Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu.
"Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor." Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.
Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini.
"Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu.
"Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada bening di sudut mata. Dengan perlahan, Mbok Napsiah mengusap airmatanya. Bagai kasih sayang seorang ibu, wanita berumur itu mengangsurkan sesendok bubur yang masih mengepulkan asap tipis ke mulut Amy. Harum aromanya menerbitkan selera sang nyonya.
"Dicoba dulu, Nya. Biar badan Nyonya kembali kuat."
Amy beringsut duduk. Mencoba membuka mulutnya sedikit dan seketika mengaduh. Lalu menggelengkan kepala dan kembali membaringkan tubuhnya ke ranjang.
"Taruh di situ aja, Mbok. Nanti kalo sudah mendingan, saya makan sendiri," bisiknya lirih sambil memejamkan mata. Berusaha untuk tidur kembali.
Dia sedang tak ingin bergerak. Tubuhnya terasa sakit dan ngilu.
Mbok Napsiah menahan tangis. Lalu dengan perlahan meletakkan mangkuk berisi bubur dan segelas teh hangat di atas meja di samping tempat tidur. Wanita tua itu berjalan keluar dan menutup pintu perlahan. Ia mengusap mata yang berair dengan ujung kebaya lusuhnya. Merasa sedih dengan keadaan nyonya rumah. Yang walaupun baik hati tetapi bernasib malang sekali.
***
"Oh, Amy...."
Poppy mendekap mulutnya saat melihat keadaan sepupu satu-satunya itu ketika datang berkunjung di sore hari. Tiga hari setelah kejadian tragis itu. Seolah-olah mendapatkan firasat buruk mengenai Amy.
Dan, ternyata benar.
Amy terlihat begitu buruk.
Walaupun sudah mengempis, memar dan bengkak di wajahnya masih terlihat mengerikan. Kulit di sekitar matanya membiru, mulutnya bengkak hebat hingga terlihat aneh dan menyedihkan.
"Tinggalkanlah dia, Amy. Kau tak pantas diperlakukan seperti ini. Bahkan binatangpun dilindungi dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang begitu," ucapnya sambil menangis.
Amy memandang ke arahnya melalui matanya yang sendu. "Aku memang salah, Pop. Tidak bisa menjaga diri dan marfuah suami. Menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan kepadaku," jawabnya menunduk.
Poppy membelalak tak percaya. Wanita yang sebaya itu segera menggenggam tangan Amy. Iris kecoklatannya membesar, geram dengan kebodohan sepupu yang lemah ini. "Seberapapun besar kesalahanmu, kau tak pantas diperlakukan seperti ini," serunya, "Kau berharga, Amy. Kau istrinya! Bukan sasak tinju yang bisa dipukul kapan saja setiap dia mau!" Nafasnya memburu meluapkan kekesalan melihat kelemahan wanita yang duduk termangu di depannya.
"Sampai kapan kau akan bertahan, Amy? Sampai kapan? Sampai tulang-belulangmu ikut hancur dipukulinya? Atau kau mati terkapar di rumahmu sendiri?!"
Amy menatapnya sedih. Berujar lirih melalui mulutnya yang bengkak. "Aku mencintainya, Pop. Sangat ...."
Poppy melepaskan genggamannya. "Oh, Allah...," ucapnya sambil mengelus dada.
"Mas Hamam sudah berubah, Pop. Dia gak pernah mukul lagi selama setahun ini...," ucap Amy sambil meraih tangan Poppy. Matanya berbinar berusaha meyakinkan sepupunya yang balas memandang tak percaya.
Mungkin kepalanya ikut rusak setelah bertahun-tahun terkena pukulan Hamam.Batin Poppy masgyul.
"Kami sudah mulai hidup bahagia, Pop. Sungguh. Kami saling mencintai. Setahun ini, kami sudah saling mencintai," ucapnya tanpa menyadari bulir-bulir airmata yang mengalir tanpa permisi di pipinya.
Poppy kehilangan kata-kata. Baru ia menyadari sekarang, betapa KDRT telah merenggut begitu banyak bagian dari diri Amy. Gadis yang dulunya pandai dan ceria, berubah menjadi wanita pemurung dan suka berhalusinasi. Mengatakan bahwa pernikahannya baik-baik saja.
"Lalu, bagaimana dengan tahun-tahun penuh deritamu dulu, Sepupu? Lima tahun ke belakang bukanlah sesuatu yang sebentar," ucapnya lirih. Jari-jemarinya menyeka airmata yang jatuh bergulir di pipi Amy. Wanita malang itu menunduk dan terisak.
"Berhentilah bermimpi untuk membawa Hamam ke jalan kebaikan. Pelaku KDRT akan selalu mengulang tabiatnya, jika kau hanya diam dan menerimanya bulat-bulat tanpa perlawanan," ucap Poppy perlahan. Berharap Amy akan mencerna perkataannya dan menerima.
Bibir Amy bergetar.
"Aku malu sama, Uwak. Apa katanya di sana, saat tahu keponakan yang dibesarkan tidak mampu menjaga keutuhan rumah tangga. Setidaknya, biarkan anak yatim piatu ini berbakti padanya."
"Ayah juga tidak mungkin menginginkan kehidupan yang seperti ini untukmu, Amy. Malah beliau akan menangis bila tahu kau menjadi sasak tinju laki-laki itu selama bertahun-tahun," sangkal Poppy bergetar.
"Aku tak bisa. Aku tak bisa berpisah dari Mas Hamam. Aku akan mati jika melakukannya," isaknya lirih.
Poppy menggenggam kedua tangan Amy. Lalu dengan penuh tekad ia berkata : "Kita akan menempuh jalur hukum, Amy. Aku akan membantumu kali ini. Aku tak akan meninggalkanmu. Percayalah. Kita akan menang!"
Amy menggeleng lemah.
"Kau tak tahu betapa berkuasanya Mas Hamam, Pop. Bukan sekali dua kali ini aku mencoba berpisah darinya. Tapi, semuanya sia-sia. Akhirnya, tak ada yang benar-benar menolongku," rintihnya pedih.
Poppy meneguk ludah. Kepalang tanggung. Pikirnya.
"Ada Ali, Sepupuku. Ada dia yang akan menolong kita," ujarnya yakin.
Amy seketika melepaskan genggaman tangan Poppy. Matanya nanar menatap sepupu yang telah lancang menyebut nama laki-laki itu. "Jangan kau sebut-sebut nama dia di depanku," desis Amy marah, "kau tahu, dialah penyebab semua ini. Penyebab kehancuran rumah tanggaku," jerit Amy histeris.
"Aku dan Mas Hamam baru saja hendak menata semuanya kembali. Saat ia tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan kami dan meluluhlantakkan semuanya," jerit Amy frustasi. "Apa kau ada hubungannya dengan semua ini, Pop? Apakah kalian saling menghubungi selama ini? Jawab Pop!" bentak Amy.
Poppy berkaca lalu menggeleng lemah. "Tidak," ucapnya teguh, "aku hanya tak ingin melihatmu hancur seperti ini. Ali tak akan pernah menyakitimu begitu rupa, Amy."
Wajah wanita malang itu berpendar sedih. Membenarkan ucapan Poppy di relung hatinya yang terdalam.
"Ali masih sangat mencintaimu...," ucapnya lagi. Lirih. Selirih hembusan bayu.
Amy mengeleng kuat-kuat. "Aku tak bisa! Aku tak bisa berpisah dari Mas Hamam! Aku masih sangat mencintainya. Oh, Poppy, mengertilah..., mengertilah dengan keadaanku..., dia akan berubah. Percayalah!"
Poppy seketika lemas tak berdaya menyaksikan kebodohan Amy. Lama menelusuri wajah sepupu satu-satunya yang sangat ia sayangi ini. Meremas dadanya yang sakit melihat keadaan Amy. Lalu ia menunduk dan berujar dengan suara lemah penuh kekecewaan. Kerongkongannya tercekat saat ia bersuara penuh kepahitan.
"Aku tak bisa menolongmu, Amy," ucapnya bergetar, "hanya engkau yang bisa menolong dirimu sendiri untuk keluar dari penderitaanmu ini," ujarnya lirih sambil membawa Amy ke dalam pelukannya. Poppy mencium ubun-ubun saudarinya itu dengan masgyul. Lalu melepaskan pelukkannya.
"Aku harus pulang. Jaga dirimu baik-baik. Jangan sungkan untuk menghubungiku ketika kau membutuhkan aku," kecupnya sebelum bangkit berdiri dan berlalu.
Amy hanya mengangguk lemah di atas tempat tidurnya. Matanya terasa perih karena terlalu banyak menangis. Ia membaringkan tubuh kembali di atas dipan. Dan mulai terlelap karena rasa letih yang mendera.
***
Poppy berjalan keluar dari rumah. Setelah berpamitan dengan Mbok Napsiah dan meninggalkan pesan, agar pembantu setia itu selalu menjaga Amy dan menghubunginya jika terjadi sesuatu kembali. Tangannya meraih gawai yang sedari tadi tersimpan di kantung celana. Dengan gemetar dan emosional ia menyentuh layar androidnya. Mencoba menghubungi seseorang.
"Pop...?"
Suara bariton di ujung sana menyahut, menuntut penjelasan. Membuat pertahanannya jebol.
"Jangan lakukan itu lagi..., Ali!" ucap Poppy di sela-sela isakannya. "Kau akan membuatnya terbunuh, Reinaldi Ghazali!!"
Tangisnya pecah, bahkan sebelum sempat mencapai pagar rumah Amy.
***
Sudah satu minggu Amy ijin dari kantornya. Ia langsung bisa menduga, pasti ada campur tangan Reinaldi dalam turunnya izin ketidakhadiran dirinya di kantor. Biasanya, kantor hanya memberikan ijin tiga hari saja untuk tak masuk kerja. Dalam keadaan apapun. Persaingan dalam dunia kerja di sana begitu ketat. Hingga, tidak seorangpun mau bersusah-payah mengurus ijin berlama-lama tidak masuk kerja ke HRD. Bisa-bisa langsung mendapat amplop SP satu.
Amy baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, tubuhnya langsung terhenyak melihat seorang wanita cantik melenggang masuk ke dalam kamarnya begitu saja.
"Sudah kau siapkan semua yang diminta Mamih, Mbok?"
Lengking suara serak basah yang menggoda itu. Didesahkannya begitu saja tanpa memandang kepada pemilik kamar. Tubuhnya yang sintal dibalut dengan dress mini berwarna peach muda. Begitu serasi dan menonjolkan lekuk tubuh pemiliknya yang indah dan semampai. Untaian permata dan berlian menghiasi leher, telinga dan tangannya. Elegan. Dan tidak terkesan norak. Rambutnya yang di smoothing halus dan mahal terikat tinggi-tinggi. Menampakkan leher jenjang dan putih.
Halus menggoda.
Ia berjalan dengan angkuh dan penuh percaya diri. Melangkah dengan Jimmy Cho berwarna senada dengan dress dan tas tangannya.
Mahal dan elegan.
Bibirnya yang bergincu pink mengilap, keluaran terbaru Dior, tersenyum merendahkan saat sudut matanya menelusuri sosok Amy yang berdiri mematung di dekat kaca rias.
"Siapa kamu? Lancang masuk-masuk kemari!" tegur Amy marah.
Alih-alih memperhatikannya, gadis itu malah berjalan dengan genit ke arah tempat tidur dan menyentuh kepala dipan dengan dramatis. Matanya yang hazel kecoklatan meneliti seluruh kamar. Lalu pandangannya menunduk, lekat menatap ranjang dan menyentuhkan ujung-ujung kuku jarinya yang mengilap dan terawat. Lalu perlahan bergerak menelusuri seprai putih polos dengan jarinya hingga ke ujung ranjang.
Hati Amy mendidih melihat kekurang-ajaran gadis itu. Tubuhnya bergetar. Amarahnya merambat naik hingga ke puncak ubun-ubun.
"Siapa kau?! Keluar!!" desisnya tertahan.
Gadis itu kembali menatap Amy dengan pandangan geli dan mencemooh. Seolah-olah dialah yang memang berhak terhadap segala sesuatu di dalam kamar itu. "Oh, dear, kau tak tahu?" bisiknya manja.
Matanya pura-pura membulat terkejut lalu mengerling nakal.
"Wanita malang," ejeknya mendesah.
Senyum kemenangan tersungging di bibirnya yang penuh dan sensual. Saat ia mengangkat kelima jari kirinya dan memamerkan sebuah cincin platinum bermata berlian kuning yang besar. Melingkari jari manisnya.
"Aku Angelique," ucapnya puas menikmati rona pucat pasi di wajah Amy.
"Tunangan suamimu," ujarnya lantang.
Seketika tubuh Amy merosot jatuh ke lantai, setelah mendengar kelanjutan ucapannya. :
"Aku akan menjadi istri sah suamimu pekan depan," bisiknya bergairah menikmati kemenangannya.
Bersambung ....
Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri? Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina. ===***=== Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar. Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-lak
"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun." ===***=== Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya. Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d
Cinta itu bisa datang dari kebersamaan. Terus dipupuk dan disirami setiap hari dengan kesabaran. Hingga berbuah lebat dan bisa dituai dalam bentuk kasih sayang yang dominan. ***♡♡♡***Amy duduk terpekur. Masih menunggu kedatangan Hamam dari dalam kamar pengantin. Matanya nanar memandangi daun pintu berwarna putih tulang pilihannya sendiri dulu itu. Yang telah penuh dengan gerombolan bunga beraroma wangi. Indah. Indah sekali.Sungguh keindahan yang merobek hati.Dan, yang sungguh menyesakkan dadanya adalah : itu kamar mereka berdua dulu. Di sanalah mereka sering bergumul memadu kasih hampir setiap malam dikarenakan hasrat s*ksual Hamam yang tidak kunjung padam setiap kali dia menyentuh Amy sehabis pulang dari kantor perusahaannya.Di tempat kerja terlalu banyak p*ha dan d*da terbuka yang lalu-lalang di depan CEO muda itu. Mulai dari yang samar-samar hingga terang-terangan mengajak laki-laki tampan itu naik ke tempat tidur.Namun, masa-masa liar itu sudah lewat. Telah dihabiskan Hama
Pungkas Amy melemparkan bom atom ke dalam ruangan itu. Terdengar seruan tertahan dari beberapa mulut yang penasaran dengan kelanjutan drama ini. Hamam memucat. Pias. Bagaikan darah tersirap meninggalkan wajahnya yang tampan. Ibunya terbeliak pasi dengan bibir gemetar. “Kau ..., bohong!” Getar bibirnya. Jari telunjuknya mengacung ke wajah bekas menantunya. Amy memandangnya tenang. Tak ada lagi rasa takut dalam dirinya. Hatinya sudah mati rasa. “Dalam kertas itu, salinan dari laporan hasil tes dari dokter obgyn terpercaya di kota ini, Ibu. Seorang dokter, yang kredibilitasnya telah diakui semua orang di sini.” Amy memandang ibu mertuanya dingin. “Jika orang sebesar itu mampu berbohong, maka, semua nama baik klinik besarnya bisa dituntut oleh semua orang,” sambungnya lagi.Semua orang terdiam. “Maka, marilah kita ambil kesimpulan, anak kesayanganmulah yang berbohong padaku. Pada kita semua yang ada di sini,” desis Amy. “Tepat dihari ia memukuli aku, di depan matamu, ia telah mengetahu
Amy butuh uang. Dia membutuhkan biaya untuk semua yang harus dilakukan dalam mempertahankan hak-haknya. Dia sedang mengusahakan sesuatu dengan menghubungi seorang teman lamanya di suatu tempat. Namun, hal itu membutuhkan waktu dan biaya kebutuhan yang membengkak tidak bisa menunggu lagi.Maka dia memutuskan masuk kantor kembali setelah dua bulan mengambil cuti sakit. Sesuatu yang muskil, tetapi dia tahu jika Reinaldi telah mengurus bagian HRD untuk memberikan izin cuti tersebut. Rasa segan untuk bertemu Reinaldi kembali hampir menyurutkan langkahnya memasuki gedung perkantoran megah tersebut. Namun, kebutuhan perut mengalahkan segalanya. Amy tidak bisa terus-menerus bergantung dari uang pesangon Mbok Napsiah yang tidak seberapa itu. Dia tidak tega merepotkan pembantunya yang setia itu.Ketika sebuah nomor yang sudah sangat dihapalnya itu menelepon, Amy terpaksa mengangkatnya.[Kamu butuh berapa?]Amy terdiam mendengar suara bariton di seberang sana."Aku tidak butuh apa-apa darimu!"
Bekerja dengan keras. Bila kau dirundung duka mendalam. Kehilangan orang yang kau cintai. Atau, asa yang kau miliki tak kunjung terwujud. Bekerja dengan keras adalah obatnya. Menyibukkan diri dalam tumpukan pekerjaan yang menggunung. Dan berupaya menyelesaikannya secepat yang kau bisa. Tanpa mengambil jeda. istirahat. Ataupun keluh kesah. ===♡♡♡===Akibat insiden di dalam toilet restoran menyebabkan kemenangan besar pada pihak keluarga Hamam. Campur tangan ibu mertuanya ditambah dengan hasutan Angelique membuat Amy kehilangan hak atas harta gono-gini yang seharusnya dia dapatkan.Amy masih berbesar hati jika ini adalah takdir yang harus dia jalani. Dia bekerja dengan sangat rajin di kantor dan tidak menggubris semua fitnah dan rumor yang menerpa dirinya.Namun, apa lacur. Gosip sudah terlanjur beredar. Namanya sudah tercemar sebagai istri peselingkuh dan mandul hingga dibuang oleh suaminya. Para lelaki di kantornya mulai melecehkannya dengan kata-kata verbal yang tidak baik. Ditamba
“Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani
Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik
“J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan
Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m
“Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang
Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka
"Sayang ..., tidak apa-apa mami tinggal?"Panggilan lembut Bu Sonia ditanggapi dengan dingin oleh Angelique. Perempuan itu hanya membuang muka sambil meringis menahan sakit akibat bengkak di wajahnya. Pukulan Hamam benar-benar meluluhlantakkan tubuhnya.'Bagaimana mungkin Amy tahan hidup bersama Hamam setelah dipukuli seperti ini berulangkali? Terbuat dari apa tubuh wanita itu? Apakah ot*aknya terbuat dari baja atau bubur kertas sehingga mau menerima penyiksaan begini selama bertahun-tahun?' batin Angelique sambil memperhatikan dedaunan pohon mangga yang rimbun di ujung halaman rumah sakit.Setelah mendapat keker*san dari Hamam, keluarganya secepat kilat mengangkut Angelique ke rumah sakit. Ruangan VVIP segera disiapkan dengan kawalan ketat dari bodyguard keluarga Noto.Mereka sedapat mungkin meredam hal-hal yang bisa menjadi santapan para paparazi untuk konsumsi tabloid-tabloid murahan maupun acara-acara gosip tentang keadaan Angelique. Bukan main kemarahan yang ditunjukkan Tuan No
Hari telah menjelang sore, ketika pintu rumah Amy diketuk oleh seseorang. Dengan susah payah, ia bangkit dari sofa dan bergerak perlahan menuju pintu. Usia kandungannya telah mencapai delapan bulan, sehingga membuatnya sedikit sulit bergerak. Anaknya kemungkinan kembar. Hal yang patut ia syukuri dengan baik.“Ibu?” ucapnya terkejut. Saat sosok Bu Sonia berdiri di hadapannya dengan wajah masgyul. Tubuh perempuan tua itu tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu. Tanpa diduga, mantan mertuanya itu segera menubruk Amy dan mulai menangis tersedu-sedu. “Ib ..., ibu ...? Apa-apaan ini?” seru Amy sambil berusaha menjauhkan diri dari ibu Hamam. Tetapi, Bu Sonia semakin bergeming, lalu memegang sebelah tangan perempuan hamil itu sambil terisak-isak.“Amy ..., menantuku ..., anakku ..., mohon ..., mohon maafkan ibumu ini,” ucapnya sambil tersedu-sedu. Amy mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan tangan wanita itu dengan takut. Bayangan wajah bengis mantan mertuanya dulu masih te
Reinaldi berdiri di depan jendela. Berusaha menyesap udara dan bernafas dengan normal. Ada sesak yang hendak menyeruak keluar dari rongga dadanya. Betapa belasan tahun lalu ia menginginkan momen tadi. Sebuah sentuhan halus menyapa punggungnya. Bertahan di sana dalam waktu yang lama. Menepuk-nepuk pelan otot-otot yang tegang lalu merangkul bahunya dengan hangat."Kau puas, Ali?" tanya Ari tanpa memandang wajah Reinaldi. Wajah tampan kakak iparnya itu menatap keluar jendela. Ke arah gedung-gedung pencakar langit di bawah sana. Reinaldi memandangnya. Merasakan kehangatan yang menenangkan dari rangkulan lengan kokoh Ari. Belasan tahun lalu, laki-laki inilah yang menguatkannya melewati semua cobaan terberat Ali. Saat-saat terburuknya. Lelaki yang kasih sayangnya melebihi saudara kandung.Air matanya merebak, hingga sosok itu bagai bayangan di hadapannya. Ari menoleh dan tersenyum. Menepuk-nepuk pundak dengan hangat, lalu mengeratkan rangkulan di bahu lebarnya, membiarkan Reinaldi menunduk