Ketika Amy turun dari gendongan Reinaldi dan dipaksa naik ke dalam mobil. Perempuan itu masuk dengan terpaksa. Ingin menolak, tapi malu, melihat tatapan mata bertanya dari orang-orang yang tak dikenalnya. Setelah bercakap-cakap sebentar, Reinaldi pamit dan segera masuk ke dalam mobil. Melirik ke arah Amy yang duduk sejauh mungkin darinya.
“Ikut aku pulang! Kau tidak boleh pergi seorang diri seperti itu lagi!" bentak Ali jengkel. Seketika amarah perempuan itu muncul kembali. Tak rela dibentak sedemikian rupa oleh Reinaldi. Amy berteriak marah. Berusaha membuka pintu mobil. Memukuli dada laki-laki itu yang berusaha menghalanginya. Darahnya terasa seperti mendidih. Ada rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan karena perlakuan Reinaldi tadi."Amy!" bentak pria itu marah, terpancing dengan perilaku Amy yang emosi seperti itu. Tetapi, malah menambah geram perempuan itu. "Lepaskan aku, Ali. Aku tak sudi ikut bersamamu!" jeritnya marah. Terbayang kembali adegan IsabellBandung. Keesokan harinya.Amy membuka matanya perlahan. Kelopak matanya sangat sulit ia gerakkan. Berat. Dan pedih. Oh, mungkin aku sudah mati. Harapnya. Tetapi, kesadaran perlahan datang. Memacu adrenalin untuk memompa semangat hidupnya. Kepalanya bergerak-gerak menghalau rasa pusing yang mendera. Lalu, dengan sekali hentakan, ia membuka matanya lalu bangkit sambil berseru kuat : “Anakku!” Suaranya sedikit menggema. Ia meraba perut bawahnya lalu menghembuskan nafas lega. Berulangkali ia beristigfar, melangitkan doa dan syukur karena masih bersama anaknya. Lama kemudian, baru ia menyadari bila telah berada di satu ruangan yang tidak asing lagi. Ia menggerakkan kedua tangannya dengan bingung. Lalu meringis dan memandang tangan kirinya yang telah dipasangi infus.“A..., Ali...?” bisiknya terkejut. Saat matanya bersirobok dengan sosok Reinaldi yang sedang duduk bersedekap di atas sofa tunggal. Di ujung kaki, tak jauh dari tempat tidur. Laki-laki itu duduk dengan tegang. Kedua lengannya
“Jangan, Ali ..., jangan ...” bisiknya lirih. “Jika kau ingin berbohong, lakukan dengan lebih baik lagi,” desis laki-laki itu geram. Hembusan nafasnya sewangi daun mint, menerpa kulit leher Amy. Amy menunduk, tidak berani menatap laki-laki itu yang hanya berjarak lima senti dari wajahnya. Ia kembali menggigit-gigit bibir bawahnya dengan panik.Segera Amy mendorong dada laki-laki itu dan mencoba menjauh.Hati Reinaldi menggelegak marah. Bergemuruh ketika mendapat penolakan dari Amy. Dengan segera ia menarik perempuan mungil itu kembali dan merengkuhnya dengan kuat. Matanya berkilat marah. Rahangnya kembali mengeras dengan urat-urat menonjol keluar di pelipisnya. Amy tersentak. Takut bila Reinaldi melakukan hal yang lebih jauh lagi. Takut bila kejadian lama berulang. Ekepresi marah yang berujung pukulan yang menghantuinya bertahun-tahun lamanya.“Jangan pukul aku ...,” isaknya pelan. Lirih hingga tertelan udara. Matanya terpejam. Wajahny
Reinaldi Ghazali akhirnya pergi dari rumah itu dalam diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun kepada Poppy. Tubuh jangkungnya keluar dari sana dengan lunglai dan bingung. Ia pergi begitu saja setelah helikopter perusahaan miliknya kembali datang menjemputnya. Masih dalam seragam yang sama, yang ia kenakan ketika bergumul dengan Amy tadi. Reinaldi ingin berpikir sejenak. Menghindari Amy dan Poppy untuk sementara waktu mungkin adalah pilihan yang tepat. Dia perlu untuk menjernihkan pikirannya yang dirasa sudah terlampau kotor. Pergi ke apartemen mewahnya di Jakarta sembari mengurusi perusahaan. Banyak pekerjaan yang tertunda kemarin dikarenakan accident hilangnya Amy. Berkas-berkas yang telah bertumpuk di atas meja kerjanya menunggu untuk ditandatangani. Permasalahan-permasalahan yang terjadi di anak-anak perusahaannya yang tersebar di beberapa wilayah.Namun, semakin dia berusaha menjernihkan pikirannya, semakin wajah Amy tergurat semakin dalam di
“Jangan berhenti...,” bisik lelaki itu lirih. Tangannya menahan jemari Amy yang hendak menariknya dari rambut Reinaldi. Amy sesaat terdiam. Lalu, mulai kembali mengelus rambutnya, menelusuri wajah tampan dengan mata yang terpejam itu. Memperhatikan guratan-guratan halus yang tumbuh di ujung mata, sudut-sudut bibir, pelipis. Betapa setiap guratan itu memiliki kisah, beratnya kehidupan yang telah dilalui lelaki ini. Reinaldi membuka matanya. Menatap lembut Amy, kemudian tersenyum sedih, lalu meletakkan jemari perempuan itu di pipinya. Ia memejamkan mata. Berusaha menyesap kehangatan yang merambat dari tangan wanita ini.“Apa kabar, anakku, Kekasihku?” ucapnya serak. Kepalanya bergerak, meletakkan dagunya pada pangkuan Amy. Memandang dengan penuh kehangatan pada perut yang berada tepat di depannya. Ia merengkuh pinggang kekasihnya, lalu menempelkan telinga ke perut Amy. Berusaha mendengarkan getar-getar halus yang dikirimkan dari dalam sana.“Apa kabar, Jagoan?” tanyanya lirih penuh kel
Amy menunduk. Bulir-bulir airmata tak kunjung reda menghujani pipinya. Hidungnya memerah dengan suara isak tangis tertahan, meletupkan kekhawatirannya selama ini. “Aku ..., aku ..., baru saja bercerai, Ali. Bahkan tinta di lembar akta ceraiku belumlah mengering. Apa kata orang-orang nanti kepadamu. Menikahi wanita amoral yang menyedihkan. Tentulah, segala marwah dirimu, yang telah susah payah kau bangun, akan tercemar, Ali. Aku tak pernah menginginkan itu ...,” keluhnya menyisihkan kebahagiaan Reinaldi.“Aku minta maaf. Semua ini adalah salahku. Tak seharusnya, aku datang kepadamu. Meminta hal yang sebelumnya telah kau peringatkan akan semenyakitkannya seperti ini. Maafkan aku, Ali. Maafkan aku,” isaknya sambil terus menunduk. Reinaldi bersimpuh di atas kedua lututnya. Lalu meraih kepala Amy, mendekapnya dengan sepenuh jiwa. Ia tak ingin mendengar penyesalan itu. Semua dosa ini haruslah ditanggung dan dibagi bersama.“Dia anakku, Amy,” ucapnya penuh tekad. Matanya
Angelique menguap di atas tempat tidur. Dalam gaun tidur berwarna merah yang terbuka, dengan tatanan rambut sedikit kusut, ia tampak luar biasa menawan. Ia mengerjap-ngerjapkan bulu matanya yang lentik, mencoba memandang ke arah suaminya yang sedang sibuk bersiap ke kantor.Hamam tak memandang ke arahnya. Ia tak terpengaruh dengan pemandangan hebat di atas tempat tidurnya. Baginya semua sama saja sekarang. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan sempurna milik mantan istrinya, Amy.“Apakah kau akan pergi ke luar kota lagi?” tanya Angelique dengan suaranya yang mendayu. Terus terang, di dalam pernikahan yang penuh dengan bara api itu, dia masih terus menyimpan kekaguman akan Hamam. Dia menyukai cara berkelas pria itu mempersiapkan diri setiap pagi untuk bekerja. Cara berjalan Hamam, cara memandangnya yang bisa meruntuhkan hati setiap perempuan manapun. Serta aura aristokrat yang menempel erat di keseluruhan diri suaminya membuat Angelique selalu memaklumi segala tingkah polah Hama
Malam setelah acara ijab kabul usai, di kediaman Reinaldi.Reinaldi duduk diam di sofa ruang tengah. Tamu terakhir baru saja pulang. Seorang kakak tertua dari istrinya, Bastian, pulang setelah memberikan wejangan yang panjang.Tentang, petuah-petuah bijak mengenai kehidupan berumahtangga. Bagimana seorang laki-laki akan didewasakan oleh waktu dan keadaan, seiring dengan tanggungjawab pada sebuah jiwa yang disebut ‘istri’.“Kuserahkan ia padamu, Ali. Amy adalah yang pertama bagimu. Namun, tak bisa dipungkiri, engkau bukanlah yang pertama baginya. Bersabarlah dalam menghadapi tulang rusukmu ini. Sebagaimana kau tahu, tulang rusuk merupakan bagian yang paling rapuh. Jika kau keras padanya, maka ia akan patah. Sedangkan bila kau terlalu lembut padanya, maka ia tetaplah akan bengkok. Maka, pandai-pandailah kau bersikap sebagai suami dan kepala keluarga. Ayah kami telah banyak membimbingmu. Mempersiapkan dirimu menjadi laki-laki sejati.”Reinaldi menunduk takzim. Ia sangat menghormati lelak
Dengan ragu dan malu, Amy berjalan menghampirinya. Wangi sabun menguar segar dari tubuhnya, memenuhi keseluruhan ruang kamar. Masuk ke dalam indera pembau Reinaldi, membangkitkan sesuatu di dalam dirinya.Amy sampai di hadapan Reinaldi. Lelaki itu serta-merta meraih pinggangnya lalu menempelkan kepalanya di perut Amy. Jantung perempuan itu berdesir aneh. Menyadari kalau mereka sudah menjadi suami istri yang sah.“Lelahkah, kau Nak? Maafkan Ayahmu yang terlalu lamban memiliki kalian berdua,” bisiknya pelan menancapkan jejak keharuan di hati Amy. Perempuan itu mengelus rambut Reinaldi. Sehingga lelaki itu mendongak dan menemukan sepasang mata teduh dan syahdu balas memandangnya.“Apakah aku bermimpi?” desis Reinaldi bergetar. Amy tersenyum. Membingkai wajah suaminya dengan bahagia. “Tidak. Engkau tidak bermimpi, Suamiku ...,” suaranya tercekat, lalu dengan haru ia kembali berkata, “kami di sini bersamamu. Hanya untukmu,” bisiknya sambil menumpahkan airmata ke wajah Reinaldi. Menempelka
“Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani
Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik
“J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan
Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m
“Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang
Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka
"Sayang ..., tidak apa-apa mami tinggal?"Panggilan lembut Bu Sonia ditanggapi dengan dingin oleh Angelique. Perempuan itu hanya membuang muka sambil meringis menahan sakit akibat bengkak di wajahnya. Pukulan Hamam benar-benar meluluhlantakkan tubuhnya.'Bagaimana mungkin Amy tahan hidup bersama Hamam setelah dipukuli seperti ini berulangkali? Terbuat dari apa tubuh wanita itu? Apakah ot*aknya terbuat dari baja atau bubur kertas sehingga mau menerima penyiksaan begini selama bertahun-tahun?' batin Angelique sambil memperhatikan dedaunan pohon mangga yang rimbun di ujung halaman rumah sakit.Setelah mendapat keker*san dari Hamam, keluarganya secepat kilat mengangkut Angelique ke rumah sakit. Ruangan VVIP segera disiapkan dengan kawalan ketat dari bodyguard keluarga Noto.Mereka sedapat mungkin meredam hal-hal yang bisa menjadi santapan para paparazi untuk konsumsi tabloid-tabloid murahan maupun acara-acara gosip tentang keadaan Angelique. Bukan main kemarahan yang ditunjukkan Tuan No
Hari telah menjelang sore, ketika pintu rumah Amy diketuk oleh seseorang. Dengan susah payah, ia bangkit dari sofa dan bergerak perlahan menuju pintu. Usia kandungannya telah mencapai delapan bulan, sehingga membuatnya sedikit sulit bergerak. Anaknya kemungkinan kembar. Hal yang patut ia syukuri dengan baik.“Ibu?” ucapnya terkejut. Saat sosok Bu Sonia berdiri di hadapannya dengan wajah masgyul. Tubuh perempuan tua itu tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu. Tanpa diduga, mantan mertuanya itu segera menubruk Amy dan mulai menangis tersedu-sedu. “Ib ..., ibu ...? Apa-apaan ini?” seru Amy sambil berusaha menjauhkan diri dari ibu Hamam. Tetapi, Bu Sonia semakin bergeming, lalu memegang sebelah tangan perempuan hamil itu sambil terisak-isak.“Amy ..., menantuku ..., anakku ..., mohon ..., mohon maafkan ibumu ini,” ucapnya sambil tersedu-sedu. Amy mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan tangan wanita itu dengan takut. Bayangan wajah bengis mantan mertuanya dulu masih te
Reinaldi berdiri di depan jendela. Berusaha menyesap udara dan bernafas dengan normal. Ada sesak yang hendak menyeruak keluar dari rongga dadanya. Betapa belasan tahun lalu ia menginginkan momen tadi. Sebuah sentuhan halus menyapa punggungnya. Bertahan di sana dalam waktu yang lama. Menepuk-nepuk pelan otot-otot yang tegang lalu merangkul bahunya dengan hangat."Kau puas, Ali?" tanya Ari tanpa memandang wajah Reinaldi. Wajah tampan kakak iparnya itu menatap keluar jendela. Ke arah gedung-gedung pencakar langit di bawah sana. Reinaldi memandangnya. Merasakan kehangatan yang menenangkan dari rangkulan lengan kokoh Ari. Belasan tahun lalu, laki-laki inilah yang menguatkannya melewati semua cobaan terberat Ali. Saat-saat terburuknya. Lelaki yang kasih sayangnya melebihi saudara kandung.Air matanya merebak, hingga sosok itu bagai bayangan di hadapannya. Ari menoleh dan tersenyum. Menepuk-nepuk pundak dengan hangat, lalu mengeratkan rangkulan di bahu lebarnya, membiarkan Reinaldi menunduk