin sejuk, lalu aroma embun yang lebih manis dari madu. - Bemine-- -Pagi itu, ditemani semburat matahari yang mencuri masuk lewat jendela kamar, gadis dengan tubuh langsing berbalut piyama abu-abu masih memejamkan mata. Enggan beranjak dari buaian selimutnya yang selembut sutra.Kedua matanya terlihat bengkak, mata panda melingkari kelopak bawah, serta rambut lurus yang berakhir khusut.Semalam sudah, pemilik dari kamar itu mengajukan perang dingin dengan pria berperawakan tegap dengan kekayaan melimpah ruah itu. Ngambek, karena dimarahi di
Bab 20: Seseorang MenghilangGadis bernama Hilda yang duduk manis di depan Adrian begitu sibuk memainkan gawai yang berbalut case merah muda kesayangannya. Sesekali gadis itu terkekeh, lalu melanjutkan meng-scroll layar gawainya, memantau satu per satu perubahan yang terjadi di dunia ini melalui layar gawainya.Adrian yang sedari tadi menikmati sepiring nasi goreng yang masih hangat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Keberadaan Hilda seorang tidak bisa mengisi kekosongan yang disebabkan oleh ketidakhadiran Xavier.Makan siang di restoran seberang kantor, meski memilih menu spesial sekalipun, tetap saja terasa hambar jika tanpa Xavier.Berbeda dengan Hilda, Xavier hampir tidak pernah memainkan gawai seperti yang dia dan Hilda lakukan. Apalagi menjadi budak dari benda pipih persegi panjang yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Itulah yang menyebabkan pemuda itu tidak bisa memainkan game seperti Adrian. Bahkan tidak mengerti atura