Ibu tampak turun dari mobil dengan tertatih-tatih, sambil memegang dadanya. Tentu saja membuatku khawatir luar biasa melihat keadaan sang Ibu tercinta. "Kenapa Bu? Ada apa ini? Apa yang terjadi?; katakan, Bu." Kudekati dan menggandeng tangannya. Namun Ibu tidak segera menjawab. Wajahnya terlihat masih menggambarkan ketidaknyamanan. Melihat itu, Bilna bukannya membantu, malah dia beringsut dari tempat duduknya, masuk ke kamar dan mengunci pintu. "Bilnaaa, sini bantu jagain ibu. Aku mau mengambil air putih." "Kenapa nggak di tidurin ajah di kamarnya sendiri? Bik Naii.... Bi Naiiii... Tolong ambilkan minum buat Ibu...!" Bilna memekik sambil menongolkan kepalamya lewat pintu kamar yang sedikit terbuka. Tidak perlu waktu lama, Bik Nai datang bersama Bik Sutiroh. 2 pelayan tersebut membantu membopong tuannya ke sofa. Keadaan lbu tampak semakin lemah. Nafasnya mulai tersendat-sendat. Aku yang melihatnya semakin anik. "Kita harus
Aku berjalan beriringan dengan Rama menyusuri jalanan menuju keluar area rumah sakit. Baru saja kami di buat terkejut oleh hasil analisis dokter terhadap dzat apa yang terkandung didalam minumanku kemarin. Menurut dokter, jus tersebut mengandung racun yang di sebut Strychnine. Dimana dzat ini merupakan racun yang bertindak cepat, belum ada pengobatan yang efektif untuk menyelamatkan korban dari gangguan racun ini. "Terimakasih banyak, Rama. Saya tidak tahu kalau kemaren tidak ada kamu, mungkin sekarang aku sudah mati." "Jangan bicara seperti itu. Itu artinya Tuhan masih menyayangi kamu. Bersyukurlah." "Kamu benar. Tuhan masih melindungiku melalui kamu." Setelah mengetahui kenyataan bahwa Mila menaruh racun kedalam minumanku, berarti ancaman Bilna sungguh bukan main-main. Ini pasti ada kaitannya dengan Bilna. Wanita itu memang nekat. "Sudah, jangan di bawa murung. Yuk hari ini kita refreshing menenangkan pikiran. jan hari ini kita cuti. Di bawa h
Aku terus menguping pembicaraan Bilna dan Galang. "Nanti kalau anakku ini dapat warisan, tentu saja Ayah sahnya ini juga dapat bagian kan?" "Itu sudah pasti. Tenang saja, ibuku orang baik. Pasti kamu di beri bagian yang banyak." "Ngomong-ngomong suamimu bodoh sekali ya. Kok bisa dia di manfaatkan dengan begitu mudah." "Makanya aku beruntung bisa menikah dengan dia. Apalagi ibunya, apapun yang saya mau pasti di turutin." Kurang ajar rupanya dia hanya ingin memanfaatkan aku dan ibu saja selama ini. Menyesal sekali terlanjur menikahi wanita biadab seperti Bilna. Wanita tidak tahu di untung. Aku masih berusaha bersabar. Menghadapi masalah rumit seperti ini memang butuh kesabaran yang tinggi. "Iya nanti juga aku ikut beruntung, hehee bisa menikmati harta manusia bodoh seperti mereka. Mengapa tidak kau bunuh saja mereka supaya lebih cepat mati. Agar tujuan lekas tercapai." "Sabar dulu sayang, semua butuh proses. Tenang saja, semua sedang dalam
"Ada apa, Habib.? Apa yang membawamu kemari malam-malam begini." Aliyah menyambutku dengan sambutan yang terlihat sama sekali tidak bersahabat. Aliyah Aliyah, seandainya kamu tahu aku masih sangat mencintai kamu. Mengapa kau tidak menyadarinya? "Aku kemari dengan tujuan yang penting Aliyah. Ada seseorang yang ingin berbuat jahat padamu kamu harus hati-hati dalam menjaga diri." "Hanya itu yang ingin kamu sampaikan?" "Iya benar Aliyah tolong kamu jangan menganggapku terlalu negatif karena aku sungguh berniat untuk menghindarkanmu dari bahaya yang mengintai." "Siapa yang berniat jahat padaku?" "Bilna. Wanita itu yang berniat jahat padamu kau harus hati-hati." "Bagaimana kau bisa tahu?" "Aku telah mendengar semuanya dengan telingaku sendiri. Aku mendengar semua rencana dan tujuan mereka. Aku punya rekamannya Aliyah. Baik akan segera ku kirimkan padamu." "Oke nanti akan aku dengarkan, tapi kamu sungguh-sungguh kan, Babib,? Tidak bohong?" "untuk apa aku memb
Kesehatan Ibu mulai membaik. Aku bersyukur pada Tuhan. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku sendiri yang membawa ibu pulang kembali kerumah. "Habib, apa Bilna belum juga pulang? Kok Ibu tidak lihat dia?" Mulai lagi kan Ibu bertanya soal Bilna. Apa istimewanya wanita itu di mata ibu. Sampai membuat kasih sayang ibu begitu besar. "Apa dia mau melahirkan di rumah ibunya? Bulan depan lhoo prediksi kelahirannya. Jemput saja Bilna, Bib. Bilang sama dia di sini saja, di rumah kita. Ibu masih kuat kok untuk turun tangan langsung untuk mengurus kelahiran cucu ibu nanti." Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya pada ibu. Sedangkan kesehatan ibu belum pulih sepenuhnya. Kalau aku mengatakannya sekarang, kemungkinan akan membuat kesehatannya semakin buruk. Karena kondisi penyakit jantung yang semakin parah. "Bu, Habib mohon, ibu tidak usah berpikir terlalu jauh tentang Bilna. Ibu jangan khawatir, dia baik-baik saja kok." "Ibu takut kamu menyembunyikan sesuatu.
"Bu Aliyah, di luar ada seseorang yang ingin bertemu sama Ibu katanya penting.!" Seorang bawahanku memberitahu. "Siapa dia apakah dia orang penting?" "Sepertinya tidak, soalnya saya belum pernah melihat dia datang kemari." "Suruh dia masuk ke ruanganku!" "Baik bu.!" Tidak beberapa lama kemudian seorang bawahan tadi datang bersama seorang wanita yang membuatku heran. Ada masalah apa lagi dia. "Permisi, ini dia orang ingin bertemu sama ibu." "Ya baik terima kasih bisa tinggalkan kami?" Wanita yang mengantarkannya tadi bergegas keluar. Sekarang tinggal aku bersama wanita ini. "Bilna?" "Iya aku Bilna ingin menemuimu.." "Ada apa lagi datang padaku. Bukankah kita tidak ada urusan apa-apa lagi." "Aku ingin membuat perhitungan sama mbak." Astaga itu Ya Tuhan apa lagi yang dimaksudnya. Perhitungan apa yang mau diperbuat denganku. "Baik katakan perhitungan apa?" "Mbak terlalu jahat, karena Mbak, Habib tega menceraikan aku." Kali ini aku b
Mbak Aliyah dan Habib sama sama kurang ajarnya, sama-sama tidak tahu diri. Mereka tega menyakitiku. Apalagi mas Habib tega menceraikanku hanya karena masalah kecil ini. Bukankah dia tahu kalau dia mandul? Kan tidak ada salahnya bila dia menghidupi anak yang ada di kandunganku. Ini kok malah marah-marah. Habis begitu, masih sempat-sempatnya dia mengingat-ingatkan nama mbak Aliyah. Apa istimewanya wanita itu. Aku jauh lebih cantik dan seksi bila di bandingkan dengannya. Aku tidak rela di ceraikan begitu saja oleh Habib. Aku tidak rela. Kartu debit kemarin sudah dia ambil, sekarang mau menceraikanku pula. Padahal kartu debit kemaren kan punya ibunya. Kok dia yang repot-repot. Bodohnya aku, kenapa tidak ku tarik saja uang yang banyak dari kartu kemarin. Dia pikir aku akan diam begitu saja ketika dia memperlakukanku seperti ini. Tidak Habib. Aku akan membuat perhitungan dengannya. Laki-laki pelit. Aku harus mendatangi mertuaku langsung. Hanya dia harap
Kulihat Ibu semakin menderita di ruang ICU. Tampak nafas Ibu semakin tersendat-sendat. Rasa marah Ini kian memuncak terhadap bilna. Wanita itu biang dibalik semuanya. Karena dialah penyakit Ibuku menjadi semakin parah. Aku yang menunggu ibu di luar semakin panik. Kalau saja aku tidak memikirkan Ibu sedang berada di ruang ICU, Ingin rasanya kembali mendatangi rumah dua insan munafik Bilna dan ibunya. Mencekik leher keduanya dengan tanganku sendiri. Sekarang semua masalah menjadi semakin rumit. Keadaan perusahaan semakin surut. Keadaan Ibu semakin buruk. Dan keadaan rumah tanggaku yang tidak tahu-menahu. Ya Tuhan mengapa semua menjadi serumit ini. Apa salahku? Bukan, ini bukan salahku. Semua ini karena Bilna. Aku juga yang bodoh terlalu percaya padanya selama ini. Bahkan aku rela memberinya uang yang cukup banyak setiap minggu dan setiap bulannya. Untuk melampiaskan kemarahan yang bergemuruh di dalam dada. Kuambil gawai dan kucari-cari nomor kontaknya. Sek
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya
Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew
Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p
Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di