"Nona ... bangunlah. Saya membawakan makan malam untuk Anda." Serra meletakan nampan berisi makanan di meja.
Gadis pelayan itu kemudian mendekati Francesca dan berjongkok di hadapannya.Mata Francesca sudah terbuka, tetapi gadis itu hanya diam saja tak menghiraukan perkataan Serra."Nona, kau baik-baik saja, bukan?" Serra meletakan tangannya di kening Francesca.Dia merasa lega ketika tidak merasakan panas di tubuh Francesca. Dirapikannya rambut gadis cantik yang tergerai menutupi wajahnya.
"Makanlah, Nona. Hari sudah malam." "Aku tidak lapar," sahut Francesca lemah."Kau harus makan, Nona. Kau harus kuat. Bukankah kau ingin bertemu dengan saudaramu?" Perkataan Serra membuat Francesca mengalihkan pandangan ke arah wanita itu, menatap penuh harap."Serra ... kakakku mencariku, bukan? Mereka ada di kota ini, kan?" gumaman Francesca terdengar sangat lemah."Nona ...." Serra tak kuasaFrancesca mengerjapkan matanya saat merasakan sentuhan hangat di wajahnya. Sentuhan lembut itu sesaat membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.Andaikan saja kehangatan itu datang dari sosok pangeran yang mencintainya dengan tulus, bukan sosok yang membenci dan menyiksa dirinya, gadis itu pasti akan merasa bahagia.Saat mata indah lentik dengan manik berwarna hazel itu terbuka, yang ia lihat adalah sosok pria bermata biru yang selalu menyiksa dirinya.Tangannya memegang tangan kekar yang berlabuh di wajahnya. Ia terdiam sejenak terpesona dengan mata biru yang menatapnya dengan lembut.Mata biru secerah langit dan sedingin samudra itu seakan hendak menembus jauh ke dalam batinnya. Keheningan malam dalam keremangan lampu, membuat dua pasang mata itu saling terpaku mencari makna di balik tatapan.Francesca menepiskan tangan Enrico dari wajahnya. Dia beringsut dari tidur dan duduk bersandar pada din
"Aku memang Monster. Dan semua keputusan ada di tanganmu, Malaikatku." bisik Enrico lagi menekankan kalimat sebelumnya.Bibir Francesca menjadi kelu. Dia tidak tahu harus berkata apa. Batinnya memberontak untuk membuat keputusan. Dia tidak mau menikah dengan cara seperti ini.Air matanya terus mengalir, kedua tangannya mencengkeram kemeja Enrico. Pria itu bagaikan seonggok mesin, tidak bereaksi terhadap tangisan pilu gadis dalam dekapannya.Lutut-lutut kaki Francesca bergetar dan menjadi lemas, gadis itu tak berdaya dan dia ambruk dalam dekapan Monster. Pria yang sudah memberinya pilihan sulit.Monster itu tersenyum tipis dengan mendekap tubuh rapuh Malaikat cantiknya. Dia membiarkan air mata gadis itu membasahi kemejanya. Bahkan tangan pria itu membelai rambut Francesca dengan lembut."Sssttt ... menangislah sepuasmu. Kau masih punya waktu satu jam lagi."Kata-kata lembut Enrico tidak membuat Francesca menjadi
Francesca menghela napasnya dengan berat. Dia menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sudah cukup lama dirinya tidak pernah berdiri dan mematut diri di depan cermin.Saat ini Francesca hampir tidak dapat mengenali dirinya sendiri. Seorang penata rias sudah menyulap wajahnya menjadi sangat cantik. Polesan sederhana namun sangat menonjolkan mata lebar dan bibir penuhnya, membuat Francesca nyaris tak mengenali dirinya sendiri.Rambutnya yang lurus panjang sudah di bentuk bergelombang. Tergerai sempurna dan indah di bahunya yang terbuka. Gaun putih bergelombang seindah bulu-bulu angsa yang mengembang membebat tubuh mungilnya.Gadis itu mendesah melihat tampilan dirinya. Begitu cantik dan anggun di depan cermin tapi terasa beban berat yang mengganjal di dalam diri. Ia menghela napas dengan berat, berusaha untuk belajar tersenyum.Francesca memutar tubuhnya ketika mendengar pintu di buka. Dia mundur selangkah dan berpegangan pada
Francesca melangkah menuju altar dengan Devonte yang mengamit lengannya. Pernikahan yang sangat sederhana di dalam Capel di Mansion Enrico.Di depan altar sudah berdiri Enrico yang menatapnya dengan lembut. Namun, Francesca tidak merasakan kelembutan dari mata dingin tersebut. Hatinya di liputi pergolakan dan keinginan untuk lari.Tidak ada tamu undangan, hanya Leonardo dan seluruh pelayan Mansion. Tidak ada yang berani menyuarakan keberatan akan pernikahan ini, ketika Pastor menanyakan."Apakah ada yang keberatan dengan pernikahan ini, jika ada berbicaralah sekarang atau diam selamanya."Hati Francesca terasa miris mendengarnya. Dia ingin berteriak menyuarakan kegundahan hatinya, namun pandangan tajam Devonte yang menujukan pistol di balik jas yang dia kenakan, membuat Francesca bungkam."Aku Enrico Torres, menerimamu Francesca Knight, sebagai istriku. Untuk memiliki satu sama lain dalam duka, bahagia, mis
"Kak Conrad! Aaronn!" Francesca berlari ke pelukan kedua saudara laki-lakinya.Gadis itu tak dapat membendung rasa bahagia, ketika Enrico menepati janjinya. Hari ini pria itu mengirim seorang pengawalnya untuk membawa Conrad dan Aaron ke Mansion.Mereka bertiga berpelukan dengan sangat erat menumpahkan kerinduan. Hati Francesca merasa terharu dan bahagia karena setelah berbulan-bulan, akhirnya dia bisa bertemu dengan mereka.Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, hingga tak satupun yang bisa membedakan apakah tangisan itu ungkapan kebahagiaan atau kesedihan.Conrad memeluk Francesca dengan penuh kasih sayang, mengelus rambut adiknya penuh kerinduan. Ciuman di kening yang ia daratkan, cukup membuat Enrico mengeraskan rahangnya.Pria itu sebenarnya tidak rela melihat Francesca berada dalam pelukan kedua pemuda tampan dengan tubuh atheleteis dan penampilan yang memukau. Pemuda yang hanya dengan berdiri di
"Francesca! Tatap mataku dan katakan, apakah kau benar sudah menikah?" tanya Conrad dengan lembut namun tegas.Francesca yang masih menyembunyikan dirinya dalam pelukan Enrico, perlahan melepaskan gigitannya pada bahu pria itu. Pertanyaan yang sama sudah dilontarkan Conrad sebanyak dua kali, membutuhkan jawaban.Dari sudut pandang Conrad dan Aaron, mereka bisa melihat tatapan Enrico yang tampak begitu hangat. Tangan pria itu tak pernah berhenti membelai rambut Francesca, sementara tangan satunya menggenggam tangan mungil gadis itu seolah memberinya semangat dan perlindungan.Perlahan Francesca menegakan kepalanya, mengusap wajah dengan sebelah tangan, kemudian menoleh pada kedua saudara prianya.Senyuman terukir di wajahnya malu-malu."Maafkan aku Kakak, Aaron ... aku sudah bertindak di luar batas," ujarnya perlahan."Jadi ... kau benar sudah menikah, Francesca?" tanya Aaron dengan berang."Iya ...,"
Francesca menaiki lantai dua dengan langkah tergesa-gesa. Dia tidak sanggup menghadapi kedua saudaranya yang terasa begitu mengintimidasi dirinya.Lebih lama lagi berada di dekat mereka, Francesca takut sedikit kesalahan yang dia perbuat bisa mencelakakan Conrad dan Aaron.Tidak mungkin dia membiarkan hal itu terjadi, hanya untuk kebebasannya.Gadis itu melangkah dengan air mata yang bercucuran, matanya amat sangat berkabut dan tubuhnya terasa lemas. Hampir saja dia jatuh karena tak kuat menahan beban penderitaan.Francesca bersandar di dinding lorong, mengintip dari celah-celah pagar pembatas, ia melihat Conrad dan Aaron pergi. Kakinya melangkah ke arah pagar membatas, mencengkeram kuat-kuat besi itu.Ingin rasanya dia pergi berlari, mengejar mereka. Memeluk dan mengucapkan kata maaf. Hatinya sangat hancur mengingat bagaimana dirinya sudah melukai kedua saudaranya.Francesca berlari ke arah balkoni di ruan
"Ja---jangan mendekat!" teriak Francesca dengan gugup.Punggungnya sudah bersandar di dinding. Tidak ada tempat lagi baginya untuk menghindar. Predator itu menyeringai menatap ke arah dirinya. Tatapan yang siap menerkam dan memakan dirinya habis.Tidak ada jalan lagi untuk Francesca menghindar. Tiga langkah lagi Monster itu bisa dipastikan akan mendapatkan dirinya. Otak gadis itu berputar hingga tubuhnya menjadi lemas dan ia memutuskan untuk pura-pura pingsan."Hei!"Tangan Enrico dengan cepat menangkap tubuh Francesca yang jatuh. Dia memeluk bidadarinya dengan perasaan khawatir. Gadis yang semula tampak kuat dan menghajar Leonardo hingga babak belur, tiba-tiba tersungkur pingsan.Dibelainya lembut kening gadis itu dan perlahan dia mengangkat tubuh Francesca ke atas tempat tidur. Kembali ia menepuk pipi gadis itu perlahan beberapa kali, tanpa ada reaksi balik yang didapatkannya."Francesca ... gadis
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert