Amy mengusap mulutnya dan berjalan menjauhi pintu ruangan kerja Isabella Fazo dengan masgyul. Tangannya gemetar sambil mendekap odner-odner di depan dadanya. ‘Jadi, orang yang diutus Lily untuk menyelamatkan kita, adalah Ali? Bagaimana bisa?’ Batinnya perih.
Tiba-tiba kerinduan menyeruak begitu saja, menghantam dirinya dengan hebat. Ia sangat ingin berbalik dan menghambur ke dalam pelukan Ali. Memohon padanya agar menyelamatkan anaknya. Tetapi, bayangan menyakitkan ketika melihat Ali memeluk Isabella Fazo dengan begitu intim tadi, membuatnya melangkah semakin menjauhi pintu itu. Ali telah menemukan pengganti dirinya. Betapa mudahnya. Kini, ia tahu bagaimana rasanya menjadi Ali. Terbuang. Tak diinginkan. Dilupakan. Amy merasa tersentil dengan ucapan Ali ketika itu.Begini rasanya dilupakan. Batinnya. Airmatanya membanjir. Mengeluarkan isak di dadanya yang begitu sakit. Ayahmu tak menginginkan kita, Nak. Dia sudah begitu saja melupakan kita. Ibu tak sanggup bertemuMakan siang yang disajikan oleh restoran dalam salah satu mall di kota ini, tak juga menarik minat CEO muda itu untuk menyentuhnya. Reinaldi terlalu larut dengan kepergian Amy, hingga ia tak begitu memperdulikan percakapan bisnis dan kerling tak nyaman dari beberapa koleganya. Laki-laki itu lebih banyak diam dan melamun. Dan disalah-artikan dari mereka, jika jamuan makan dan penyambutan divisi anak perusahaan Reinaldi itu tak begitu baik di matanya. "Apakah hidangannya kurang berkenan, Pak?" bisij kepala bidang sebagai penjamu kepada advokat muda yang mendampingi tuan CEO.Mereka berdua memandang Reinaldi yang sedang setengah melamun seolah-olah bos besar itu nyawanya sedang terbang ke alam barzah.Advokat muda itu menggeleng lalu balas berbisik sambil lalu, "Hidangannya baik-baik saja, Pak. Kemungkinan Pak Reinaldi sedang berzikir demi kelancaran proyek ini."Jawaban sekenanya dari advokat muda membuat kepala bidang paruh baya it
Ketika Amy turun dari gendongan Reinaldi dan dipaksa naik ke dalam mobil. Perempuan itu masuk dengan terpaksa. Ingin menolak, tapi malu, melihat tatapan mata bertanya dari orang-orang yang tak dikenalnya. Setelah bercakap-cakap sebentar, Reinaldi pamit dan segera masuk ke dalam mobil. Melirik ke arah Amy yang duduk sejauh mungkin darinya. “Ikut aku pulang! Kau tidak boleh pergi seorang diri seperti itu lagi!" bentak Ali jengkel. Seketika amarah perempuan itu muncul kembali. Tak rela dibentak sedemikian rupa oleh Reinaldi. Amy berteriak marah. Berusaha membuka pintu mobil. Memukuli dada laki-laki itu yang berusaha menghalanginya. Darahnya terasa seperti mendidih. Ada rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan karena perlakuan Reinaldi tadi. "Amy!" bentak pria itu marah, terpancing dengan perilaku Amy yang emosi seperti itu. Tetapi, malah menambah geram perempuan itu. "Lepaskan aku, Ali. Aku tak sudi ikut bersamamu!" jeritnya marah. Terbayang kembali adegan Isabell
Bandung. Keesokan harinya.Amy membuka matanya perlahan. Kelopak matanya sangat sulit ia gerakkan. Berat. Dan pedih. Oh, mungkin aku sudah mati. Harapnya. Tetapi, kesadaran perlahan datang. Memacu adrenalin untuk memompa semangat hidupnya. Kepalanya bergerak-gerak menghalau rasa pusing yang mendera. Lalu, dengan sekali hentakan, ia membuka matanya lalu bangkit sambil berseru kuat : “Anakku!” Suaranya sedikit menggema. Ia meraba perut bawahnya lalu menghembuskan nafas lega. Berulangkali ia beristigfar, melangitkan doa dan syukur karena masih bersama anaknya. Lama kemudian, baru ia menyadari bila telah berada di satu ruangan yang tidak asing lagi. Ia menggerakkan kedua tangannya dengan bingung. Lalu meringis dan memandang tangan kirinya yang telah dipasangi infus.“A..., Ali...?” bisiknya terkejut. Saat matanya bersirobok dengan sosok Reinaldi yang sedang duduk bersedekap di atas sofa tunggal. Di ujung kaki, tak jauh dari tempat tidur. Laki-laki itu duduk dengan tegang. Kedua lengannya
“Jangan, Ali ..., jangan ...” bisiknya lirih. “Jika kau ingin berbohong, lakukan dengan lebih baik lagi,” desis laki-laki itu geram. Hembusan nafasnya sewangi daun mint, menerpa kulit leher Amy. Amy menunduk, tidak berani menatap laki-laki itu yang hanya berjarak lima senti dari wajahnya. Ia kembali menggigit-gigit bibir bawahnya dengan panik.Segera Amy mendorong dada laki-laki itu dan mencoba menjauh.Hati Reinaldi menggelegak marah. Bergemuruh ketika mendapat penolakan dari Amy. Dengan segera ia menarik perempuan mungil itu kembali dan merengkuhnya dengan kuat. Matanya berkilat marah. Rahangnya kembali mengeras dengan urat-urat menonjol keluar di pelipisnya. Amy tersentak. Takut bila Reinaldi melakukan hal yang lebih jauh lagi. Takut bila kejadian lama berulang. Ekepresi marah yang berujung pukulan yang menghantuinya bertahun-tahun lamanya.“Jangan pukul aku ...,” isaknya pelan. Lirih hingga tertelan udara. Matanya terpejam. Wajahny
Reinaldi Ghazali akhirnya pergi dari rumah itu dalam diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun kepada Poppy. Tubuh jangkungnya keluar dari sana dengan lunglai dan bingung. Ia pergi begitu saja setelah helikopter perusahaan miliknya kembali datang menjemputnya. Masih dalam seragam yang sama, yang ia kenakan ketika bergumul dengan Amy tadi. Reinaldi ingin berpikir sejenak. Menghindari Amy dan Poppy untuk sementara waktu mungkin adalah pilihan yang tepat. Dia perlu untuk menjernihkan pikirannya yang dirasa sudah terlampau kotor. Pergi ke apartemen mewahnya di Jakarta sembari mengurusi perusahaan. Banyak pekerjaan yang tertunda kemarin dikarenakan accident hilangnya Amy. Berkas-berkas yang telah bertumpuk di atas meja kerjanya menunggu untuk ditandatangani. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di anak-anak perusahaannya yang tersebar di beberapa wilayah.Namun, semakin dia berusaha menjernihkan pikirannya, semakin wajah Amy tergurat semakin dalam di
“Jangan berhenti...,” bisik lelaki itu lirih. Tangannya menahan jemari Amy yang hendak menariknya dari rambut Reinaldi. Amy sesaat terdiam. Lalu, mulai kembali mengelus rambutnya, menelusuri wajah tampan dengan mata yang terpejam itu. Memperhatikan guratan-guratan halus yang tumbuh di ujung mata, sudut-sudut bibir, pelipis. Betapa setiap guratan itu memiliki kisah, beratnya kehidupan yang telah dilalui lelaki ini. Reinaldi membuka matanya. Menatap lembut Amy, kemudian tersenyum sedih, lalu meletakkan jemari perempuan itu di pipinya. Ia memejamkan mata. Berusaha menyesap kehangatan yang merambat dari tangan wanita ini.“Apa kabar, anakku, Kekasihku?” ucapnya serak. Kepalanya bergerak, meletakkan dagunya pada pangkuan Amy. Memandang dengan penuh kehangatan pada perut yang berada tepat di depannya. Ia merengkuh pinggang kekasihnya, lalu menempelkan telinga ke perut Amy. Berusaha mendengarkan getar-getar halus yang dikirimkan dari dalam sana.“Apa kabar, Jagoan?” tanyanya lirih penuh kel
Amy menunduk. Bulir-bulir airmata tak kunjung reda menghujani pipinya. Hidungnya memerah dengan suara isak tangis tertahan, meletupkan kekhawatirannya selama ini. “Aku ..., aku ..., baru saja bercerai, Ali. Bahkan tinta di lembar akta ceraiku belumlah mengering. Apa kata orang-orang nanti kepadamu. Menikahi wanita amoral yang menyedihkan. Tentulah, segala marwah dirimu, yang telah susah payah kau bangun, akan tercemar, Ali. Aku tak pernah menginginkan itu ...,” keluhnya menyisihkan kebahagiaan Reinaldi.“Aku minta maaf. Semua ini adalah salahku. Tak seharusnya, aku datang kepadamu. Meminta hal yang sebelumnya telah kau peringatkan akan semenyakitkannya seperti ini. Maafkan aku, Ali. Maafkan aku,” isaknya sambil terus menunduk. Reinaldi bersimpuh di atas kedua lututnya. Lalu meraih kepala Amy, mendekapnya dengan sepenuh jiwa. Ia tak ingin mendengar penyesalan itu. Semua dosa ini haruslah ditanggung dan dibagi bersama.“Dia anakku, Amy,” ucapnya penuh tekad. Matanya
Angelique menguap di atas tempat tidur. Dalam gaun tidur berwarna merah yang terbuka, dengan tatanan rambut sedikit kusut, ia tampak luar biasa menawan. Ia mengerjap-ngerjapkan bulu matanya yang lentik, mencoba memandang ke arah suaminya yang sedang sibuk bersiap ke kantor.Hamam tak memandang ke arahnya. Ia tak terpengaruh dengan pemandangan hebat di atas tempat tidurnya. Baginya semua sama saja sekarang. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan sempurna milik mantan istrinya, Amy.“Apakah kau akan pergi ke luar kota lagi?” tanya Angelique dengan suaranya yang mendayu. Terus terang, di dalam pernikahan yang penuh dengan bara api itu, dia masih terus menyimpan kekaguman akan Hamam. Dia menyukai cara berkelas pria itu mempersiapkan diri setiap pagi untuk bekerja. Cara berjalan Hamam, cara memandangnya yang bisa meruntuhkan hati setiap perempuan manapun. Serta aura aristokrat yang menempel erat di keseluruhan diri suaminya membuat Angelique selalu memaklumi segala tingkah polah Hama