Hari ini tepat hari pernikahan suami dengan Adikku. Aku tahu pernikahan ini bertentangan dengan pemikiranku. Tapi bukankah ini yang Habib dan Bilna inginkan? Biarlah mereka merasakan buah dari impiannya. Aku sibuk menyiapkan persiapan acara pernikahan mereka. Dan tak lupa pula Aku mengenakan kebaya moka yang terlihat anggun di padukan dengan warna kulitku. Sedangkan rambutku, ku biarkan tergerai. Ujung-ujungnya yang sengaja ku buat sedikit ikal, menambah kepercayaan diriku hari ini. Aku tidak boleh menangis. Ingat Aliyah! Tidak ada airmata ysng akan jatuh dari sudut mataku hari ini. Ini adalah hari yang bahagia buat Bilna. Meskipun hanya menikah siri, namun sudah cukup untuk membuat wanita itu bahagia. Apa yang membuatnya begitu berambisi untuk menjadi istri suamiku? Aku tidak mengerti. Dari ujung sana mataku menangkap sosok wanita bekebaya putih cerah dengan sanggul dan make up yang terlihat natural berjalan menuju ke arahku. Bilna. Dia Bilna. Perlahan dia mulai
Sejak adanya gelar istri kedua suamiku di rumah ini. Rumah ini serasa tidak nyaman seperti dulu lagi. Tidak ada lagi canda tawaku dan Habib ketika sarapan di pagi hari, tidak ada lagi cerita-cerita yang menjadi obrolan kami sebelum berkayar ke alam mimpi. Rumah tangga ini serasa hambar. Sikap Bilna yang pura-pura baik di depan Habib dan mertuaku, membuatku heran. Jika Habib telah berangkat kerja maka dia beralasan untuk keluar bersama teman-temannya. Menjelang Habib pulang maka dia baru kembali. Aku tidak berniat menyampaikan kelakuannya kepada mertua dan suamiku. Karena ucapanku mana di percaya. Bisa-bisa Aku hanya di bilang iri pada Bilna. Lebih baik Aku mebutup mulut. Biarlah waktu yang akan memberitahu mereka, bagaimana kelakuan Bilna sesungguhnya. Lagi pula semua itu bukan urusanku. Dia kan sudah menjadi pilihan terbaik buat Habib dan Ibu. Kebanggaan mereka terlanjur tinggi terhadap Bilna. Hingga wanita itu telah merasa sedang meniti puncak keberhasilannya.
Setelah kupikir-pikir, ada yang mengganjal terkait hasil tes kesuburan kami dulu. Apakah Aku benar-benar mandul? Sedangkan tidak ada satupun dari sanak keluarga kami yang memiliki kendala terkait masalah seperti itu. Kok bisa Aku divonis mandul. Sedangkan Bilna terlihat senang dengan hasil tes itu. Dan setiap saat dia memamerkan perut buncitnya itu di depanku. Sekarang dengan terpaksa dua sejoli itu mencari Art baru. Karena Bilna beralasan tidak bisa melakukan apa-apa karena kecapean. Manjanya keterlaluan, kadang nasi pun minta diantar ke kamar, sandal juga minta di pakaikan ke kaki. Kan akhirnya butuh Art juga kan. Coba dulu tidak main copot-copotin art, tidak akan susah untuk cari Art baru. Karena hasil analisis dokter yang mengatakan Aku mandul itu, Bilna semakin menjadi-jadi menganggapku si Mandul yang tidak berguna. Mengolok-olokku kalau Habib tidak membutuhkan kehadiranku lagi. Karena Habib sudah punya dia yang nyata-nyata telah mampu untuk mengandung bua
Aku pulang dari tempat praktek Dokter kandungan dengan membawa kelegaan. Ini adalah rahasia besar yang tidak di ketahui oleh Habib dan Ibu mertuaku. Tapi Aku juga malas memberitahu mereka. Apalagi Habib, dia telah menduakan Aku, mengkhianatiku, membuat rasa cinta ini perlahan pupus untuknya. Laki-laki itu masih berbuat baik padaku mungkin karena adanya rasa bersalah. Cinta tulus, tidak pantas untuk di serahkan kepada seorang lelaki pengkhianat. Di depanku dia masi terlihat baik, di belakangku malah dia memburuk-burukkan Aku. "Mas juga tidak membutuhkan perempuan mandul itu lagi sayang. Kan Mas sudah punya ini. Seorang anak yang akan melanjutkan perusahaan kita. Sayangnya Mas belum bisa begitu cepat untuk menceraikan Aliyah. Takut kalau-kalau nanti beritanya akan menjadi berita buruk. Karena selama ini Mas sering mengajaknya ke meeting-meeting penting perusahaan. Dan banyak dari utusan perusahaan-perusahaan besar yang bekerjasama dengan perusahaan kita mengaku kag
Sesampainya Aku dirumah, Bilna belum juga pulang. Begini rupanya kalau tidak ada Habib dan Ibu mertua. Karena mertuaku tadi pagi izin kembali pulang kerumahnya. Jadilah Bilna sebebas mungkin. "Bilna pergi dari tadi pagi, Bu. Tidak lama setelah Ibu pergi tadi. Dia bangun lalu mandi bersiap-siap lalu pergi. Lalu belum pulang sampai sekarang, kemana dia ya, Bu. Padahalkan dia sudah tidak bekerja lagi. Tapi Bibi lebih suka bila tidak ada dia, Bu. Soalnya dia itu suka marah-marah." ujar Bi Um. Kepo juga wanita paruh baya itu. "Tidak apa-apa, Bi. Biarkan saja." Berarti wanita itu sudah lama pergi. Ah tapi biarkan saja. Bukan urusanku. Wanita yang menghalalkan segala cara untuk kepentingannya sendiri. Habib saja yang mau saja di butakan olehnya. Kasihan kamu Habib. Sudah kena tipunya Bilna. Aku masih bertanya-tanya benih siapa yang ada di dalam perutnya tersebut. Bilna terlalu berani melakukan kebohongan sebesar ini. Tidak berpikir jauh kedepan, seandainya s
Aku melangkah memasuki ruang kerja, mataku tertuju ke satu buket bunga yang ada di atas meja. Siapa pula yang menaruh bunga di atas meja aku. Mungkin ini salah alamat. Kuraih buket bunga tersebut Lalu kuperhatikan baik-baik. Sebuah kertas terselip bertuliskan kan "just for you Aliyah." ini benar-benar untukku rupanya. Siapa gerangan yang mengirim mengirim bunga pagi-pagi seperti ini. Ada-ada saja. Apa mungkin ada yang mengerjai ku? Ah sudahlah buat apa terlalu dipikirkan. Seharian ini otakku penuh tanda tanya siapakah gerangan orang yang mengirimkan bunga ke mejaku sebelum Aku datang. Aku beusaha buat membuang rasa penasaran kepada pengirimnya, tapi tidak bisa. Dalam benakku bertanya-tanya apa tujuannya? Apakah seseorang tersebut ingin mengusikku? Atau mungkin hanya sekedar iseng saja. Disamping itu juga pikiranku mengarah ke pertengkaran kepada Habib dan Bilna kemarin. Habib terang-terangan meremehkanku. Lelaki itu akan di buat terkejut setengah mati bila m
Pagi-pagi sekali, samar-samar kudengar seseorang sedang berbicara di samping rumah. Ku melangkah mendekati asal suara itu. Bilna yang ternyata sedang berbicara dengan seseorang di seberang telepon. "Iya, Ma. Mas Habib sangat percaya kalau janin dalam perutku ini anaknya. Hihihi. Ide Ibu memang bagus. Jempol deh buat Ibuku yang tersayang ini. Ibunya Mas Habib juga sangat menyayangiku. Kata Mas Habib, nanti dia akan membelikan rumah baru untuk kami. Kabar baiknya Ma, dia akan menceraikan Aliyah. Iiih pokoknya Aku beruntung sekali dinikahi oleh Habib, Ma." Bilna cekikikan sendiri. Aku berdiri tepat di belakangnya. Bilna tidak menyadari keberadaanku. Dia asyik mengobrol dengan Ibunya di seberang telepon. "Mas Habib tidak curiga sedikitpun terhadap anak yang sedang kuhamili ini. Ini, Ma. Waktu itu Bilna berhasil memanfaatkan Galang untuk mewujudkan keinginan Bilna. Hasilnya tidak lama kemudian, Bilna benar-benar hamil. Habib senang sekali mendengar berita kehamilan say
"Bilnaaa, kemari kamu...!" Bilna yang sedang duduk-duduk santai di teras samping sambil menaikkan kakinya ke atas meja, menoleh ke arahku. Kelihatannya wanita itu sudah mandi dan sudah berdandan cantik. "Ada apa sih Mbak? Enggak perlu teriak-teriak juga kali." Dengan jutek Bilna menjawab. Aku mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan di sini, pekerjaanmu di belakang belum selesai. Tuh piring-piring buruan dicuci." "Aku masih capek, Mbak. Masa aku harus mencuci piring. Aku tidak cocok menjadi tukang cuci piring. Emang Mbak pikir saya ini pembantu apa? Malas saya Mbak saya capek.! "Capek katamu, mukamu kelihatan begitu segar. Bilna, saya memberitahumu bahwa pekerjaanmu di sini bukan hanya bersolek ria. Ini bukan rumahmu. Kamu harus menuruti apa yang aku katakan. Cepat kebelakang Saya tidak mau lagi melihat piring-piring kotor. Setelah itu meja makan dibersihkan." "Terus makan malam nanti bagaimana, Mbak? Apakah harus memakai uang kami lagi untuk memesann
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya
Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew
Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p
Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di