Ratih tidak menyangka jika hidupnya akan semakin sulit setelah terlibat pertengkaran dengan Suga. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan menjadi sekretaris dari pria itu. Bagi Ratih, seorang sekretaris tidak lebih dari seorang pembantu, hanya saja memiliki sebutan dan jaminan yang jauh lebih tinggi. Dengan pemikiran tersebut, tentu saja Ratih menganggap jika saat ini jabatannya telah diturunkan.
Kini, Ratih hanya bisa mematung di hadapan Suga. Kendati begitu, matanya terus menatap tajam ke arah pria itu. Ingin sekali, Ratih menghantamkan wajah Suga pada tembok pembatas antar ruangan, atau setidaknya menguliti atasannya tersebut. Bagaimana tidak merasa kesal jika saat ini ia justru dipermainkan tanpa adanya kesempatan untuk melawan.Suga menghela napas sembari bergerak dengan malas. Tak berselang lama, ia melepas kacamatanya.Tentu saja mata elangnya terlihat dengan jelas.“Kenapa?” tanya Suga dengan nada datar.Ratih mengepalkan kedua telapak tangannya demi upaya untuk menahan rasa geram. Namun sepertinya ia tidak berhasil, sehingga melontarkan perkataan. “Kembalikan saya ke jabatan sebelumnya, Pak!”Suga tak banyak mengubah sikap, kecuali menoleh ke arah lain. “Enggak bisa,” jawabnya enteng.“Kenapa?!”“Belinda sudah aku mutasi.”“Tapi, kenapa harus saya penggantinya?!”Suga tak menjawab. Sesaat setelah menatap Ratih dengan nanar, ia beranjak berdiri. Detik berikutnya, Suga mengayunkan sepasang kaki panjangnya itu untuk menuju keberadaan wanita cantik yang begitu berani padanya tersebut. Tentu saja, sikap Suga membuat Ratih tak berkutik sekaligus gugup.“Kenapa kamu enggak ada sopan-santunnya padaku, hah?!” ucap Suga. Ia bahkan sampai menyodorkan wajahnya ke hadapan Ratih agar setidaknya Ratih merasa tertekan.Reflek, Ratih menampar pria itu. Bahkan, ia sampai terkejut akan sikapnya sendiri. Atas insiden kurang menyenangkan yang ia perbuat sendiri, Ratih merutuk dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, karena mau bagaimanapun Suga masih merupakan atasan tertingginya. Belum lagi ancaman dua milyar rupiah menjadi ketakutan tersendiri baginya. Dan sikap kasarnya pasti akan membuat Suga semakin marah. Oh sial! Ratih hanya bisa mengumpat dan terus menunduk resah.Suga menekan pipinya yang memerah. Tamparan Ratih yang tuba-tiba dilayangkan untuk melukai pipinya tentu saja membuat pipinya cukup perih. . Ingin sekali Suga mencambuk wanita itu, tetapi latar keberadaannya saat ini sama sekali tidak mendukung.“Kamu enggak minta maaf padaku?!” tanya Suga lebih tegas. Bahkan, ia sengaja menyibak poninya ke atas agar tatapan tajamnya mampu menembus jantung dan hati milik Ratih.“N-nggak!” tandas Ratih masih berusaha menjaga harga diri. “Saya enggak mau minta maaf sebelum Bapak mengembalikan jabatan saya!” lanjutnya sembari membalas tatapan Suga.Suga hendak mengayunkan tangannya karena terlanjur kesal, tetapi ia belum sampai mendarat di pipi Ratih, ia segera mengurungkan niatnya ttersebut Wanita yang sangat pemberani itu pasti tetap tidak akan takut. Tadi malam saja, Ratih mampu melawan dua anggota yang dikirimkan oleh Suga. Dan sebuah tamparan pastinya tidak akan memberikan aturan apa-apa bagi wanita itu.“Kenapa harus saya sih, Pak Suga! Kan karyawan Bapak ada ribuan orang! ”“Hei!”Suara lantang milik Suga membuat Ratih tersentak sampai kedua bahunya terangkat. Ia menunduk tanpa bisa memberikan perlawanan lagi. Akan sulit jika pada akhirnya Suga mengungkit penalti dua milyar tersebut.“Ratih?”“I-iya, Pak Suga.”“Kenapa sejak awal kamu justru lebih mendominasi dan begitu berani? Aku ini atasan kamu, 'kan? Kenapa lagakmu justru terkesan mengatur semua yang aku kehendaki, hah?! Apa kamu mau bayar dua mil—”“Pak!”“Kamu barusan berteriak lagi?”Ratih menelan saliva. Mulutnya memang sulit di-rem jika sedang menghadapi orang yang ia benci. Bahkan tak hanya pada Suga, melainkan juga pada Kani—bibinya.Namun jika berkaitan dengan uang yang tidak wajar sebagai biaya penalti itu, tentu saja Ratih tidak bisa tinggal diam. Ia akan melawan! Bukankah hal paling lumrah adalah perusahaan membayar pesangon untuk karyawan yang mengundurkan diri, dan bukan malah meminta penalti itu? Mungkin memang begitu, sayangnya sosok Suga memang nerd yang gila!Suga menghela napas, kemudian kembali bertanya, “Apa alasan kamu, Nona Buruk Rupa?”Mendengar penghinaan atas fisiknya itu, tentu saja Ratih merasa sangat kesal. Namun ia hanya mampu menggertakkan gigi demi melindungi isi ATM-nya yang bahkan isinya tidak sampai sepuluh juta.“Bapak mau saya berkata jujur atau bohong?” balas Ratih tanpa memberikan tatapan, ia lebih memilih menundukkan kepala.“Katakan.”“Karena saya benci sama Bapak sejak lama. Karena Bapak sewenang-wenang menurunkan jabatan saya sebagai pembantu Bapak. Karena Bapak enggak memberikan kesempatan bagi saya untuk menolak. Karena Bapak memberikan biaya penalti secara enggak wajar, padahal saya yang dipecat dan tentunya bukan saya yang melanggar kontrak. Karena Bapak mengejek saya bodoh dan buruk rupa. Kare—”“Mau kupotong lidahmu, Ratih?!”“Bukankah Bapak sendiri yang meminta saya untuk mengatakannya?”Suga terdiam. Hanya embusan napas kasar yang ia terdengar sedang ia lakukan. Baginya, Ratih tak sekadar mengganggu, tetapi memang unik dan mengesalkan untuk ukuran seorang wanita biasa. Bahkan bisa dibilang, Ratih tidak normal sesuai apa yang Suga pikirkan. Wanita itu akan menyulitkannya jika tidak diawasi secara ketat. Membunuhnya tentu bukan keputusan yang benar, sebab selain sabuk hitam yang Ratih kuasai, Suga tetap tidak bisa melakukan pembunuhan.Sepertinya ucapan Daichi Lesmana memang benar, jika Suga merupakan mafia berhati lembut. Kendati cara penyiksaan yang ia terapkan selama ini cenderung kejam dan tetap tidak bisa dibenarkan.Bagi beberapa anggotanya, justru cara itu yang paling menakutkan dari sosok Sugantara. Namun pada akhirnya Suga tetap membiarkan hidup, karena mungkin dirinya memang masih terlalu pengecut untuk menjadi seorang pembunuh.“Terakhir, ... karena saya menyimpan rahasia Bapak. Rahasia Bapak yang saya ketahuilah membuat saya menjadi lebih berani dan saya bisa melawan Bapak!” Ratih sudah tidak bisa menahan dirinya lagi.“Jadi, kamu mau melawanku dan mengancamku? Dengan uangmu yang bahkan enggak sampai sepuluh juta itu? Memangnya kamu bisa membayar nominal penalti yang aku inginkan? Karena sekeras apa pun kamu melawan, kamu tetap akan kalah dariku, Ratih. Lagi pula bagaimana kamu akan menyebar soal identitasku?” tandas Suga. Ia tahu jika Ratih tidak memiliki bukti apa pun mengenai wajah di balik penampilan culunnya, tetapi sekali Ratih menyebar rumor, orang-orang akan mulai tertarik untuk mencari tahu tentang dirinya. Dan alasan inilah yang membuat Suga tetap ingin mengawasi Ratih.Ratih menelan saliva. “Ba-bagaimana ...?”“Wajah miskinmu menggambarkan digit angka di rekening bank kamu, Ratih. Tipikal wanita sederhana yang bahkan pin kartu saja bisa ditebak olehku.”“Woah!” Ratih tersenyum kecut, matanya bergerak tidak menentu. Harga dirinya kembali diremehkan oleh pria itu. Ia tidak bisa menerima semua itu. “O-oh, ya? Bapak tahu dari mana? Co-coba sebutkan!”“Kamu memerintahku lagi, Ratih?”“I-itu ssayaenggak memerintah, Pak, hanya ... hanya meminta bukti saja.”Suga kembali memajukan wajahnya ke hadapan Ratih. Secara otomatis, Ratih memundurkan kepalanya. Matanya yang sempat bergerak tak menentu, kini justru berkedip-kedip dengan ekspresi lugu.Di depan mata indah milik Ratih, Suga menyunggingkan senyum begitu manis. Matanya yang tajam begitu jernih ketika dilihat dari dekat, termasuk halusnya kulit wajah milik pria itu sendiri. Orang dengan wajah semenarik itu mengapa berusaha untuk menyembunyikan identitas? Untuk apa? Ratih mempertanyakan hal yang memang mulia membuatnya penasaran sejak tadi malam.“910217 ... itu kata sandi ATM kamu, bukan?” ucap Suga sembari menarik kepalanya.Mata Ratih membelalak dengan rahang menganga.“Aku benar?”“Ba-bapak menguntit saya, ya?! Mau merampok saya?!”“Kamu lupa siapa aku, Ratih Kembang? Aku si jenius Sugantara.”“Ta-tapi, enggak mungkin, 'kan, Bapak tahu sampai sedetail itu?”“Jadi, ... tebakanku benar?”Ratih menunduk diam.“Dari segi penampilan saja, kamu ini sangat sederhana, Ratih. Menunjukkan bahwa pikiranmu juga sangat sederhana. Kamu bukan orang yang mau ambil pusing pada hal-hal kecil. Sementara, pihak bank kerap kali melarang penggunaan tanggal lahir. Dan akhirnya, kamu membalik tanggal lahir kamu sebagai pin kartu ATM kamu, begitu, 'kan?”Luar biasa! Batin Ratih.Suga berjalan menuju meja kerjanya sendiri. Sikapnya begitu angkuh dan membuat Ratih tak bisa berkutik. Pria itu memang luar biasa! Sepertinya mitos mengenai orang memakai kacamata yang berarti orang pintar memang benar. Selain dari mitos itu, Suga memang terkenal memiliki otak yang cemerlang. Hanya saja ....“Tunggu! Bapak tahu tanggal lahir saya dari mana?”Sesaat setelah duduk di kursi kerjanya, Suga melemparkan sebuah map cokelat. Ia menyerahkan benda itu pada Ratih.“Kamu sekarang merupakan sekretaris pribadiku, Wanita bodoh! Belinda telah menyerahkan berkas lamaranmu lima tahun silam, sehingga aku tahu identitas kamu dari situ,” jelas Suga.“Tapi, saya tetap menolak, saya—”“Dua milyar, Ratih.”“Aarrrggghhh! Sial, menyebalkan sekali!””Kamu mau mengumpat padaku?”Ratih mendengkus kesal. Sepertinya memang sudah tidak ada celah untuk kabur dari sosok Sugantara. Pria itu sangat menyeramkan! Surat kontrak yang mencantumkan biaya penalti bisa saja diubah isinya sesuai digit yang Suga inginkan. Hal itu akan membuat Ratih semakin kesulitan jika melawan hanya karena menolak menjadi seorang sekretaris.“Baiklah,” ucap Ratih yang akhirnya menyerah. “Tapi, seenggaknya kasih tahu saya dulu mengenai alasan Bapak menarik saya untuk menggantikan Nona Belinda,” pintanya.“Karena kamu harus diawasi, Nona Buruk Rupa," sahut Suga.“Kenapa? Bukankah Bapak sendiri yang enggak mau bertemu dengan saya dan kita telah sepakat akan hal itu? Lagi pula, Bapak kan tahu jika saya tidak bisa membuktikan kalau Bapak punya wajah mm, agak mendingan.”“Harusnya begitu, sayangnya kamu bukan orang yang bisa dipercaya. Terlebih, ketika wanita memang suka sekali bergosip. Bisa saja kamu menyebar rumor mengenai aku.”“Hanya karena itu? Bahkan, saya enggak tertarik mengenai identitas Bapak. Ya, mungkin saya memang masih memiliki rasa penasaran, selebihnya rasa heran. Tapi, saya enggak pernah berniat membeberkan gosip itu.”“Siapa yang tahu.””Ck, aaah! Saya akui, padahal itu wajah yang tampan. Bukan wajah monster yang menyeramkan. Ada-ada saja.”Tepat ketika Ratih mengucapkan kata 'monster', lidah Suga mendadak kelu. Matanya memang melebar, tetapi sorotnya begitu lemah. Ratih menganggap wajah di balik kacamata tebalnya tidak terlihat seperti monster. Namun kenyataannya kehidupan lain Suga yang justru berbanding terbalik dengan penilaian wanita itu. Sudah lama, Suga menjadi monster penyiksa!Ekspresi Pak Suga berubah? Kenapa? Ratih menangkap perbedaan mimik wajah itu. Setelah mengakui tidak tertarik akan siapa Suga, kenyataan justru berbicara jika ia harus segera mengungkap mengenai kehidupan Suga yang sebenarnya.****Ratih hanya bisa menghela napas. Bagaimana tidak, baru pukul enam pagi ia justru harus hadir di sebuah apartemen elit. Selain masih sangat enggan untuk bertemu Suga, ia paling malas untuk bangun lebih pagi. Rasanya sungguh memuakkan, tetapi Ratih tidak bisa berbuat apa-apa. Suga selalu mengancamnya dengan dua milyar sebagai ganti rugi jika Ratih menolak perintah dari pria itu.Lalu-lalang beberapa orang yang tidak dikenal oleh Ratih menghiasi suasana pagi ini. Mereka merupakan pemilik sekaligus penghuni unit-unit dari gedung apartemen itu. Tentu saja, mereka orang-orang kaya yang memiliki banyak harta. Oleh sebab itu, Ratih menjadi ciut hati. Ia merasa seperti pasir di antara berlian yang bersinar.Kebiasaannya yang sering mengumpat masih saja dilakukan, meski Ratih hanya sebatas menggumamkan. “Aku sangat membenci dirinya. Demi Tuhan! Oh, Si Culun Sugantara!” ucapnya.“Hei!” Tiba-tiba suara berat dan dingin terdengar dari belakang posisi Ratih.Seruan itu sukses membuat Ratih terkejut
Dengan setia Ratih mendampingi Suga di mana pun pria itu berpijak, dan tentu saja untuk urusan pekerjaan. Kendati masih terbilang baru, nyatanya, Ratih sudah mampu mengatasi semua pekerjaan sekaligus kendala beberapa kendala. Dan saat ini ia mencoba untuk tidak memikirkan perihal niat menolak mengenai jabatan barunya itu. Ratih berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada sang tuan, alih-alih terus merengek. Ratih segera berdiri dari duduknya ketika mendapati Suga baru saja keluar dari ruangan kerja pribadi. Dengan lebih profesional Ratih memutuskan untuk merundukkan badan sebagai bentuk rasa hormatnya. Melihat sikap Ratih yang begitu tunduk, Suga lantas tersenyum bangga seolah sudah mendapatkan kemenangan secara penuh.Bagaimana tidak, musuhnya itu kini dapat ia kendalikan sesuka hati.Suga merasa dirinya sudah mampu mengendalikan wanita yang pemberani itu. “Jadwal selanjutnya? Kamu nggak laporan padaku?” tanya Suga.Ratih menghela napas, kemudian menjawab, “Sore nanti sudah
Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di da
Hanya makan-makan apanya? Itulah yang dipikirkan oleh Suga saat ini. Setelah selesai menyambangi sebuah restoran, ia justru diseret untuk singgah di sebuah pusat perbelanjaan. Tadinya ia ingin menolak, tetapi Nurma dan Egy memintanya untuk ikut saja, tanggung alasannya. Seperti yang Suga sangka bahwa Ratih dan Gatra akan sangat tidak menyukai kehadirannya, seperti acara sebelumnya. Namun apa boleh buat, mereka harus terima tepat ketika Suga mengiyakan ajakan itu. Benar, Suga memang sengaja. Selain hendak mengintimidasi Ratih saat ini, rasanya akan lebih menantang jika ia melakukan sesuatu yang wanita itu benci.“Ngapain sih ke sini segala!” pekik Ratih tiba-tiba setelah asyik menggumamkan umpatan teruntuk Suga yang ada di sampingnya sej
Di dalam apartemen, Suga masih memikirkan sikap baik Ratih pada dirinya dengan perasaan heran. Pasalnya, ketika Ratih benar-benar membencinya, beberapa saat yang lalu Ratih justru memberikan pertolongan untuknya. Bahkan Ratih segera membawa Suga untuk pulang. Dan kini, Ratih tampak sibuk di dapur menyajikan sesuatu, Suga pun tidak tahu.Sekian detik kemudian, akhirnya Ratih menampakkan diri lagi setelah keluar dari dapur mewah milik sang atasan. Ia membawa sebuah nampan berisi teko antik dan satu cangkir kosong. Suga lantas menatap ke arah lain karena ia tidak mau jika Ratih salah paham apalagi sampai menganggapnya sedang memperhatikan.“Saya rasa secangkir teh bisa membuat Anda merasa tenang,” ucap Ratih sembari meletakkan nampan itu di atas meja. Kemudian, ia menyajikan teh dari teko ke dalam cangkir untuk ia berikan Suga.“Apa maumu?” Suga justru melontarkan pertanyaan itu. “Kenapa kamu membantu orang yang kamu benci? Apa ini upayamu agar aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu ke
Masih menggunakan mobil yang sama, Ratih dan Suga tengah bersama. Kecanggungan menyisip di antara mereka, menimbulkan kebisuan tanpa suara selain hela atau embusan napas saja. Sementara, laju kendaraan menggunakan kecepatan standar, tidak cepat ataupun lambat. Sesekali, entah Ratih atau Suga saling melirik. Jika tak sengaja berbarengan, keduanya kompak membuang muka dan kembali didera salah tingkah. Dari Ratih yang cukup tidak nyaman, sekalipun Suga memberikan sikap baik. Tetap saja, hanya sebuah balasan atas pertolongan yang Ratih berikan, jadi tidak mungkin Suga begitu cepat dalam berubah.Sebab, orang sekaku Suga tidak mungkin berubah dalam waktu yang cepat, bahkan beberapa saat yang lalu justru masih mengawasinya dengan tatapan elang.Rintik hujan yang turun di bulan Desember turut menemani kebersamaan tanpa suara itu. Pendingin mobil yang tidak dimatikan atau sekedar dikecilkan oleh Suga, menyebabkan rasa dingin mendera tubuh Ratih. Ingin meminta tolong, Ratih sangat enggan, lebih
Malam ini suasana sangat dingin. Kerap terdengar embusan angin terdengar cukup kencang. Dan Gatra sedang terdiam sembari meringkuk di atas ranjang di dalam kamarnya. Benaknya kembali teringat akan kejadian tadi sore, saat dirinya berkumpul dengan Nurma, Egy, Ratih, sekaligus pria culun yang merupakan CEO dari perusahaan di mana Ratih bekerja. Sejujurnya, Gatra merasa sangat terganggu, terlepas dari fakta bahwa pria culun itu merupakan atasan dari wanita pujaannya. Namun hatinya tetap merasa bahwa sosok Sugantara bukanlah pria biasa, terlepas dari jabatannya sebagai seorang CEO. Pria berkaca mata tebal itu jika diamati lebih saksama ternyata memiliki tatapan mata yang tajam. Wajah Sugantara pun begitu halus tanpa jerawat satu pun, lalu sikap dingin semakin membuat Gatra merasa curiga pada Sugantara. Belum lagi mengenai kejadian di mal tadi, yang mana Suga justru limbung hanya karena insiden kecil. Dan Ratih menjadi penyelamat bagi pria itu. Gatra benar-benar bingung, sepertinya ada ra
Pagi hari ini cukup cerah. Ratih pun sudah terbangun dan sedang sibuk berkutat dengan make-up untuk merias wajahnya di hadapan cermin rias. Senyumnya terulas di bibir tipis berwarna merah muda miliknya itu. Ratih yang memiliki harga diri setinggi langit memang kerap memuji kecantikan wajah yang ia miliki, begitu pun dengan semua kekuatan serta kecerdasan yang ia asah selama ini. Bangga? Tentu saja! Sesaat setelah memastikan riasan wajahnya untuk terakhir kali, Ratih memutuskan untuk berdiri. Ia memundurkan kursi tanpa sandaran yang ia duduki sejak tadi. Kemudian, Ratih berjalan menuju lemari yang memiliki cermin besar di bagian pintunya. “Wuuaah! Aku emang cantik pakai ini!” ucap Ratih dengan perasaan yang berdecak senang sembari menatap pantulan dirinya yang terbalut setelan elegan yang merupakan hadiah dari Sugantara. Sejujurnya Ratih memang sempat merasa bimbang. Haruskah ia memakai pakaian itu hari ini atau esok hari saja. Namun, Suga yang sangar sudah pasti akan mempertanyakan
Pipi Suga sampai memar karena sambaran tangan Daichi Lesmana yang belum lama ini melampiaskan kemarahan cara memberikan tamparan keras. Namun setelah dipukul, Suga masih saja berdiri tegak, mungkin hanya kepalanya saja yang tertunduk. Bukan hanya perkara seorang wanita saja. Hal yang membuat Daichi Lesmana sampai murka, tidak lain dan tidak bukan adalah Suga yang tidak lekas datang ketika diminta untuk pulang, lebih tepatnya menghadap dirinya. Cara Suga yang membangkang, bahkan meski hal itu jarang Suga lakukan, tetaplah membuat Daichi Lesmana tidak terima. "Apa sekarang kamu sudah mulai berani pada Ayah?!" ucap Daichi Lesmana yang belum berkenan untuk menyudahi kekesalannya. "Kamu pikir, usia Ayah yang sudah tua ini, justru mengurangi kekuasaan dan kekuatan yang Ayah miliki, Sugantara? Tidak! Ayah masih bisa membunuhmu kapan saja, atau mungkin sekadar mengganggu kedua adikmu itu!"Mendengar ancaman yang keluar dari mulut sang ayah angkat, Suga lantas menelan saliva. Kedua telapak t
"Aku ingin memintamu turun, tapi ...." Usai berkata demikian, Suga berangsur meraih tangan Ratih. Genggaman erat ia lakukan terhadap lentiknya jari-jemari milik wanita itu. Dan ketika ia menoleh, Ratih malah sibuk menatap ke arah depan. "Kamu masih saja merasa canggung ya? Kenapa? Apa suasana di hubungan kita ini benar-benar membuatmu enggak nyaman, Ratih?"Ratih menelan saliva dengan susah-payah. Nyatanya meskipun jago bela diri, pemberani, serta berharga diri tinggi, ia tetap mati kutu ketika Suga memperlakukan dirinya dengan cara yang berbeda. Belum lagi, status hubungannya dengan Suga yang belum jelas, sejatinya membuat Ratih terus berpikir keras; rasanya tidak pantas jika ia dan Suga sampai berciuman ketika tak ada hubungan spesial apa pun, selain atasan dan bawahan. Namun sekali lagi, ia tidak cukup percaya diri untuk menuntut kejelasan hubungan yang ia pikirkan tersebut. "Saya mau turun sekarang, Pak," ucap Ratih setelah sekian detik mampu menentukan langkahnya. Detik berikutn
Jantung Ratih tak bisa berhenti berdebar, sejak Suga merenggut ciuman pertamanya. Bahkan sekarang, ketika telah kembali ke kantor dan jam kerja sudah hampir selesai, Ratih masih belum bisa merasa lebih tenang. Konsenterasinya terus terganggu dengan bayangan keromantisan itu. Sentuhan bibir Suga seolah masih tersisa di bibir, pipi, hingga kening Ratih. Wajahnya kerap memerah setiap kali ia membayangkan itu semua.“Ugh ... bagaimana bisa aku menjadi orang yang semesum ini sih?” ucap Ratih. Detik berikutnya ia lantas mengutuk dirinya sendiri. “Kalau begini terus, aku enggak akan bisa bekerja dengan baik. Ck ....”Usai mengeluh, seulas senyuman justru tampak tertera di bibir Ratih. “Tapi, tadi ... Pak Suga ... apa dia memiliki banyak pengalaman? Kenapa dia selihai itu? Yah, enggak heran sih. Toh, tampang aslinya memang luar biasa tampan. Wanita mana yang akan menolak pesonanya itu?”“Ah, enggak boleh begini terus. Aku harus bekerja. Dan aku harus menemuinya. Mau enggak mau aku memang haru
"Kenapa malah membawa saya ke apartemen sih, Pak?! Katanya tadi ada kerjaan!" omel Ratih usai dibawa ke apertemen milik atasannya tersebut. Suga tidak menjawab dan justru memasang ekspresi yang cukup datar. Meski kacamata tebalnya belum ia lepaskan, dan poni panjangnya tak ia singkirkan, rona kekesalan terlihat jelas di wajah berpenampilan culunnya tersebut. Sikap Suga tentunya membuat Ratih menjadi heran sekaligus penasaran. Namun untuk kembali mengomel, Ratih sudah tidak berani. Pasalnya, ia sendiri cukup takut dengan apa yang akan Suga lakukan terhadapnya. Terlebih ketika pria itu terus melangkah maju di hadapannya, yang otomatis membuat dirinya terpaksa berjalan mundur. "Aaaakh!" pekik Ratih saat tubuhnya menabrak sebuah meja bundar berukuran lebih kecil daripada meja lain yang juga ada di ruang tamu dari apartemen tersebut. Dengan cepat, Suga menangkap pinggang Ratih, sehingga wanita pemberani itu tak sampai terjatuh. Berkat penyelamatan dadakan yang Suga lakukan, Ratih semak
"Baik, Ayah, akan saya usahakan datang secepatnya. Setidaknya sampai urusan saya kelar," ucap Suga pada sang ayah ketika ia diminta untuk pulang, usai ia menjawab panggilan dari ayahnya tersebut. "Pulanglah sekarang. Ayah tahu kamu enggak ada agenda penting! Ayah ingin bicara denganmu, Sugantara!" sahut Daichi Lesmana. Suga menggertakkan giginya usai sejenak menurunkan ponsel dari telinga dan wajahnya. Sebelum memberikan jawaban pada Daichi Lesmana, Suga lantas menatap Ratih yang masih sibuk berbincang dengan Gatra, bahkan saat ini keduanya akan melangsungkan makan siang bersama."Saya akan datang, Ayah," ucap Suga kemudian berangsur mengakhiri panggilan tersebut. Dan seharusnya ia memutar badan, lalu berangkat menuju rumah Daichi Lesmana. Sayangnya, kebimbangan justru terus menyiksa batin dan pikiran seorang Sugantara, yang otomatis membuatnya kebingungan. Ia harus segera merealisasikan perintah Daichi Lesmana, tetapi di sisi lain, ia tidak rela ketika melihat Ratih tertawa bersam
Ratih menuju salah satu restoran yang cukup mahal. Ia mencoba untuk melampiaskan kekesalannya pada Suga dengan membelanjakan sedikit uangnya demi seporsi steak yang lezat. Sekali-kali jajan mahal, tak masalah, bukan? Lagi pula, akhir-akhir ini Ratih juga tergolong lebih hemat, lantaran Suga selalu membayari makan siangnya sekaligus juga memberikan tumpangan untuknya. Hanya saja, dengan sikap yang sebaik itu, masih sangat disayangkan ketika Suga malah bersikap plin-plan. Pria itu sangat ambigu, bukan? Perasaan? Yang benar saja! Mengapa kata perasaan harus keluar dari mulut Suga, jika pada akhirnya tak ada kejelasan apa pun tentang hal tersebut? Yang pada akhirnya malah membuat Ratih semakin tidak habis pikir, bahkan geram. Sikap Suga yang awalnya lebih memilih dirinya daripada ajakan makan siang dari Rinjani, sang adik, mulai tak bisa membuat hati Ratih bergetar lagi."Ck, mungkinkah kebaikannya selama ini padaku memang digunakan untuk menghentikan pendekatan yang dilakukan oleh sang a
Kesal hati Rinjani. Bagaimana tidak, jika belakangan ini ia justru mendapatkan kabar mengenai kedekatan Sugantara dengan seorang wanita bernama Ratih Kembang Gayatri, sekretaris pria itu sendiri. Rumor yang beredar mengatakan bahwa CEO culun itu telah menjalin hubungan dengan Ratih, dan tak jarang Suga sampai mengantar Ratih pulang hingga beberapa kali terpergok sedang berjalan berduaan. Sebagai adik, yang meski angkat, tetapi sangat memahami Sugantara, termasuk mengetahui betapa Sugantara sangat tampan, Rinjani sempat merasa percaya tidak percaya. Ia yang juga masih bermimpi untuk hidup sebagai istri Suga, benar-benar berharap bahwa rumor itu hanyalah sebatas rumor tak berdasar saja. Namun ... apa mau dikata.Saat ini, ketika Rinjani sengaja datang ke perusahaan Daichi yang dipimpin oleh Suga sebagai seorang CEO, Rinjani malah mendapati kakaknya itu berjalan akrab dengan seorang wanita. Dan sekarang pun, mereka berada tepat di hadapan Rinjani yang sedang membawa bekal makan siang un
“Aku adalah monster.” “Apa maksud Pak Suga?” “Lupakan!” Lupakan? Tidak, nyatanya kata 'monster' yang diucapkan oleh Suga berulang kali, sukses menghantui benak Ratih ketika malam telah tiba. Sejak enam bulan terakhir menjadi sekretaris Suga, dan setelah momen pertama pria itu mampir ke rumahnya, Ratih sudah melakukan sesuatu untuk mengobati rasa penasarannya. Pertama Ratih masih mempertanyakan apa arti kata 'monster', tetapi Suga tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Kedua, Ratih bergegas menyelinap di balik dinding yang pernah ia pakai untuk bersembunyi, sebelum pukul enam pagi, tetapi juga nihil. Suga bertindak seperti pria normal lainnya. Kebencian Ratih bertambah tatkala semua usahanya tidak membuahkan hasil, hingga .... Seiring waktu berjalan pun, dirinya dan Suga semakin dekat tanpa disadari. Sikap pria itu lebih hangat dan kerap m
Ratih terlihat bingung dan gelagapan sesaat setelah Suga memundurkan posisi wajah serta tubuhnya. Seolah tidak ada sedikit pun rasa bersalah, pria itu bergegas melaju mobil mewahnya yang sebelumnya sempat dihentikan. Senandung berupa gumaman yang bernada Suga dendangkan, tetapi justru membuat Ratih dilanda rasa kesal.Pasalnya, setelah belum lama ini ucapan perihal rasa suka dikatakan oleh Suga, rasa bersalah sekaligus permintaan maaf pun sama sekali tidak ada. Ratih tidak mengerti. Namun di sisi lain, hatinya juga dibuat benar-benar syok, jantungnya berdegup kencang, serta kegugupan yang juga turut menyerang.“Apa kamu tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang aku berikan, Ratih?” tanya Suga memecah kegemingan Ratih.Ratih menelan saliva, berusaha mengumpulkan energi yang sempat tercecer, ia menghela napas. Wanita itu memberanikan diri untuk menatap sosok pria misterius di sampingnya tersebut.“Apa pertanyaan itu sungguhan?” ta