Rama berjalan melewati ruang tengah dimana Bilna sedang menyapu. Melihat siapa yang lewat, perempuan itu punya sebuah inisiatif. "Braaakh...." Terdengar sesuatu yang menabrak meja. "Aduuuuh... Tuan... Tolong... Tolongin Bilnaa... " Bilna rupanya, wanita itu tiba-tiba tersungkur, menabrak meja yang ada di depannya. Rama merasa heran bukannya tadi wanita itu sedang baik-baik saja menyapu, kok malah sekarang tiba-tiba bisa terjatuh. Tubuh Bilna terduduk lunglai di lantai. Dengan pakaian bagian bawah yang tersingkap, sehingga menampakan paha mulusnya. "Kamu bisa bangun sendiri kan. Aku tak kuat bila harus mengangkatmu." Jawab Rama jutek. "Aduh Tuan tolong, Bilna udah nggak kuat untuk bangun nih. Kaki Bilna sakit." Wanita itu merintih-rintih. Dengan tangan mengelus-elus kakinya. Nampak berusaha bangun namun tidak berhasil. Rama merasa serba salah. Apakah harus Dia membantu Bilna untuk bangun atau tidak. Namun karena mengetahui kelicikan Bilna, Rama
"Selamat, Pak. Istri Anda positif hamil." Bu dokter menyerahkan secarik kertas kepada pasangan suami istri tersebut. "Beneran, Dok?" Rama antusias. Dokter itu tersenyum sambil mengangguk. "Alhamdulillah... Kita akan punya anak, sayang. Terima kasih Tuhaaan." Rama memeluk istrinya haru. Sedangkan Aliyah, hanya diam. Satu dua bulir airmata jatuh dari sudut matanya, tanpa dia sadari. Rama segera menyisihkan embun yang menetes dari sudut mata Aliyah. Menyadari istrinya tidak dalam keadaan baik-baik saja, Rama dengan cepat mengurus pembayaran atas jasa dokter yang tadi membantu mereka. "Udah selesai, sayang. Yuk kita pulang." Rama merangkul pundak istrinya. Tidak ada rasa malu membayanginya karena melakukan itu di tempat banyak orang. "Sayang, kamu mau makan Apa?" Tanya Rama lembut. Aliyah tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Mama pengen pulang, Pa." Ucap Aliyah. Rama heran dengan sikap Aliyah. Di mobil, Rama tidak langsung menghi
Sesuai permintaan Bilna ke Mbok Rima, Hari ini Bilna di ajak oleh Mbok Rima ke supermarket untuk belanja kebutuhan dapur. Sebagai imbalannya, nanti Bilna akan memberikan seperempat Gajinya ke mbok Rima. Daftar catatan belanja sudah di berikan oleh Nyonya Marissa ke mbok Rima. Bilna merasa mendapatkan angin segar. "Ini kesempatan yang bagus" gumamnya. Maka pergilah Bilna dan Mbok Rima menuju ke supermarket. Di dalam supermarket, Entah mengapa di area bagian bawah Bilna semakin nyeri. Nyeri itu sulit untuk digambarkan. Mbok Rima yang melihat Bilna duduk kesakitan segera menghampirinya. "Ada apa, Bilna. Ada sesuatu pada perutmu?" Mbok Rima memegang pundak Bilna. "Perut Bilna terasa sakit, Mbok" "Udah biasa atau bagaimana?" "Biasanya sih memang sering terasa nyeri, tapi tidak sesakit ini. Ini sudah beberapa bulan, Mbok." "Kalau begitu seharusnya kamu harus segera periksa ke dokter. Siapa tahu ada penyakit yang serius." Saran mbok Rima.
"Halooo Bilna. Obat apa yang kau keluarkan dari kantongmu barusan? kenapa kau masukkan obat itu ke dalam obat-obatan yang akan diminum oleh Aliyah menantuku?" Sekujur tubuh Bilna gemetar melihat sesosok wanita paruh baya yang tiba-tiba keluar dari balik daun pintu. "Tidak ada obat apa-apa nyonya, Ini semua adalah obat Mbak Aliyah." Jawab Bilba dengan suara takut. "Oh begitu ya, kalau begitu sini obatnya yang ada di tanganmu itu. Saya mau lihat." Bilna semakin gemetar. "Sini cepaat...!" Bentak nyonya Marissa dengan suara meninggi. Namun Bilna berusaha untuk tetap tegar. Namun sekuat apapun usahanya, ketakutan nampak jelas. "Oke, kalau kamu tidak mau kasih, Biar aku yang ambil sendiri." Secepat kilat nyonya Marissa merebut obat itu dari genggaman Bilna. Bilna tidak bisa mengelak. Sekarang obat itu sudah berpindah tangan. Tak urung Bilna semakin cemas. "Itu sungguh bagian dari obat-obatan Aliyah, Nyonya." Bilna berpikir pembelaannya sung
"Hahahaa, kau tahu aku mengambil kesimpulan dari mana? Selama di rumah ini, semua tingkah lakumu di awasi oleh cctv yang tersebar di seluruh ruangan. Silahkan amankan wanita licik ini, pak." Titah nyonya Marissa. "Apa-apaan ini nyonya?" Bilna gelagapan. "Seperti yang kamu lihat, mereka polisi." Pikiran Bilna tidak menentu lagi. "Maaf Anda yang bernama Bilna, kan? kami membawa ini, surat penangkapan untuk Anda." Seorang dari mereka menyodorkan selembar kertas. "Kenapa mereka kemari? Mengapa tanganku yang diborgol." "kamu tahu kan mengapa tanganmu diborgol? itu karena kamu adalah tersangka. Kamu penjahat yang selalu berusaha untuk menjatuhkan Aliyah. Kamu pikir kami akan menerima semua kelakuanmu? Diam saja begitu? Tidak Bilna." "Selama ini kamu selalu lolos. Kali ini kamu jangan berharap demikian. Sudah kubilang sebelumnya, Aku tidak akan akan membiarkan begitu saja anggota keluargaku disakiti." Sambung nyonya Marissa. "Apa salahku? ap
Sedangkan Bilna, sakit di panggulnya semakin menjadi-jadi. terkadang ia juga mengalami kesulitan dalam bernafas, ditambah dengan kepala pusing dan pucat. Pendarahan yang tidak tahu apa sebabnya di iringi rasa nyeri. Membuang air seni pun tidak nyaman. Ponsel Bilna tiba-tiba berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Bilna dengan meringis mengangkatnya. Mila. "Ya, Mil. Kenapa?" "Ini mbak. Jacob demam, badannya panas. Nggak mau turun. Gimana ini mbak Bil?" Ada-ada saja yang membuat pikiran Bilna semakin kacau. "Anak itu... Uuuh semakin merepotkan." Gumam Bilna semakin kesal. "Maaf, Mil. Ini saya lagi menahan sakit." "Lho, mbak sakit apa?" "Belum tahu, Mil. Perut mbak bagian bawah semakin perih, di tambah dengan bagian sensitif mbak juga semakin nggak nyaman ketika buang air." "Nah kan apa Mila bilang dulu. Kan Mila udah sering buat menyarankan mbak supaya ke dokter." "Mbak tidak menyangka akan menjadi seperti ini kejadiannya,
Bab 62 Hasutan teman"Rama, kamu mau join grup telegram alumni SMA kita, nggak?"Ujar Jhoni, teman sekelasku semasa SMA dulu. Kebetulan kami di pertemukan di sebuah aula pertemuan yang ternyata dihadiri juga olehnya. Dia seorang staf karyawan di sebuah perusahaan tekstil. Rupanya dia diutus oleh atasannya untuk mewakili perusahaan mereka "Lain kali aja Jhon." Aku menjawab singkat."Lho kok jawabannya lain kali? Eh Rama, kamu tahu nggak kalau di grup itu ada Vera?"Aku diam sejenak."Vera siapa maksudmu?" tanyaku."Apa? Kamu udah lupa sama Vera? Ha ha ... Nggak usah pura-pura lupa kamu, Rama!" Jhoni tertawa seolah aku memang berpura-pura."Serius, Jhon. Aku nggak tahu Vera mana yang kamu maksud." aku masih menjawab datar."Astaga, Rama. Maksudku ya Vera yang dulu kamu pacarin.""Ooooh!" Aku ber oh ria."Gimana? Kamu ingat kan? Eh yang pasti Vera yang sekarang udah jauh lebih cantik dari yang dulu, Ram. Dia kerja di sebuah instalasi rumah sakit swasta. Dan dia bahkan lebih populer dib
Bab 63Aku menghentikan laju mobilku di depan sebuah rumah yang cukup besar. Sengaja aku kemari tanpa membuat janji terlebih dahulu kepada sang pemilik rumah. Di hari libur seperti ini, aku ingin mengajak teman kecilku itu untuk refreshing otak "Selamat siang, Pak!" aku menyapa kepada seorang satpam yang di tengah berjaga di gerbangnya.Pak taryo, sang satpam membukakan pintu untukku. Ya, Pak Taryo adalah seorang satpam yang sudah lama bekerja pada keluarga Rama. Dan dia sudah cukup kenal denganku. Tentu saja karena aku sesekali kerap berkunjung ke rumah tersebut."Ramanya ada, Pak?" tanyaku."Ada di dalam." jawab Pak Taryo sambil tersenyum."Jam segini kok belum pada keluar? Betah banget berdiam diri dalam rumah. Ini kan hari libur." ucapku lirih Terkadang aku memang merasa aneh dengan sikap Rama, laki-laki itu menurutku terlalu senang mengurung diri, kalau pun sesekali ia keluar, pasti bareng sama anak istrinya, kecuali dalam urusan kerja. Dalam urusan kerja pun, kukira kalau bo