Brama mengambil langkah mundur, wajahnya tertutup. “Ma, aku nggak mau berdebat dengan mama sekarang ini. Sebaiknya mama tenangkan diri dulu.”Dia tidak pernah percaya kalau pernikahannya akan menentukan masa depannya di perusahaan. Dia sudah menjadi direktur di perusahaan itu selama beberapa tahun.Semua pengalaman, kegagalan dan keberhasilan mengajarinya banyak hal. Dia percaya, untuk mengembangkan perusahaan itu dia tidak perlu harus menikah dengan perempuan.Harga dirinya tidak mengizinkan Brama menjadi sosok seperti ayahnya."Brama!”Tapi Brama sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti. "Ma, mama tenang saja. Aku bukan laki-laki naif yang akan membuang semua yang aku miliki untuk cinta.”Dia percaya dia bisa mendapatkan semuanya tanpa harus kehilangan salah satunya. Kontrol atas pernikahannya dan Abiyasa Grup, dia akan mendapatkan semuanya.Ibu Brama hanya bisa menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan dan rasa kesal bercampu
Lift apartemen bergerak pelan, namun detak jantung Rinjani berdegup kencang. Kulitnya masih terasa hangat di tempat Brama menyentuhnya tadi, seolah bekas jari-jarinya membakar.Apa yang terjadi padanya? Pikiran itu terus mengusik. Wajah Brama yang biasanya tegar tadi terlihat begitu rapuh—matanya redup, garis wajahnya kaku oleh stres yang tak terkatakan.Tidak. Rinjani menggeleng keras. Dia Brama. Dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tapi alasan itu tidak membuat dadanya lega. Rasanya seperti berbohong pada diri sendiri.Rinjani memaksa dirinya untuk tidak memikirkan masalah itu lebih jauh lagi.Pintu apartemen terbuka. Suara obrolan orangtuanya dari ruang tamu menyambutnya."Yu? Kamu pulang larut sekali," suara hangat ibu menyapa, matanya penuh pertanyaan.Rinjani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Bu. Tadi habis dari rumah sakit, bertemu dengan orangtua Jagat.”“Secepat itu? Bukannya kalian baru kenal?”Rinjani terdiam mendengar pertanyaan ibunya itu, setelah ragu sesaat
“Secepatnya, Tante. Karena keadaan mama saya sudah cukup mendesak, harus segera dioperasi.”“Aku dan Jagat berencana mengadakan acara tukar cincin sederhana saja di depan orangtua Jagat, untuk membuat ibu Jagat lebih tenang.” Takut kalau orangtua Rinjani tidak senang dengan kalimat itu, Jagat buru-buru menambahkan. “Ini Cuma sekedar untuk menunjukkan ke mama saya kalau serius hendak menikah ke mama saya. Setelah keadaan mama membaik, kami akan mengulangi semua acara itu dengan lebih serius.”Udara di ruang tamu apartemen terasa berat. Orangtua Rinjani duduk berhadapan dengan Jagat, wajah mereka dipenuhi keraguan. Ibu Rinjani memutar-mutar gelas teh di tangannya, matanya tak lepas dari wajah pemuda di hadapannya."Jujur, kami masih sulit menerima, semuanya secepat ini. Apalagi, kami sama sekali belum bertemu dengan keluargamu.”Jagat duduk tegak, tangannya tergenggam di atas lutut. "Saya mengerti kekhawatiran Om dan Tante, tapi keadaan mama benar-benar tidak mendukung untuk pem
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
“Secepatnya, Tante. Karena keadaan mama saya sudah cukup mendesak, harus segera dioperasi.”“Aku dan Jagat berencana mengadakan acara tukar cincin sederhana saja di depan orangtua Jagat, untuk membuat ibu Jagat lebih tenang.” Takut kalau orangtua Rinjani tidak senang dengan kalimat itu, Jagat buru-buru menambahkan. “Ini Cuma sekedar untuk menunjukkan ke mama saya kalau serius hendak menikah ke mama saya. Setelah keadaan mama membaik, kami akan mengulangi semua acara itu dengan lebih serius.”Udara di ruang tamu apartemen terasa berat. Orangtua Rinjani duduk berhadapan dengan Jagat, wajah mereka dipenuhi keraguan. Ibu Rinjani memutar-mutar gelas teh di tangannya, matanya tak lepas dari wajah pemuda di hadapannya."Jujur, kami masih sulit menerima, semuanya secepat ini. Apalagi, kami sama sekali belum bertemu dengan keluargamu.”Jagat duduk tegak, tangannya tergenggam di atas lutut. "Saya mengerti kekhawatiran Om dan Tante, tapi keadaan mama benar-benar tidak mendukung untuk pem
Lift apartemen bergerak pelan, namun detak jantung Rinjani berdegup kencang. Kulitnya masih terasa hangat di tempat Brama menyentuhnya tadi, seolah bekas jari-jarinya membakar.Apa yang terjadi padanya? Pikiran itu terus mengusik. Wajah Brama yang biasanya tegar tadi terlihat begitu rapuh—matanya redup, garis wajahnya kaku oleh stres yang tak terkatakan.Tidak. Rinjani menggeleng keras. Dia Brama. Dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tapi alasan itu tidak membuat dadanya lega. Rasanya seperti berbohong pada diri sendiri.Rinjani memaksa dirinya untuk tidak memikirkan masalah itu lebih jauh lagi.Pintu apartemen terbuka. Suara obrolan orangtuanya dari ruang tamu menyambutnya."Yu? Kamu pulang larut sekali," suara hangat ibu menyapa, matanya penuh pertanyaan.Rinjani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Bu. Tadi habis dari rumah sakit, bertemu dengan orangtua Jagat.”“Secepat itu? Bukannya kalian baru kenal?”Rinjani terdiam mendengar pertanyaan ibunya itu, setelah ragu sesaat
Brama mengambil langkah mundur, wajahnya tertutup. “Ma, aku nggak mau berdebat dengan mama sekarang ini. Sebaiknya mama tenangkan diri dulu.”Dia tidak pernah percaya kalau pernikahannya akan menentukan masa depannya di perusahaan. Dia sudah menjadi direktur di perusahaan itu selama beberapa tahun.Semua pengalaman, kegagalan dan keberhasilan mengajarinya banyak hal. Dia percaya, untuk mengembangkan perusahaan itu dia tidak perlu harus menikah dengan perempuan.Harga dirinya tidak mengizinkan Brama menjadi sosok seperti ayahnya."Brama!”Tapi Brama sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti. "Ma, mama tenang saja. Aku bukan laki-laki naif yang akan membuang semua yang aku miliki untuk cinta.”Dia percaya dia bisa mendapatkan semuanya tanpa harus kehilangan salah satunya. Kontrol atas pernikahannya dan Abiyasa Grup, dia akan mendapatkan semuanya.Ibu Brama hanya bisa menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan dan rasa kesal bercampu
Brama memilih diam, dengan keras kepala dia menolak untuk minta maaf atau menundukkan kepala di depan ayahnya.“Bahkan Rinjani lebih bisa mengontrol emosinya! Kamu kalah sama perempuan!"Nama Rinjani seperti pisau yang menancap. "Jangan bandingkan aku dengannya." Tangan Brama terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sekarang ini, mungkin Rinjani sama sekali tidak peduli lagi padanya.Dia bahkan sudah memiliki pria lain di sisinya. Saat itu, emosi itu kembali memuncak dalam dirinya. Dia menahan diri sejak tadi untuk tidak memborbardir nomor telepon Rinjani dengan telepon dan pesan untuk menanyakan siapakah laki-laki itu."Kalau kamu tidak bisa mengontrol perasaanmu terhadap mantan karyawan itu, lebih baik kau pecat dia sekarang juga!" Ayahnya menatap tajam. "Direktur Abiyasa Grup tidak boleh dikendalikan oleh perempuan!"Brama menarik napas dalam-dalam. "Aku bisa mengontrol diri."Ayahnya tertawa sinis. "Benarkah? Aku harap kamu benar-benar melakukan perkataanmu!” Pria itu ber
Rinjani tersipu, sementara Jagat hanya diam, matanya menatap Rinjani dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara syukur atau beban harus bertunangan dengan perempuan yang baru dia kenal."Jadi, kapan acara tunangannya?" tanya Ibu Jagat bersemangat.Rinjani tersenyum. "Bagaimana kalau minggu depan? Sederhana saja, di sini jika Tante, tidak bisa keluar rumah sakit."Ibu Jagat mengangguk antusias. "Nggak boleh. Ini kan acara pertunangan kalian, masa di rumah sakit. Nanti orangtua kamu nggak setuju, mengiranya Jagat nggak serius.”“Nggak begitu, Tante. Orangtua saya pasti akan menerima saja kok. Apalagi kondisinya memang memaksa.”“Iya, Ma. Nanti nikahannya bisa dibuat agak besar kalau mama sudah sembuh.”Ibu Jagat masih terlihat enggan dia menatap ke arah suaminya.Ayah Jagat menghela napas. "Papa akan coba bicara sama dokternya, tapi kalau dokternya nggak ngasih mama izin, kita harus tetap mengadakannya di sini, oke? Tenang saja nanti papa yang bantu bicara ke orangtua Rinjani."Rinjani
Tetapi, Brama bukan orang yang bisa melepaskan semua hanya untuk emosi sesaat. Mengingat semua tujuannya, Brama kembali menahan dirinya. “Ayo, papa sudah nunggu kita, Bram.”Kiara menarik Brama menjauh dari sana. Brama menghela napas gusar. “Besok kita bicara di kantor!”“Hmm.”Udara di antara mereka terasa semakin tegang. Rinjani bisa merasakan panas dari tatapan Brama, tapi dia juga merasakan ketegangan di bahu Jagat sudah pasang badan di depannya.Brama pergi meninggalkan Rinjani di sana bersama Kiara. Rinjani menghembuskan napas panjang.“Kita pergi?” tanya Jagat.Jagat mengangguk, lalu dengan sengaja meletakkan tangan di punggung Rinjani, membimbingnya pergi.Saat mereka sudah cukup jauh, Jagat menghela napas. "Kamu baik-baik saja?"Rinjani mengangguk, tapi senyumnya terlihat terpaksa. "Aku nggak papa. Maaf, membuat kamu terseret masalah ini.”Jagat memandangnya dengan serius. "Its okay. Aku nggak masalah. Masih ... sulit melihat dia sama perempuan lain?”Rinjani tertegun.
"Rin?" Jagat memanggil, memecah lamunannya. “Are you okay?”Rinjani menghela napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja, maaf sedikit melamun tadi. Aku gugup,” dustanya.Tapi hatinya berbicara lain. Setiap langkah mendekati hole ke-9 terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca."Pak Hendra!" sapa Jagat dengan ramah saat mereka tiba di lokasi.Seorang pria berbadan tegap berbalik, wajahnya langsung berseri. "Jagat! Akhirnya kamu datang juga!"Mereka berjabat tangan erat."Ini Rinjani, orang yang mau ketemu Bapak,” perkenalkan Jagat.Rinjani menyodorkan tangannya. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Hendra.""Ah, halo. Jagat sudah menceritakan tentangmu. Dari Abiyasa Grup, kan? " ujar Hendra sambil tersenyum. "Ayo kita bicara sambil jalan."Mereka mulai berjalan menyusuri lapangan. Rinjani mengeluarkan proposal dari tasnya, menjelaskan dengan lugas rencana proyek mereka."Untuk harga, ini jumlah yang bisa kami berikan untuk bapak, tapi bapak tenang saja, semuanya setelah itu akan tim kami
"Tunggu," Rinjani tiba-tiba menyela. “Jangan dulu, biar aku usahakan sendiri dulu saja.”Jagat tertawa pendek. "Memangnya kenapa? Aku senang bisa membantu." Matanya menatap Rinjani. "Lagipula, Pak Hendra masih sedikit hutang sama aku. Jadi ini win-win solution."Rinjani mengerutkan kening. "Hutang?""Hmm, aku pernah membantunya menyelesaikan masalah perusahaannya, aku juga pernah membantunya waktu hampir pailit, jadi dia akan lebih mendengarkanku dibanding kamu yang belum dia kenal," jawab Jagat santai, seperti itu hal sepele. "Jadi tenang saja, aku nggak keberatan."Radit menyikut lembut lengan kakaknya. "Dengerin tuh, Kak. Jagat aja nggak masalah! Koneksi itu dimanfaatkan "Rinjani menatap kedua pria itu bergantian. Dadanya terasa sesak oleh perasaan aneh—antara bersyukur dan tidak enak hati."Terima kasih ....”“Sama-sama. Itu Cuma hal kecil saja untukku, kamu nggak perlu merasa segan.” Karena dia sudah menerimanya, Rinjani memutuskan untuk menggunakan cara lain untuk berterim
***“Woi, Kak. Mikirin apa? Bengong saja dari tadi. Itu sampai laptop yang nontonin kakak!”Radit menepuk pundak Rinjani pelan menyadarkan Rinjani dari lamunannya. Rinjani tersentak kaget. Dia masih memikirkan kalimat yang diucapkan Jagat tadi sehingga dia sama sekali tidak fokus."Kak, ini apa sih?" Radit mengintip dari balik bahu Rinjani, matanya menyapu dokumen yang terpampang di layar laptop.Rinjani menghela napas, jari-jemarinya masih menari di atas keyboard. "Rencana bisnis baru. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya, biar ada banyak waktu untuk ketemu sama penanggung jawabnya. Susah banget menghubungi yang nge-handle lahan itu."Radit mengerutkan kening, lalu membaca nama di bagian penanggung jawab proyek. "Hold on... ini kan Pak Hendra? Jagat kenal baik sama dia, lho!"Rinjani berhenti mengetik. "Jagat?” Kenapa nama laki-laki itu lagi? Apa belum cukup dia membuat Rinjani sakit kepala memikirkan pertemuan pertama mereka."Iya! Mereka satu klub golf. Jagat juga pernah m