Ketika mobil yang Suga tumpangi bersama sang sopir dan sekretarisnya sampai di depan gerbang utama perusahaan, suasana ternyata sudah cukup sepi. Padahal, mereka meninggalkan tempat itu belum terhitung lama. Nurma dan Gatra juga tak lagi nampak di sana. Sepertinya mereka sudah berangkat ke tempat acara makan bersama.Suga menghela napas, seiring dengkusan kesal yang ia lakukan. Keadaan itu membuatnya mau tidak mau harus kerepotan.“Kasih tahu alamat acara itu pada nomor 081,” titah Suga pada Ratih.Ratih tersentak. “No-nomor?” tanyanya heran.Suga menelan saliva, merasa getir karena baru saja keceplosan. “Maksudku Bapak Sopir.”“Oh ... mm, tapi maksud Pak Suga alamat apa?”“Memangnya kamu pengen ke mana sekarang?”Ratih terdiam sembari memikirkan apa keinginannya yang tampaknya sudah Suga ketahui. Dan keinginannya saat ini hanyalah ingin menyelesaikan pekerjaan. Mengenai alamat tersebut, rasanya hanya satu alamat yang berkaitan, yakni alamat restoran di mana Ratih ingin bergabung di da
Hanya makan-makan apanya? Itulah yang dipikirkan oleh Suga saat ini. Setelah selesai menyambangi sebuah restoran, ia justru diseret untuk singgah di sebuah pusat perbelanjaan. Tadinya ia ingin menolak, tetapi Nurma dan Egy memintanya untuk ikut saja, tanggung alasannya. Seperti yang Suga sangka bahwa Ratih dan Gatra akan sangat tidak menyukai kehadirannya, seperti acara sebelumnya. Namun apa boleh buat, mereka harus terima tepat ketika Suga mengiyakan ajakan itu. Benar, Suga memang sengaja. Selain hendak mengintimidasi Ratih saat ini, rasanya akan lebih menantang jika ia melakukan sesuatu yang wanita itu benci.“Ngapain sih ke sini segala!” pekik Ratih tiba-tiba setelah asyik menggumamkan umpatan teruntuk Suga yang ada di sampingnya sej
Di dalam apartemen, Suga masih memikirkan sikap baik Ratih pada dirinya dengan perasaan heran. Pasalnya, ketika Ratih benar-benar membencinya, beberapa saat yang lalu Ratih justru memberikan pertolongan untuknya. Bahkan Ratih segera membawa Suga untuk pulang. Dan kini, Ratih tampak sibuk di dapur menyajikan sesuatu, Suga pun tidak tahu.Sekian detik kemudian, akhirnya Ratih menampakkan diri lagi setelah keluar dari dapur mewah milik sang atasan. Ia membawa sebuah nampan berisi teko antik dan satu cangkir kosong. Suga lantas menatap ke arah lain karena ia tidak mau jika Ratih salah paham apalagi sampai menganggapnya sedang memperhatikan.“Saya rasa secangkir teh bisa membuat Anda merasa tenang,” ucap Ratih sembari meletakkan nampan itu di atas meja. Kemudian, ia menyajikan teh dari teko ke dalam cangkir untuk ia berikan Suga.“Apa maumu?” Suga justru melontarkan pertanyaan itu. “Kenapa kamu membantu orang yang kamu benci? Apa ini upayamu agar aku melepaskan dirimu dan mengembalikanmu ke
Masih menggunakan mobil yang sama, Ratih dan Suga tengah bersama. Kecanggungan menyisip di antara mereka, menimbulkan kebisuan tanpa suara selain hela atau embusan napas saja. Sementara, laju kendaraan menggunakan kecepatan standar, tidak cepat ataupun lambat. Sesekali, entah Ratih atau Suga saling melirik. Jika tak sengaja berbarengan, keduanya kompak membuang muka dan kembali didera salah tingkah. Dari Ratih yang cukup tidak nyaman, sekalipun Suga memberikan sikap baik. Tetap saja, hanya sebuah balasan atas pertolongan yang Ratih berikan, jadi tidak mungkin Suga begitu cepat dalam berubah.Sebab, orang sekaku Suga tidak mungkin berubah dalam waktu yang cepat, bahkan beberapa saat yang lalu justru masih mengawasinya dengan tatapan elang.Rintik hujan yang turun di bulan Desember turut menemani kebersamaan tanpa suara itu. Pendingin mobil yang tidak dimatikan atau sekedar dikecilkan oleh Suga, menyebabkan rasa dingin mendera tubuh Ratih. Ingin meminta tolong, Ratih sangat enggan, lebih
Malam ini suasana sangat dingin. Kerap terdengar embusan angin terdengar cukup kencang. Dan Gatra sedang terdiam sembari meringkuk di atas ranjang di dalam kamarnya. Benaknya kembali teringat akan kejadian tadi sore, saat dirinya berkumpul dengan Nurma, Egy, Ratih, sekaligus pria culun yang merupakan CEO dari perusahaan di mana Ratih bekerja. Sejujurnya, Gatra merasa sangat terganggu, terlepas dari fakta bahwa pria culun itu merupakan atasan dari wanita pujaannya. Namun hatinya tetap merasa bahwa sosok Sugantara bukanlah pria biasa, terlepas dari jabatannya sebagai seorang CEO. Pria berkaca mata tebal itu jika diamati lebih saksama ternyata memiliki tatapan mata yang tajam. Wajah Sugantara pun begitu halus tanpa jerawat satu pun, lalu sikap dingin semakin membuat Gatra merasa curiga pada Sugantara. Belum lagi mengenai kejadian di mal tadi, yang mana Suga justru limbung hanya karena insiden kecil. Dan Ratih menjadi penyelamat bagi pria itu. Gatra benar-benar bingung, sepertinya ada ra
Pagi hari ini cukup cerah. Ratih pun sudah terbangun dan sedang sibuk berkutat dengan make-up untuk merias wajahnya di hadapan cermin rias. Senyumnya terulas di bibir tipis berwarna merah muda miliknya itu. Ratih yang memiliki harga diri setinggi langit memang kerap memuji kecantikan wajah yang ia miliki, begitu pun dengan semua kekuatan serta kecerdasan yang ia asah selama ini. Bangga? Tentu saja! Sesaat setelah memastikan riasan wajahnya untuk terakhir kali, Ratih memutuskan untuk berdiri. Ia memundurkan kursi tanpa sandaran yang ia duduki sejak tadi. Kemudian, Ratih berjalan menuju lemari yang memiliki cermin besar di bagian pintunya. “Wuuaah! Aku emang cantik pakai ini!” ucap Ratih dengan perasaan yang berdecak senang sembari menatap pantulan dirinya yang terbalut setelan elegan yang merupakan hadiah dari Sugantara. Sejujurnya Ratih memang sempat merasa bimbang. Haruskah ia memakai pakaian itu hari ini atau esok hari saja. Namun, Suga yang sangar sudah pasti akan mempertanyakan
Di hadapan Suga, Ratih berdiri terpaku. Ada rasa bimbang di hatinya untuk memulai pembicaraan, setelah sebelumnya sempat mendengar sedikit percakapan pria itu dengan dengan sang adik. Namun, di sisi lain, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris yang perlu mengurus atasannya itu. Dengan gerak ragu, Ratih mendekati Sugantara yang sejak tadi sibuk menghela napas berkali-kali dan duduk di sofa tanpa beranjak. Kemudian, lebih dekat dengan pria itu, Ratih berdeham. “Tinggal 30 menit lagi, Pak,” ucapnya. Suga berangsur menatapnya. Tajam dan seolah menusuk dada Ratih. “Ya," jawabnya singkat, serta terkesan malas. “Mohon segera bersiap, karena setelah ini ada rap—” “Aku tahu, jangan cerewet!” sahut Suga keras dan tegas. Ratih mendengkus kesal. “Kalau tahu, ya jangan duduk terus dong!” Ia membungkam bibirnya dengan segera. “Ups, maaf, Pak,” lanjutnya tanpa rasa bersalah. Suga mengembuskan napasnya dengan kasar. Namu
Saat hari mulai cerah membuat hawa panas kian terasa. Suasana yang menandakan jika pertengahan waktu sudah berangsur tiba. Meeting yang dilaksanakan sudah diakhiri. Para peserta keluar dari ruangan khusus itu, tanpa terkecuali Sugantara dan Ratih Kembang. Keduanya berjalan saling beriringan. Si buruk rupa dan si cantik jelita memiliki satu tujuan yang sama, yakni hendak masuk ke dalam ruang kerja CEO. Banyak orang yang melihat mereka sembari berbisik-bisik satu sama lain. Terdengar pula kata bully yang merujuk pada penampilan Suga yang tidak rapi dan juga geeky. Namun, karena memang memiliki sifat dingin dan masa bodoh, Suga tidak pernah peduli penilaian orang lain terhadap dirinya. Ia tetap berjalan lurus, seolah tidak pernah melihat siapa pun di sana kecuali dirinya sendiri.Hal itu sedikit membuat Ratih merasa prihatin. Bahkan ia mulai membenarkan ucapan Nurma, Suga sungguh bikin iba. Memiliki seorang atasan yang kerap dihina-hina sukses menumbuhkan rasa simpati di hati Ratih Kemba
Pipi Suga sampai memar karena sambaran tangan Daichi Lesmana yang belum lama ini melampiaskan kemarahan cara memberikan tamparan keras. Namun setelah dipukul, Suga masih saja berdiri tegak, mungkin hanya kepalanya saja yang tertunduk. Bukan hanya perkara seorang wanita saja. Hal yang membuat Daichi Lesmana sampai murka, tidak lain dan tidak bukan adalah Suga yang tidak lekas datang ketika diminta untuk pulang, lebih tepatnya menghadap dirinya. Cara Suga yang membangkang, bahkan meski hal itu jarang Suga lakukan, tetaplah membuat Daichi Lesmana tidak terima. "Apa sekarang kamu sudah mulai berani pada Ayah?!" ucap Daichi Lesmana yang belum berkenan untuk menyudahi kekesalannya. "Kamu pikir, usia Ayah yang sudah tua ini, justru mengurangi kekuasaan dan kekuatan yang Ayah miliki, Sugantara? Tidak! Ayah masih bisa membunuhmu kapan saja, atau mungkin sekadar mengganggu kedua adikmu itu!"Mendengar ancaman yang keluar dari mulut sang ayah angkat, Suga lantas menelan saliva. Kedua telapak t
"Aku ingin memintamu turun, tapi ...." Usai berkata demikian, Suga berangsur meraih tangan Ratih. Genggaman erat ia lakukan terhadap lentiknya jari-jemari milik wanita itu. Dan ketika ia menoleh, Ratih malah sibuk menatap ke arah depan. "Kamu masih saja merasa canggung ya? Kenapa? Apa suasana di hubungan kita ini benar-benar membuatmu enggak nyaman, Ratih?"Ratih menelan saliva dengan susah-payah. Nyatanya meskipun jago bela diri, pemberani, serta berharga diri tinggi, ia tetap mati kutu ketika Suga memperlakukan dirinya dengan cara yang berbeda. Belum lagi, status hubungannya dengan Suga yang belum jelas, sejatinya membuat Ratih terus berpikir keras; rasanya tidak pantas jika ia dan Suga sampai berciuman ketika tak ada hubungan spesial apa pun, selain atasan dan bawahan. Namun sekali lagi, ia tidak cukup percaya diri untuk menuntut kejelasan hubungan yang ia pikirkan tersebut. "Saya mau turun sekarang, Pak," ucap Ratih setelah sekian detik mampu menentukan langkahnya. Detik berikutn
Jantung Ratih tak bisa berhenti berdebar, sejak Suga merenggut ciuman pertamanya. Bahkan sekarang, ketika telah kembali ke kantor dan jam kerja sudah hampir selesai, Ratih masih belum bisa merasa lebih tenang. Konsenterasinya terus terganggu dengan bayangan keromantisan itu. Sentuhan bibir Suga seolah masih tersisa di bibir, pipi, hingga kening Ratih. Wajahnya kerap memerah setiap kali ia membayangkan itu semua.“Ugh ... bagaimana bisa aku menjadi orang yang semesum ini sih?” ucap Ratih. Detik berikutnya ia lantas mengutuk dirinya sendiri. “Kalau begini terus, aku enggak akan bisa bekerja dengan baik. Ck ....”Usai mengeluh, seulas senyuman justru tampak tertera di bibir Ratih. “Tapi, tadi ... Pak Suga ... apa dia memiliki banyak pengalaman? Kenapa dia selihai itu? Yah, enggak heran sih. Toh, tampang aslinya memang luar biasa tampan. Wanita mana yang akan menolak pesonanya itu?”“Ah, enggak boleh begini terus. Aku harus bekerja. Dan aku harus menemuinya. Mau enggak mau aku memang haru
"Kenapa malah membawa saya ke apartemen sih, Pak?! Katanya tadi ada kerjaan!" omel Ratih usai dibawa ke apertemen milik atasannya tersebut. Suga tidak menjawab dan justru memasang ekspresi yang cukup datar. Meski kacamata tebalnya belum ia lepaskan, dan poni panjangnya tak ia singkirkan, rona kekesalan terlihat jelas di wajah berpenampilan culunnya tersebut. Sikap Suga tentunya membuat Ratih menjadi heran sekaligus penasaran. Namun untuk kembali mengomel, Ratih sudah tidak berani. Pasalnya, ia sendiri cukup takut dengan apa yang akan Suga lakukan terhadapnya. Terlebih ketika pria itu terus melangkah maju di hadapannya, yang otomatis membuat dirinya terpaksa berjalan mundur. "Aaaakh!" pekik Ratih saat tubuhnya menabrak sebuah meja bundar berukuran lebih kecil daripada meja lain yang juga ada di ruang tamu dari apartemen tersebut. Dengan cepat, Suga menangkap pinggang Ratih, sehingga wanita pemberani itu tak sampai terjatuh. Berkat penyelamatan dadakan yang Suga lakukan, Ratih semak
"Baik, Ayah, akan saya usahakan datang secepatnya. Setidaknya sampai urusan saya kelar," ucap Suga pada sang ayah ketika ia diminta untuk pulang, usai ia menjawab panggilan dari ayahnya tersebut. "Pulanglah sekarang. Ayah tahu kamu enggak ada agenda penting! Ayah ingin bicara denganmu, Sugantara!" sahut Daichi Lesmana. Suga menggertakkan giginya usai sejenak menurunkan ponsel dari telinga dan wajahnya. Sebelum memberikan jawaban pada Daichi Lesmana, Suga lantas menatap Ratih yang masih sibuk berbincang dengan Gatra, bahkan saat ini keduanya akan melangsungkan makan siang bersama."Saya akan datang, Ayah," ucap Suga kemudian berangsur mengakhiri panggilan tersebut. Dan seharusnya ia memutar badan, lalu berangkat menuju rumah Daichi Lesmana. Sayangnya, kebimbangan justru terus menyiksa batin dan pikiran seorang Sugantara, yang otomatis membuatnya kebingungan. Ia harus segera merealisasikan perintah Daichi Lesmana, tetapi di sisi lain, ia tidak rela ketika melihat Ratih tertawa bersam
Ratih menuju salah satu restoran yang cukup mahal. Ia mencoba untuk melampiaskan kekesalannya pada Suga dengan membelanjakan sedikit uangnya demi seporsi steak yang lezat. Sekali-kali jajan mahal, tak masalah, bukan? Lagi pula, akhir-akhir ini Ratih juga tergolong lebih hemat, lantaran Suga selalu membayari makan siangnya sekaligus juga memberikan tumpangan untuknya. Hanya saja, dengan sikap yang sebaik itu, masih sangat disayangkan ketika Suga malah bersikap plin-plan. Pria itu sangat ambigu, bukan? Perasaan? Yang benar saja! Mengapa kata perasaan harus keluar dari mulut Suga, jika pada akhirnya tak ada kejelasan apa pun tentang hal tersebut? Yang pada akhirnya malah membuat Ratih semakin tidak habis pikir, bahkan geram. Sikap Suga yang awalnya lebih memilih dirinya daripada ajakan makan siang dari Rinjani, sang adik, mulai tak bisa membuat hati Ratih bergetar lagi."Ck, mungkinkah kebaikannya selama ini padaku memang digunakan untuk menghentikan pendekatan yang dilakukan oleh sang a
Kesal hati Rinjani. Bagaimana tidak, jika belakangan ini ia justru mendapatkan kabar mengenai kedekatan Sugantara dengan seorang wanita bernama Ratih Kembang Gayatri, sekretaris pria itu sendiri. Rumor yang beredar mengatakan bahwa CEO culun itu telah menjalin hubungan dengan Ratih, dan tak jarang Suga sampai mengantar Ratih pulang hingga beberapa kali terpergok sedang berjalan berduaan. Sebagai adik, yang meski angkat, tetapi sangat memahami Sugantara, termasuk mengetahui betapa Sugantara sangat tampan, Rinjani sempat merasa percaya tidak percaya. Ia yang juga masih bermimpi untuk hidup sebagai istri Suga, benar-benar berharap bahwa rumor itu hanyalah sebatas rumor tak berdasar saja. Namun ... apa mau dikata.Saat ini, ketika Rinjani sengaja datang ke perusahaan Daichi yang dipimpin oleh Suga sebagai seorang CEO, Rinjani malah mendapati kakaknya itu berjalan akrab dengan seorang wanita. Dan sekarang pun, mereka berada tepat di hadapan Rinjani yang sedang membawa bekal makan siang un
“Aku adalah monster.” “Apa maksud Pak Suga?” “Lupakan!” Lupakan? Tidak, nyatanya kata 'monster' yang diucapkan oleh Suga berulang kali, sukses menghantui benak Ratih ketika malam telah tiba. Sejak enam bulan terakhir menjadi sekretaris Suga, dan setelah momen pertama pria itu mampir ke rumahnya, Ratih sudah melakukan sesuatu untuk mengobati rasa penasarannya. Pertama Ratih masih mempertanyakan apa arti kata 'monster', tetapi Suga tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Kedua, Ratih bergegas menyelinap di balik dinding yang pernah ia pakai untuk bersembunyi, sebelum pukul enam pagi, tetapi juga nihil. Suga bertindak seperti pria normal lainnya. Kebencian Ratih bertambah tatkala semua usahanya tidak membuahkan hasil, hingga .... Seiring waktu berjalan pun, dirinya dan Suga semakin dekat tanpa disadari. Sikap pria itu lebih hangat dan kerap m
Ratih terlihat bingung dan gelagapan sesaat setelah Suga memundurkan posisi wajah serta tubuhnya. Seolah tidak ada sedikit pun rasa bersalah, pria itu bergegas melaju mobil mewahnya yang sebelumnya sempat dihentikan. Senandung berupa gumaman yang bernada Suga dendangkan, tetapi justru membuat Ratih dilanda rasa kesal.Pasalnya, setelah belum lama ini ucapan perihal rasa suka dikatakan oleh Suga, rasa bersalah sekaligus permintaan maaf pun sama sekali tidak ada. Ratih tidak mengerti. Namun di sisi lain, hatinya juga dibuat benar-benar syok, jantungnya berdegup kencang, serta kegugupan yang juga turut menyerang.“Apa kamu tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang aku berikan, Ratih?” tanya Suga memecah kegemingan Ratih.Ratih menelan saliva, berusaha mengumpulkan energi yang sempat tercecer, ia menghela napas. Wanita itu memberanikan diri untuk menatap sosok pria misterius di sampingnya tersebut.“Apa pertanyaan itu sungguhan?” ta