"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun."
===***===
Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya.
Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya.
Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama mobilnya keluar halaman.
Tetapi, kali ini berbeda. Tak seperti sangkaannya. Keadaan tak akan kembali sama. Wanita tua itu telah bertekad, menyelamatkan Amy dari tangan kejam tuannya. Bagaimanapun caranya. Dengan rasa sedih dan pilu yang telah melampaui akal sehat, Mbok Napsiah memeluk dan mencium wajah Amy yang tak sadarkan diri. Tergolek bersandar. Dengan tubuh miring hampir menyentuh lantai.
Dengan masgyul ia memeluk tubuh kecil itu. Mengusap rambut dan kepalanya dengan kasih sayang seorang ibu. Tak habis pikir, mengapa wanita penyayang ini bisa mengalami kemalangan terus-menerus. Mbok Napsiah berteriak memanggil Kang Dirman, si tukang kebun. Laki-laki itu terbelalak, menyaksikan Mbok Napsiah bersimpuh memeluk tubuh Nyonya rumah. Yang babak belur tak sadarkan diri. Laki-laki tua itu mengurut dada sambil menghampiri mereka.
"Tuan, Kang .... Akhirnya, Tuan mengusir Nyonya ...," ucapnya sambil terisak.
Kang Dirman tercenung. Bingung hendak mengambil langkah apa.
"Jadi, gimana ini, Nyi? Nyonya mau tinggal di mana? Nyonya kan sebatang kara. Neng Poppy tinggalnya jauh dari sini," ucapnya lirih.
"Tolong antar kami ke kontrakan anakku saja, Kang. Biar sementara, Nyonya tinggal di sana dulu," jawab wanita tua itu sambil mengusap air mata yang jatuh di pipi keriputnya. Lalu memandang wajah Nyonya rumah yang kembali tak berbentuk.
"Sebelum Nyonya keburu mati di sini," isaknya lagi.
***
Di sinilah ia.
Berakhir di sebuah kamar kontrakan kecil berukuran 4 x 5 meter. Pengap. Milik seorang tetangga kontrakan yang ditinggali anak Mbok Napsiah. Tetapi, setidaknya, kamar mandi berada di dalam rumah. Hingga ia tak perlu bersusah-payah keluar rumah untuk mandi. Lebih aman.
Mbok Napsiah dengan diantarkan Kang Dirman memakai motor butut miliknya, membawa Amy ke sebuah kontrakan sederhana dalam sebuah gang sempit di dekat kontrakan anaknya. Wanita tua itu menyerahkan sedikit uang hasil jerih payahnya membabu untuk panjar uang kontrakan.
Kang Dirman kemudian bolak-balik ke rumah dan kontrakan beberapa kali. Mengambil barang-barang seadanya yang dilemparkan oleh Hamam di teras rumah. Tak berani mengambil lebih. Takut Tuan rumah yang pemarah itu melabraknya kemudian.
Yang penting, Nyonya selamat dulu. Hal itu yang terpikir olehnya.
Mbok Napsiah merawat Amy dengan baik dan penuh kasih sayang. Tulus. Karena sikap baik dan penyayang yang dulu selalu Amy tunjukkan padanya. Ada harga yang tak ternilai dalam arti sebuah kesetiaan. Dari seorang pembantu kepada majikan. Yang tak akan bisa kau dapatkan dengan mudah, bila kau tak menukarnya dengan sebuah kerendahan dan kedermawaan hati yang tulus padanya.
Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun. Yang terbentuk bertahun-tahun dalam derita dan nestapa. Kemudian dituai dalam tingkah dan laku yang arif serta bijaksana.
Itulah yang sekarang dilakukan Mbok Napsiah.
Membalas budi baik Amy selama enam tahun ikut bekerja dengannya. Tanpa bertanya dan menyela. Tak pernah sekalipun dalam kebersamaan mereka, majikannya kasar kepada wanita tua itu. Amy memperlakukannya begitu baik dan lembut, layaknya seorang ibu.
"Nya, dimakan buburnya. Nyonya belum makan seharian ini," lirih Mbok Napsiah mengangsurkan semangkuk bubur ayam. Tetapi, kali ini tak seenak seperti yang dimasaknya di rumah Hamam. Amy diam. Bergeming. Terus menatap ke dalam kaca hias buram di meja rias kusam punya pemilik kontrakan. Ada bayang wanita menyedihkan terpantul di sana.
Mbok Napsiah berdiri dengan gelisah. Tak berani meninggalkan majikannya seorang diri. Ia takut, jika Amy memilih mengakhiri hidupnya. Sudah berjam-jam Amy duduk tak bergerak seperti itu. Hanya memandang pantulan wajahnya di cermin. Sibuk berpikir, mengulang-ngulang dan memilah kenangan-kenangan menyakitkan yang terjadi selama ini. Dua hari sudah ia terusir dari rumahnya sendiri. Sembilu yang mengiris-ngiri hatinya telah menebarkan racun hinga menginfeksi keseluruhan dirinya.
Hancur tak bersisa.
Tiba-tiba ia tersentak. Seolah-olah baru menyadari sesuatu yang penting. Bagaikan selamat dari bencana tenggelam dan baru bisa menarik napas sebanyak-banyaknya. Terengah-engah ia berputar, berusaha berdiri tetapi kembali limbung. Mbok Napsiah menjerit tertahan. Lalu cepat-cepat memapah tubuh majikannya ke tempat tidur.
"Mbok, aku mau pergi sebentar," ujarnya terengah. Lalu berhenti. Sesaat.
Perubahan drastis tampak di wajahnya. Mimik mukanya yang sendu menderita perlahan berubah menjadi dingin dan datar. Bengkak dan memar masih menghiasi wajah cantik itu.
"Tidak. Aku harus pergi," ucapnya penuh tekad.
***
Dokter tua itu memandanya penuh tanya. Wajahnya berkerenyit. Mimik wajahnya berubah-rubah. Dari terkejut, heran kemudian berubah berempati. Hal yang sama juga terjadi pada diri asistennya yang setia menunggu di sampingnya.
Dokter obgyn tua itu mematung. Matanya terpaku pada seraut wajah bengkak dan penuh lebam di hadapannya. Rasa kemanusiaan membuat dirinya membayangkan raut wajah pria kejam yang tega memukuli seorang perempuan yang nyata-nyata tidak bersalah. Dokter itu tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang manusia tega berbuat seperti ini pada manusia lainnya? Orang seperti apa Hamam Prasetyo itu sebenarnya? Yang mandul adalah sang suami, bukan sang istri! Namun, seperti yang sering terjadi di dunia fana ini, sang istrilah yang menanggung akibatnya.
"Dokter, andaikan uangku tak cukup, seperti Hamam membungkam semua yang ada di sini ...." Suaranya tercekat. Seolah ada duri yang mengganjal di tenggorokannya. Ia memasang wajah menyedihkan. Berusaha agar dokter obgyn itu jatuh iba kepadanya. Berusaha meluluhkan hati dokter di hadapannya.
"Tolong, biarkan rasa kemanusiaan dokter menolong saya lepas dari penderitaan ini," sambungnya pelan tetapi tegas. Tidak dihiraukannya saat dokter Pandu dan asisten saling melempar pandang. Seolah-olah berusaha saling mengingatkan akan sesuatu.
"Saya ingin tahu yang sebenarnya," ucap Amy penuh tekad.
Dokter obgyn itu diam. berusaha mengobservasi hal-hal yang telah terjadi pada Amy. Lalu dengan sangat lembut dokter itu balik bertanya pada Amy : "Apakah suami ibu belum memberitahukan hasil pemeriksaan yang telah saya berikan minggu yang lalu?"
Amy seketika terdiam. Berusaha mencerna kata-kata sang dokter dengan cermat. Lalu raut wajahnya berubah dari yang semula memelas, terkejut kemudian berangsur-angsur diliputi kemarahan. Namun, dia berusaha tegar. Baginya semua sudah jelas. Dunia harus tahu kebobrokan dan kekejaman yang telah dilakukan oleh suaminya.
Wajahnya yang bengkak parah, hingga netranya sulit melihat ke sekitar, mengacung tegak. Amy berusaha mengumpulkan keberaniannya sendiri. Sehingga dirinya sendiri-pun terkejut ketika mendengar keberanian dan keteguhan yang tersirat di dalam suaranya.
"Saya ingin tahu, hasil tes kesuburan pasangan yang telah kami lakukan sebelumnya," ucapnya dengan tenang, datar dan penuh dendam.
Seketika, dokter di hadapannya terkejut. "I--itu...."Bersambung ....
Holaaa, terimakasih sudah baca novel aku ya. yuk, follow terus ceritanya
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d
Cinta itu bisa datang dari kebersamaan. Terus dipupuk dan disirami setiap hari dengan kesabaran. Hingga berbuah lebat dan bisa dituai dalam bentuk kasih sayang yang dominan. ***♡♡♡***Amy duduk terpekur. Masih menunggu kedatangan Hamam dari dalam kamar pengantin. Matanya nanar memandangi daun pintu berwarna putih tulang pilihannya sendiri dulu itu. Yang telah penuh dengan gerombolan bunga beraroma wangi. Indah. Indah sekali.Sungguh keindahan yang merobek hati.Dan, yang sungguh menyesakkan dadanya adalah : itu kamar mereka berdua dulu. Di sanalah mereka sering bergumul memadu kasih hampir setiap malam dikarenakan hasrat s*ksual Hamam yang tidak kunjung padam setiap kali dia menyentuh Amy sehabis pulang dari kantor perusahaannya.Di tempat kerja terlalu banyak p*ha dan d*da terbuka yang lalu-lalang di depan CEO muda itu. Mulai dari yang samar-samar hingga terang-terangan mengajak laki-laki tampan itu naik ke tempat tidur.Namun, masa-masa liar itu sudah lewat. Telah dihabiskan Hama
Pungkas Amy melemparkan bom atom ke dalam ruangan itu. Terdengar seruan tertahan dari beberapa mulut yang penasaran dengan kelanjutan drama ini. Hamam memucat. Pias. Bagaikan darah tersirap meninggalkan wajahnya yang tampan. Ibunya terbeliak pasi dengan bibir gemetar. “Kau ..., bohong!” Getar bibirnya. Jari telunjuknya mengacung ke wajah bekas menantunya. Amy memandangnya tenang. Tak ada lagi rasa takut dalam dirinya. Hatinya sudah mati rasa. “Dalam kertas itu, salinan dari laporan hasil tes dari dokter obgyn terpercaya di kota ini, Ibu. Seorang dokter, yang kredibilitasnya telah diakui semua orang di sini.” Amy memandang ibu mertuanya dingin. “Jika orang sebesar itu mampu berbohong, maka, semua nama baik klinik besarnya bisa dituntut oleh semua orang,” sambungnya lagi.Semua orang terdiam. “Maka, marilah kita ambil kesimpulan, anak kesayanganmulah yang berbohong padaku. Pada kita semua yang ada di sini,” desis Amy. “Tepat dihari ia memukuli aku, di depan matamu, ia telah mengetahu
Amy butuh uang. Dia membutuhkan biaya untuk semua yang harus dilakukan dalam mempertahankan hak-haknya. Dia sedang mengusahakan sesuatu dengan menghubungi seorang teman lamanya di suatu tempat. Namun, hal itu membutuhkan waktu dan biaya kebutuhan yang membengkak tidak bisa menunggu lagi.Maka dia memutuskan masuk kantor kembali setelah dua bulan mengambil cuti sakit. Sesuatu yang muskil, tetapi dia tahu jika Reinaldi telah mengurus bagian HRD untuk memberikan izin cuti tersebut. Rasa segan untuk bertemu Reinaldi kembali hampir menyurutkan langkahnya memasuki gedung perkantoran megah tersebut. Namun, kebutuhan perut mengalahkan segalanya. Amy tidak bisa terus-menerus bergantung dari uang pesangon Mbok Napsiah yang tidak seberapa itu. Dia tidak tega merepotkan pembantunya yang setia itu.Ketika sebuah nomor yang sudah sangat dihapalnya itu menelepon, Amy terpaksa mengangkatnya.[Kamu butuh berapa?]Amy terdiam mendengar suara bariton di seberang sana."Aku tidak butuh apa-apa darimu!"
Bekerja dengan keras. Bila kau dirundung duka mendalam. Kehilangan orang yang kau cintai. Atau, asa yang kau miliki tak kunjung terwujud. Bekerja dengan keras adalah obatnya. Menyibukkan diri dalam tumpukan pekerjaan yang menggunung. Dan berupaya menyelesaikannya secepat yang kau bisa. Tanpa mengambil jeda. istirahat. Ataupun keluh kesah. ===♡♡♡===Akibat insiden di dalam toilet restoran menyebabkan kemenangan besar pada pihak keluarga Hamam. Campur tangan ibu mertuanya ditambah dengan hasutan Angelique membuat Amy kehilangan hak atas harta gono-gini yang seharusnya dia dapatkan.Amy masih berbesar hati jika ini adalah takdir yang harus dia jalani. Dia bekerja dengan sangat rajin di kantor dan tidak menggubris semua fitnah dan rumor yang menerpa dirinya.Namun, apa lacur. Gosip sudah terlanjur beredar. Namanya sudah tercemar sebagai istri peselingkuh dan mandul hingga dibuang oleh suaminya. Para lelaki di kantornya mulai melecehkannya dengan kata-kata verbal yang tidak baik. Ditamba
"Kau adalah kesempurnaan yang Tuhan ciptakan hanya untukku.” ===♡♡♡===Amy berjalan perlahan sambil memandang sekeliling. Ada rasa haru menyeruak ke dalam hatinya, saat kenangan-kenangan masa kecilnya bersilewaran di seluruh ruangan rumah. Di sana, di dekat pintu, ia dan Poppy sering bermain congklak bersama anak-anak perempuan dari panti. Lalu disambung dengan permainan ‘kucingan’ dengan melempar bola tenis dan memungut kerang-kerang kucingan di lantai. Sungguh. Indah sekali masa kecil itu. Lalu, di sudut sana dulu ada TV hitam putih milik uwaknya. Tempat mereka selalu berkumpul menonton acara anak-anak di TVRI. Tergelak-gelak tanpa begitu mengerti apa yang ditertawakan. Amy tertegun. Matanya mengembun saat pandangannya jatuh pada sebuah kursi goyang rotan yang ada di sudut ruangan. Berjalan cepat dengan penuh haru hingga menyesakkan dadanya. “Uwak sering duduk di sini. Sore-sore sambil mencangklong rokok Gudang Garam kesukaannya. Lalu mendongeng untuk kita,” ucapnya pelan. Jemari
"Kau adalah kesempurnaan yang diciptakan Tuhan hanya untukku."===♡♡♡===Amy memejamkan mata. Lalu mengeratkan pelukannya. “Ya, Ali. Aku sudah gila. Aku bagaikan barang rusak dan tak berharga lagi sekarang,” isak Amy perlahan. “Aku sudah rusak sepenuhnya,” ucapnya pedih. Reinaldi segera mencengkeram pundak Amy dan menjauhkan perempuan itu dari tubuhnya. “Kau mabuk. Kau tidak menyadari hal yang kau lakukan ini. Sadarlah! Pergilah dari sini ...,” sergahnya keras.Amy menatap hampa wajah Reinaldi yang mengeras. Lalu tersenyum sinis dan berujar, “Tentu saja ...,” ucapnya bergetar. Ia melepaskan pelukannya. Berdiri tegak. Tampak benar tersinggung. “Untuk perempuan yang sudah rusak dan tak lagi berharga, semua bisa diusir dan dibuang sekehendak hati.” Bibirnya bergetar menahan sakit hati dan malu. Menyadari, jika Reinaldi ikut tak menginginkannya.“Amy ..., bukan begitu. Ini salah. Ini berdosa. Ingat Tuhan Amy ..., ingat ...”“Aku selalu mengingatnya, Ali. Tepat di hari kita berpisah dan ku
“Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani
Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik
“J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan
Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m
“Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang
Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka
"Sayang ..., tidak apa-apa mami tinggal?"Panggilan lembut Bu Sonia ditanggapi dengan dingin oleh Angelique. Perempuan itu hanya membuang muka sambil meringis menahan sakit akibat bengkak di wajahnya. Pukulan Hamam benar-benar meluluhlantakkan tubuhnya.'Bagaimana mungkin Amy tahan hidup bersama Hamam setelah dipukuli seperti ini berulangkali? Terbuat dari apa tubuh wanita itu? Apakah ot*aknya terbuat dari baja atau bubur kertas sehingga mau menerima penyiksaan begini selama bertahun-tahun?' batin Angelique sambil memperhatikan dedaunan pohon mangga yang rimbun di ujung halaman rumah sakit.Setelah mendapat keker*san dari Hamam, keluarganya secepat kilat mengangkut Angelique ke rumah sakit. Ruangan VVIP segera disiapkan dengan kawalan ketat dari bodyguard keluarga Noto.Mereka sedapat mungkin meredam hal-hal yang bisa menjadi santapan para paparazi untuk konsumsi tabloid-tabloid murahan maupun acara-acara gosip tentang keadaan Angelique. Bukan main kemarahan yang ditunjukkan Tuan No
Hari telah menjelang sore, ketika pintu rumah Amy diketuk oleh seseorang. Dengan susah payah, ia bangkit dari sofa dan bergerak perlahan menuju pintu. Usia kandungannya telah mencapai delapan bulan, sehingga membuatnya sedikit sulit bergerak. Anaknya kemungkinan kembar. Hal yang patut ia syukuri dengan baik.“Ibu?” ucapnya terkejut. Saat sosok Bu Sonia berdiri di hadapannya dengan wajah masgyul. Tubuh perempuan tua itu tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu. Tanpa diduga, mantan mertuanya itu segera menubruk Amy dan mulai menangis tersedu-sedu. “Ib ..., ibu ...? Apa-apaan ini?” seru Amy sambil berusaha menjauhkan diri dari ibu Hamam. Tetapi, Bu Sonia semakin bergeming, lalu memegang sebelah tangan perempuan hamil itu sambil terisak-isak.“Amy ..., menantuku ..., anakku ..., mohon ..., mohon maafkan ibumu ini,” ucapnya sambil tersedu-sedu. Amy mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan tangan wanita itu dengan takut. Bayangan wajah bengis mantan mertuanya dulu masih te
Reinaldi berdiri di depan jendela. Berusaha menyesap udara dan bernafas dengan normal. Ada sesak yang hendak menyeruak keluar dari rongga dadanya. Betapa belasan tahun lalu ia menginginkan momen tadi. Sebuah sentuhan halus menyapa punggungnya. Bertahan di sana dalam waktu yang lama. Menepuk-nepuk pelan otot-otot yang tegang lalu merangkul bahunya dengan hangat."Kau puas, Ali?" tanya Ari tanpa memandang wajah Reinaldi. Wajah tampan kakak iparnya itu menatap keluar jendela. Ke arah gedung-gedung pencakar langit di bawah sana. Reinaldi memandangnya. Merasakan kehangatan yang menenangkan dari rangkulan lengan kokoh Ari. Belasan tahun lalu, laki-laki inilah yang menguatkannya melewati semua cobaan terberat Ali. Saat-saat terburuknya. Lelaki yang kasih sayangnya melebihi saudara kandung.Air matanya merebak, hingga sosok itu bagai bayangan di hadapannya. Ari menoleh dan tersenyum. Menepuk-nepuk pundak dengan hangat, lalu mengeratkan rangkulan di bahu lebarnya, membiarkan Reinaldi menunduk