Ada rindu yang datang bergelora di dalam hati Amy. Entah karena faktor kehamilannya ataukah karena Ali yang pernah memasuki dirinya dna meninggalkan semua sentuhan fisik di jiwa dan raganya. Yang pasti, terkadang rasa kerinduan itu datang tanpa bisa ditahan. Datang dengan rasa pilu yang begitu dalam.Namun, tidak bisa lagi ditumpahkan dalam bentuk air mata yang bertambah-tambahlah rasa sakit itu di hati Amy.“Apakah kau merindukan Ayahmu?” lamunnya pada jiwa yang sedang bersemayam di dalam rahimnya.Hatinya berdesir. Seolah-olah janinnya mengatakan sesuatu. Apakah ini hanya perasaannya saja? Anaknya merindukan ayahnya? Tentu saja. Setiap anak pasti merindukan kehadiran kedua orangtuanya. Janin itu ingin dibelai, diajak bicara, mendengarkan suara ayah dan ibunya. Merasakan kasih sayang yang utuh dari mereka. Bukan hanya seorang saja. Apa yang telah aku lakukan? Bukankah kami berdua mengerti benar bagaimana hidup tanpa ayah dan ibu? Perasaan Ali pastilah sangat sakit jika mengetahui, a
Teriakan kuat Mbok Napsiah menghentak kesadaran Hamam, hingga cekalan tangannya terlepas seketika. Amy mundur terhuyung-huyung. Tangannya menggapai-gapai sekitarnya mencari pegangan. Syukur ia berhasil menggapai kursi makan dan berdiri sambil memegangi perutnya dengan tangan yang satu lagi."A..., apa?" seru Hamam dengan sorot terkejut yang luar biasa.Mulutnya sontak menganga. Ia mengusap belakang kepalanya dengan sebelah tangan. Lalu mengusap dagunya yang telah ditumbuhi oleh janggut halus beberapa kali. Tampak benar ia terpukul. Sesaat kemudian, matanya kembali nanar memandang ke arah Amy yang balik menatapnya dengan ketakutan.Amy segera menghambur ke dapur dengan tertatih sambil memegangi perutnya yang melilit hebat. Dengan sepenuh tenaga, ia berjuang untuk tiba di sana. Hamam menggeram lalu mulai menyusul Amy dengan kalap sambil berteriak, "Bitch!! Belum juga satu tahun kau kuceraikan, sudah main gila dengan laki-laki lain!" kejarnya dengan kalap.Amy tertatih-tatih berjalan. Ia
"Are you, okay, Honey?""....""Honey?"Hanya isak Amy yang menyahuti suara Lily Fazo di ujung sana. Tiga hari telah berlalu setelah insiden kedatangan Hamam."Something happen to you?""...., Hamam datang, Lily. Ia Berhasil menemukanku...," akhirnya Amy berhasil berbicara setelah lewat sepuluh menit."What! That sh*ts! How could he found you?!""Aku..., hanya kau yang bisa menolongku, Lily..., sembunyikan aku dari Hamam..., tolong...,""....""Aku hampir kehilangan anakku, Lily...," ujar Amy kemudian terisak kuat. Mengingat perjuangannya mempertahankan anaknya tiga hari yang lalu. Entah mengapa, Hamam tak lagi muncul di rumahnya. Amy yang segera mengepak barang-barang seadanya, menganggap, itu adalah bantuan dari Rabb-nya. Janinnya selamat. Tetapi, bila terlambat sepuluh menit saja, bisa dipastikan ia akan kehilangan anaknya. Obat yang diberikan oleh dokter kandungannya, sebagai upaya jaga-jaga bila te
Amy mengusap mulutnya dan berjalan menjauhi pintu ruangan kerja Isabella Fazo dengan masgyul. Tangannya gemetar sambil mendekap odner-odner di depan dadanya. ‘Jadi, orang yang diutus Lily untuk menyelamatkan kita, adalah Ali? Bagaimana bisa?’ Batinnya perih.Tiba-tiba kerinduan menyeruak begitu saja, menghantam dirinya dengan hebat. Ia sangat ingin berbalik dan menghambur ke dalam pelukan Ali. Memohon padanya agar menyelamatkan anaknya. Tetapi, bayangan menyakitkan ketika melihat Ali memeluk Isabella Fazo dengan begitu intim tadi, membuatnya melangkah semakin menjauhi pintu itu. Ali telah menemukan pengganti dirinya. Betapa mudahnya. Kini, ia tahu bagaimana rasanya menjadi Ali. Terbuang. Tak diinginkan. Dilupakan. Amy merasa tersentil dengan ucapan Ali ketika itu.Begini rasanya dilupakan. Batinnya. Airmatanya membanjir. Mengeluarkan isak di dadanya yang begitu sakit. Ayahmu tak menginginkan kita, Nak. Dia sudah begitu saja melupakan kita. Ibu tak sanggup bertemu
Makan siang yang disajikan oleh restoran dalam salah satu mall di kota ini, tak juga menarik minat CEO muda itu untuk menyentuhnya. Reinaldi terlalu larut dengan kepergian Amy, hingga ia tak begitu memperdulikan percakapan bisnis dan kerling tak nyaman dari beberapa koleganya. Laki-laki itu lebih banyak diam dan melamun. Dan disalah-artikan dari mereka, jika jamuan makan dan penyambutan divisi anak perusahaan Reinaldi itu tak begitu baik di matanya. "Apakah hidangannya kurang berkenan, Pak?" bisij kepala bidang sebagai penjamu kepada advokat muda yang mendampingi tuan CEO.Mereka berdua memandang Reinaldi yang sedang setengah melamun seolah-olah bos besar itu nyawanya sedang terbang ke alam barzah.Advokat muda itu menggeleng lalu balas berbisik sambil lalu, "Hidangannya baik-baik saja, Pak. Kemungkinan Pak Reinaldi sedang berzikir demi kelancaran proyek ini."Jawaban sekenanya dari advokat muda membuat kepala bidang paruh baya it
Ketika Amy turun dari gendongan Reinaldi dan dipaksa naik ke dalam mobil. Perempuan itu masuk dengan terpaksa. Ingin menolak, tapi malu, melihat tatapan mata bertanya dari orang-orang yang tak dikenalnya. Setelah bercakap-cakap sebentar, Reinaldi pamit dan segera masuk ke dalam mobil. Melirik ke arah Amy yang duduk sejauh mungkin darinya. “Ikut aku pulang! Kau tidak boleh pergi seorang diri seperti itu lagi!" bentak Ali jengkel. Seketika amarah perempuan itu muncul kembali. Tak rela dibentak sedemikian rupa oleh Reinaldi. Amy berteriak marah. Berusaha membuka pintu mobil. Memukuli dada laki-laki itu yang berusaha menghalanginya. Darahnya terasa seperti mendidih. Ada rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan karena perlakuan Reinaldi tadi. "Amy!" bentak pria itu marah, terpancing dengan perilaku Amy yang emosi seperti itu. Tetapi, malah menambah geram perempuan itu. "Lepaskan aku, Ali. Aku tak sudi ikut bersamamu!" jeritnya marah. Terbayang kembali adegan Isabell
Bandung. Keesokan harinya.Amy membuka matanya perlahan. Kelopak matanya sangat sulit ia gerakkan. Berat. Dan pedih. Oh, mungkin aku sudah mati. Harapnya. Tetapi, kesadaran perlahan datang. Memacu adrenalin untuk memompa semangat hidupnya. Kepalanya bergerak-gerak menghalau rasa pusing yang mendera. Lalu, dengan sekali hentakan, ia membuka matanya lalu bangkit sambil berseru kuat : “Anakku!” Suaranya sedikit menggema. Ia meraba perut bawahnya lalu menghembuskan nafas lega. Berulangkali ia beristigfar, melangitkan doa dan syukur karena masih bersama anaknya. Lama kemudian, baru ia menyadari bila telah berada di satu ruangan yang tidak asing lagi. Ia menggerakkan kedua tangannya dengan bingung. Lalu meringis dan memandang tangan kirinya yang telah dipasangi infus.“A..., Ali...?” bisiknya terkejut. Saat matanya bersirobok dengan sosok Reinaldi yang sedang duduk bersedekap di atas sofa tunggal. Di ujung kaki, tak jauh dari tempat tidur. Laki-laki itu duduk dengan tegang. Kedua lengannya
“Jangan, Ali ..., jangan ...” bisiknya lirih. “Jika kau ingin berbohong, lakukan dengan lebih baik lagi,” desis laki-laki itu geram. Hembusan nafasnya sewangi daun mint, menerpa kulit leher Amy. Amy menunduk, tidak berani menatap laki-laki itu yang hanya berjarak lima senti dari wajahnya. Ia kembali menggigit-gigit bibir bawahnya dengan panik.Segera Amy mendorong dada laki-laki itu dan mencoba menjauh.Hati Reinaldi menggelegak marah. Bergemuruh ketika mendapat penolakan dari Amy. Dengan segera ia menarik perempuan mungil itu kembali dan merengkuhnya dengan kuat. Matanya berkilat marah. Rahangnya kembali mengeras dengan urat-urat menonjol keluar di pelipisnya. Amy tersentak. Takut bila Reinaldi melakukan hal yang lebih jauh lagi. Takut bila kejadian lama berulang. Ekepresi marah yang berujung pukulan yang menghantuinya bertahun-tahun lamanya.“Jangan pukul aku ...,” isaknya pelan. Lirih hingga tertelan udara. Matanya terpejam. Wajahny