Aku tetap pura-pura tidak mengetahui akan pengkhianatan dua manusia yang justru orang-orang terdekatku itu. Aku lebih fokus ke pekerjaanku. "Tante Eri jangan pulang dulu ya, Tan. Hari ini kita mau lihat hasil tes kesuburan Mas Habib dan Mbak Bilna. Nanti biar Bilna juga ikut untuk nemenin Mbak Aliyah buat ambilkan hasil tesnya. Sekalian mau membezuk teman Bilna di rumah sakit. Mas Habib tetaplah untuk bekerja. Hitung-hitung saya mau turut membantu." "Niatmu sangat baik Bil. Tante nggak keberatan dengan niatmu. "Kemarin saya sudah menghubungi bos saya, Tante. Dia mengizinkan saya untuk tidak masuk hari ini." Lagi-lagi Bilna seperti terlalu bersemangat dengan hasil tes itu. Mengapa dia terlalu bersemangat bahkan cuma mau mengambil hasil tes saja dia rela meliburkan diri. Aneh. Aku saja biasa-biasa saja. Kok dia yang lebih sibuk di banding Aku. "Kalau sampai kamu mengorbankan hari kerjamu, mendingan nggak usah Bil. Biar Mbak saja yang ambil nanti." "Ng
Sejak hasil tes kami keluar, Ibu mertua dan suamiku mulai perlahan berubah sikap. Tidak lagi begitu peduli denganku. Aku bisa merasakan perubahan itu. Bahkan Ibu lebih perhatian ke Bilna dari pada kepadaku. Sedangkan Bilna tampak semakin berkuasa saja di rumah ini. Pagi hari di meja makan, Aku berniat sarapan bersama-sama dengan mereka. Ku ambil piring untuk mengambilkan nasi buat suamiku, tapi lagi-lagi Bilna mendahuluiku. "Nggak usah Mbak, biar Bilna saja yang ambilkan Mas Habib nasi!" Ujarnya cepat, sambil tangannya dengan cekatan menaruh sarapan buat suamiku. Lalu buat mertuaku. Seolah-olah dia mau mengambil peranku di rumah ini. "Iya, Aliyah. Nggak apa-apa Bilna yang ambilkan." Suamiku membenarkan kata-kata Bilna. Dari sudut bibirnya Aku melihat ada senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaannya. Apa yang dia bahagiakan? Sedangkan Aku masih saja terbawa-bawa rasa pilu karena surat keputusan dokter itu. Apakah Habib tidak merasakan kesedihanku.
"Haloo, Bilna sayang. Adikku yang tercinta juga perebut suamiku." Bilna kaget dengan kedatanganku. Rupanya kedatanganku kali ini sukses membuatnya ketakutan. Mungkin karena hadiah telapak tanganku di meja makan tadi memberitahunya bahwa dia bukanlah orang yang ku takuti. Kalau saja Aku mau bisa saja Aku buat kaki atau tangannya tidak berpungsi lagi. Tapi untuk apa. Nanti saja akan ku beri dia pelajaran yang lebih berarti "Apa yang kau inginkan dariku, Wanita Mandul." "Aku tidak menginginkan apa-apa darimu, Pelakor. Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa sebagai Nyonya sah di rumah ini, Aku menyerahkan semua pekerjaan rumah tangga di rumah ini kepadamu." "Apa maksudmu? Aku bukan pembantu Mbak Aliyah!" "Kamu awalnya memang bukan pembantuku. Tapi karena kau yang telah memecat asisten rumah tanggaku, kau harus menggantikan posisi pembantu yang telah kamu pecat itu." "Aku tidak mau. Kamu curang." Bilna menolak dengan muka masam dan jengkel. Hahaha...
Pagi ini Aku sengaja bangun lebih lambat. Kubiarkan saja Bilna menyelesaikan semua urusan dapur seorang diri. Selagi ada mertuaku, Bilna selalu ingin bangun mendahuluiku. Padahal kalau Ibu sedang tidak di rumahku, dia bisa molor sampai telat berangkat kerja. Kali ini ku biarkan saja apa maunya, karena nanti pujian ibu mertuaku akan terdengar sepanjang sarapan. Padahal lauk dan segala macam itu dia pesan lewat online. Sengaja dia mengharuskan pesanan datang lebih awal, walaupun ia harus membayar sedikit mahal. Toh dia tidak membayar semua pesanan itu pakai uangku. Jadi masa bodoh saja. Peduli amat. Ibu dan Habib tidak pernah tahu kalau ternyata bukan Bilna yang memasak semuanya. Karena sebelum mereka keluar dari kamarnya, semua pesanan Bilna sudah sampai kerumah. Bahkan terkadang sudah terhidang di meja makan . Untuk menghilangkan jejak, ketika Ibu bangun, biasanya Bilna kelihatan menyibukkan diri dengan menggoreng ikan atau apalah. Bilna pikir Aku tidak tahu semu
"Mas, kapan kita memberitahu Mbak Aliyah akan hubungan kita yang sebenarnya. Apa yang Mas harapkan darinya? Dia tidak akan mampu memberimu keturunan?" Ku dengar suara wanita itu sedang berkeluh kesah di ruang tamu. Mereka tidak menyadari akan kehadiranku di sini. Tangannya memegang erat jari-jemari suamiku. Dengan wajah yang dibuat-buat seolah tersiksa. "Mengapa Mas tidak mau mengakuiku di depan Mbak Aliyah. Sedih Aku, Mas. Dulu Mas berjanji untuk segera menceraikan Mbak Aliyah. Tapi apa kenyataannya? Mana janjimu, Mas. Aku tidak ingin , Mas menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab kepadaku." Mereka pikir hanya mereka berdua di rumah ini. Enak sekali dua manusia ini. Memangnya Ibu kemana ya? Kok mereka yakin sekali ngobrol seperti itu di rumah ini. "Si Mandul itu, tidak mungkin bisa memberimu anak, Mas. Disini ada Aku yang bisa memberimu keturunan. Apalagi yang membuatmu ragu untuk menikahiku?" "Bilna, kamu tidak usah meragukan Mas. Mas sayang sama kamu
Hari ini tepat hari pernikahan suami dengan Adikku. Aku tahu pernikahan ini bertentangan dengan pemikiranku. Tapi bukankah ini yang Habib dan Bilna inginkan? Biarlah mereka merasakan buah dari impiannya. Aku sibuk menyiapkan persiapan acara pernikahan mereka. Dan tak lupa pula Aku mengenakan kebaya moka yang terlihat anggun di padukan dengan warna kulitku. Sedangkan rambutku, ku biarkan tergerai. Ujung-ujungnya yang sengaja ku buat sedikit ikal, menambah kepercayaan diriku hari ini. Aku tidak boleh menangis. Ingat Aliyah! Tidak ada airmata ysng akan jatuh dari sudut mataku hari ini. Ini adalah hari yang bahagia buat Bilna. Meskipun hanya menikah siri, namun sudah cukup untuk membuat wanita itu bahagia. Apa yang membuatnya begitu berambisi untuk menjadi istri suamiku? Aku tidak mengerti. Dari ujung sana mataku menangkap sosok wanita bekebaya putih cerah dengan sanggul dan make up yang terlihat natural berjalan menuju ke arahku. Bilna. Dia Bilna. Perlahan dia mulai
Sejak adanya gelar istri kedua suamiku di rumah ini. Rumah ini serasa tidak nyaman seperti dulu lagi. Tidak ada lagi canda tawaku dan Habib ketika sarapan di pagi hari, tidak ada lagi cerita-cerita yang menjadi obrolan kami sebelum berkayar ke alam mimpi. Rumah tangga ini serasa hambar. Sikap Bilna yang pura-pura baik di depan Habib dan mertuaku, membuatku heran. Jika Habib telah berangkat kerja maka dia beralasan untuk keluar bersama teman-temannya. Menjelang Habib pulang maka dia baru kembali. Aku tidak berniat menyampaikan kelakuannya kepada mertua dan suamiku. Karena ucapanku mana di percaya. Bisa-bisa Aku hanya di bilang iri pada Bilna. Lebih baik Aku mebutup mulut. Biarlah waktu yang akan memberitahu mereka, bagaimana kelakuan Bilna sesungguhnya. Lagi pula semua itu bukan urusanku. Dia kan sudah menjadi pilihan terbaik buat Habib dan Ibu. Kebanggaan mereka terlanjur tinggi terhadap Bilna. Hingga wanita itu telah merasa sedang meniti puncak keberhasilannya.
Setelah kupikir-pikir, ada yang mengganjal terkait hasil tes kesuburan kami dulu. Apakah Aku benar-benar mandul? Sedangkan tidak ada satupun dari sanak keluarga kami yang memiliki kendala terkait masalah seperti itu. Kok bisa Aku divonis mandul. Sedangkan Bilna terlihat senang dengan hasil tes itu. Dan setiap saat dia memamerkan perut buncitnya itu di depanku. Sekarang dengan terpaksa dua sejoli itu mencari Art baru. Karena Bilna beralasan tidak bisa melakukan apa-apa karena kecapean. Manjanya keterlaluan, kadang nasi pun minta diantar ke kamar, sandal juga minta di pakaikan ke kaki. Kan akhirnya butuh Art juga kan. Coba dulu tidak main copot-copotin art, tidak akan susah untuk cari Art baru. Karena hasil analisis dokter yang mengatakan Aku mandul itu, Bilna semakin menjadi-jadi menganggapku si Mandul yang tidak berguna. Mengolok-olokku kalau Habib tidak membutuhkan kehadiranku lagi. Karena Habib sudah punya dia yang nyata-nyata telah mampu untuk mengandung bua
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya
Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew
Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p
Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di