Tangan Tini mengetuk udara saat pintu berdaun ganda dipenuhi ukiran rumit itu tiba-tiba terbuka, nyaris buku-buku jarinya mengenai perut besar perempuan luar biasa cantik dalam balutan kebaya mewah.
Tini yang tertegun sampai tergagap ketika perempuan itu memerintah masuk. Pandangannya tak sanggup lepas, terkagum pada sang calon majikan yang melangkah anggun menuju ruang tamu sembari menyelimutkan selendang batik ke perut buncitnya.
Sampai-sampai Tini tak memperhatikan langkahnya, terjagal undakan pintu. Namun beruntung, perempuan itu urung terjerembab ketika sebuah tangan dengan cepat menahan lengannya.
Sontak Tini menoleh dan napasnya tertahan saat tak mendapati seorang pun di belakangnya.
Sedang yang bisa dirasakannya, hanya angin dingin menyapa, membelai kebaya hijau bercorak daun usang dan jarik motif semen rantai yang membalut pas tubuhnya.
Lantas Tini menengok cepat ke kanan kiri, tapi teras rumah Joglo yang dibangun tepat menghadap Gunung Ungaran itu begitu sepi dan suram. Pintu pagar pun masih tertutup rapat dan tubuhnya meremang dengan perasaan aneh.
Tini ingin menepis peristiwa ganjil itu, namun sensasi hangat pada lengannya bahkan masih jelas terasa dan gambaran sekilas tangan kokoh pria yang menahannya sungguh nyata.
“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ …?!”
Sontak suara Nyonya Arini membuat Tini tersentak, lalu dengan tergagap ia berkata,
“Nga-ngampunten, Nyonya …! Tadi … seperti ada orang di belakang saya.”
Tini cepat-cepat membungkuk, memohon maaf. Lantas melangkahi ambang pintu seraya menyapukan pandangannya pada ruang tamu didominasi furniture apik, bahan kayu jati kualitas terbaik.
Sedang keseluruhan bufet serta meja dan kursi dihias ukiran rumit bunga-bunga cantik berlapis pelitur cokelat tua.
Perempuan itu kemudian duduk bersimpuh di lantai, tepat di depan meja, sedang majikannya duduk di kursi bersandarkan bantal putih.
“Tumini sudah kasih tahu kan, akan kerja apa kamu di sini? Jadi, saya mau periksa badan kamu. Tidak boleh ada koreng atau penyakit kulit sedikitpun.”
“Sudah Nyonya.”
“Bagus …!” ucap Nyonya Arini seraya beranjak dari duduknya. “Tumini bercerita kalau dia sudah memeriksa badan kamu, tapi saya ingin memastikannya sendiri. Ayo sekarang masuk kamar, lepas semua baju kamu …!”
Tini pun terhenyak mendengar perintah majikan barunya. Hatinya seakan membisik untuk tidak mengambil pekerjaan itu.
Sementara desas-desus tentang keluarga Nyonya Arini yang penuh keganjilan terngiang di telinganya.
Namun mengingat tak sebutir pun beras tersisa di gubuk ibunya, Tini tak punya pilihan.
Perempuan itu pun semakin bimbang, dua tangannya saling meremas di depan perut, sementara pandangannya tertunduk ke bawah.
“Kenapa lagi kamu, Tini?” geram sang majikan seraya memandang sengit perempuan kurus yang hanya berdiri, tak membuntutinya. “Bener-bener kamu leletnya bukan main!”
“Apa boleh saya kerja di bagian yang lain, Nyonya?”
Permintaan bernada sangat halus itu kemudian ditanggapi oleh majikannya dengan mendengkus sinis.
“Duh … duh …! Tini … Tini …! Kamu itu sudah dikasih hati malah ngelunjak. Pilihannya cuma satu, jadi ibu susu anak saya. Gimana? Mau lanjut atau tidak. Mumpung belum saya periksa badan kamu. Kalau sudah saya periksa, nanti kamu tidak boleh mundur. Jadi tidak buang-buang waktu saya!”
Mendengar itu, Tini pun semakin bingung mengambil keputusan. Pikirannya seperti linglung, sebab sedari tadi sesuatu mengganggu fokusnya.
Entah apa itu, yang dirasakan Tini adalah hawa panas menjalar dengan sangat perlahan dari tengkuk menuruni tulang punggungnya, dan kini berhenti di sekitar tulang ekor.
Padahal udara sedang dingin dan tidak ada siapapun di belakangnya. Lalu bagaimana temperatur hangat itu terus berputar-putar di sekitar bokongnya?
Sedang hawa dingin berembus dari pintu ganda yang dibuka lebar-lebar, begitu kontras dengan udara tepat di belakang punggungnya, menggerak-gerakkan beberapa helai rambutnya yang keluar dari gelungan, membuat perempuan itu meremang di sekujur tubuhnya.
“Kamu jadi mau kerja di sini atau tidak, Tini …?!”
Sang majikan yang menjerit kesal membuat Tini tersentak. Tak biasanya perempuan kaya itu diabaikan.
“I-iya, Nyonya …!”
Lalu sang majikan buru-buru berbalik dan menyusuri koridor rumah yang tampak gelap karena penerangan tak dinyalakan di beberapa bagian.
Dinding kayu berpelitur cokelat di sepanjang lorong semakin menambah kesan mengerikan karena dipenuhi bingkai lukisan para ningrat berwajah tak ramah.
“Jalan kamu berisik, Tini …!!”
Sang majikan tiba-tiba berhenti dan membalik badan, membuat Tini yang sedari tadi berjalan dengan mengamati bingkai-bingkai berbentuk oval emas itu hampir menabrak majikannya.
“Kaki kamu jalan yang bener, jangan pakai suara! Apalagi kalau nanti ada tamu dari keluarga suami saya, jangan sampai kamu malu-maluin! Biarpun pembantu, kamu harus punya toto kromo!”
“Njih … Nyonya …!” Tini pun mengangguk, mengiyakan perkataan majikannya, tak ingin membuat Nyonya Arini marah lagi.
Lantas Tini berjalan dengan mencoba tak menimbulkan suara sama sekali di lantai tegel warna merah bata.
Ia semakin terheran dengan gaya berjalan majikannya. Kaki bersandal selop beludru merah itu bisa berjalan cepat namun tak meninggalkan kesan anggun dan yang lebih mengagumkan, perempuan bersanggul rapi itu seperti tak keberatan dengan beban di perut besarnya.
Jika dipandang dari belakang, sang majikan seperti tidak sedang hamil. Lekuk tubuhnya begitu sempurna.
Aroma badan perempuan itu pun amat menyenangkan, seperti wangi manis melati. Tini semakin gugup jika badannya yang tak harum diperiksa perempuan nyaris sempurna itu.
“Masuk!” seru Nyonya Arini sembari membuka pintu.
Lalu kepalanya menoleh ke belakang, menatap pilu pintu tepat di seberang ruangan yang dipenuhi ukiran cantik sulur-sulur bunga.
Tapi dalam satu kejapan mata, ekspresinya ganti penuh kebencian seraya memerintah, “Tutup pintu!”
Tini pun memasuki kamar dengan memandang ke arah pintu di seberang ruangan, tepat saat terdengar lirih suara laki-laki menggeram dari dalam sana.
“Tini …!” Suara melengking sang majikan seketika membuyarkan perhatian Tini pada ruangan itu. “Apa yang kamu lihat, hah?!”
Sontak Tini yang masih menahan daun pintu agar tetap terbuka cepat-cepat menutupnya dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara berisik.
“Pintunya bagus, Nyonya …!” sahut Tini mencari alasan sembari memperhatikan Nyonya Arini menarik lepas kain jarik Sido Asih yang menutup sebuah cermin lemari besar dibingkai ukiran bunga melati.
“Jadi pembantu di rumah orang, harus pandai jaga pandangan. Apa yang kamu lihat, dengar di rumah ini, jangan pernah kamu umbar di luar sana. Itu etika jadi pembantu, hargai saya yang kasih kamu gaji besar. Saya tidak mau mata kamu jelalatan lagi. Mengerti?”
“Njihhh … Nyonya!” balas Tini dengan mengangguk seraya mendekat kepada majikannya.
“Sekarang, buka baju. Semuanya!”
Majikan Tini kemudian menuju jendela yang terbuka, lalu menutupnya rapat-rapat, begitu juga semua gorden, hingga kamar itu hanya mendapatkan penerangan minim dari celah ventilasi. Tini yang mulai menanggalkan pakaian sesekali mencoba melirik ke belakang, semakin dilanda kengerian yang tak dimengertinya. Seakan ada pasang mata lain yang memperhatikan bagaimana satu per satu pakaiannya dilucuti. Sementara sang majikan sibuk menyalakan lilin di depan meja rias yang senada warna peliturnya dengan furniture di kamar luas itu. Lalu sebuah wadah pembakaran dupa dari tanah liat juga dinyalakan, sedangkan di sisinya ada satu mangkuk tanah liat yang dipenuhi kuncup melati segar, di mana sang majikan sesekali memasukkan beberapa kuncup ke mulutnya seperti sedang memakan camilan. “Angkat tangan kamu, Tini! Rentangkan ke samping! Kaki kamu juga buka lebar-lebar!” perintah sang majikan sembari membawa wadah pembakaran dupa yang telah mengepulkan asap wangi. Kulit kuning langsat Tini yang s
"Ayo ditelan makanannya! Jadi laki-laki jangan menyusahkan!" Nyonya Arini masih terus menjajalkan bubur ke mulut suaminya, bahkan memencet hidung pria itu agar mau menelan makanannya. Lalu tatapan Nyonya Arini berganti pada Tumini yang menundukkan kepala. "Tum! Suap sampai habis. Awas kalau tidak habis! Saya potong gaji kamu! Omong-omong, kamu belum dapat gantinya Jumiati?" "Ngampunten, Nyonya. Belum. Jumiati yang hilang tiba-tiba dan tidak ada kabarnya sampai sekarang, membuat orang-orang takut kerja di sini." "Memangnya kamu tidak cerita ke orang-orang kalau Jumiati minggat sama selingkuhannya?!" "Sudah Nyonya." Tumini semakin membungkukkan punggungnya, agak takut menyampaikan kabar tak sedap selanjutnya. "Tapi ... banyak yang meragukan karena Jumiati tidak pernah terlihat punya selingkuhan selama ini. Yang orang-orang tahu, Jumiati pagi itu masih datang ke sini untuk mengurus Tuan Ario." "Ya sudah! Selesai menyuapi Tuan, kamu balik lagi ke dapur. Tadi bagian dapur bilang kekur
Langkah kaki Tumini yang hampir melewati kamar mandi sontak terhenti mendengar nada suara Tini yang menuntut jawaban. Rasanya perempuan paruh baya itu ingin berlalu begitu saja, namun hati kecilnya tak bisa mengabaikan Tini yang merupakan keponakannya. Lalu dengan mengusap ke belakang anak-anak rambut di dahinya yang bandel mencuat, Tumini kembali mendekat. "Sudah to Nduk ...! Jangan banyak tanya. Apa yang jadi tugas kamu di sini kerjakan. Di luar itu, sudah jangan penasaran. Mbok De tuh paling anti bawa orang kerja yang masih muda. Kayak Jumiati gitu. Kebanyakan tanya. Kalau bukan karena keluarga, Mbok De nggak akan mau bawa kamu. Di rumah ini memang sesekali kelihatan ular, tapi udah biarin aja. Mereka nggak akan gigit. Kamu belum pernah denger to ada orang kerja di sini mati digigit ular? Di sini kan jauh dari pemukiman, masih deket hutan, jadi wajar ada ular sesekali nyasar ke sini." Mendengar itu, Tini pun semakin mengerutkan dahi. "Tapi kan bahaya, Mbok De. Memangnya Nyonya
"Kenapa kamu tanya begitu?" Nada suara Tumini yang terdengar ceria sedari tadi tiba-tiba menjadi serius, membuat Tini semakin dirongrong rasa penasaran. "Ahh ... enggak, Mbok De. Cuma saya kayak pernah lihat di mana gitu." Tini tak menuturkan apa yang dilihatnya, ia sendiri tak terlalu yakin dengan itu. "Yo cuma mirip aja mungkin." Suara Tumini kini kembali menjadi ceria. "Tuan Ario nggak punya kembaran. Orang beliau aja anak tunggal." Tumini pun kembali sibuk memasangkan stagen, sementara Tini mengamati bagaimana Bibinya itu memasang jarik dengan sangat rapi, hingga kain bercorak motif sawat itu membalut indah tubuhnya. "Ini semua baru ya, Mbok De?" tanya Tini dengan memperhatikan motif dua sayap yang terlihat baru tenunannya. "Iya. Nyonya Rini tuh baik banget orangnya. Makanya kamu jangan bikin Nyonya jengkel. Nyonya kan lagi hamil, jadi gampang marah." Perempuan itu kemudian merapikan kebaya brokat hitam yang semakin mempercantik tampilan sederhana namun anggun itu. "Ja
Pertanyaan itu akhirnya menolong Tini yang sesak dadanya melawan kenangan buruk di kepala. "E-enam bulan, Nyonya." Usai jeritan melengking yang membuat perempuan hamil itu terengah, kini ia menghela napas panjang. Lalu Nyonya Arini terdiam, menyandarkan punggungnya ke bantal kursi seraya mengelus ikat perut yang membalut kehamilannya yang besar. Setelah agak teratur napasnya, kemudian perempuan itu memerintah lagi, "Angkat wajah kamu, Tini!" Tini perlahan mengangkat wajah, namun pandangannya hanya tertuju pada meja di mana buku saku yang sedari tadi ada di tangan majikannya itu terbuka setelah dilempar dengan kasar. Tini pun agak penasaran dengan apa yang dituliskan oleh Nyonya Rini, karena coretan tinta merah itu bukan hanya sebuah catatan, tapi ada seperti gambar-gambar yang tak dimengertinya. Sementara sang majikan yang mengamati lebih teliti wajah pekerjanya kemudian mengangguk, kini ada kilatan senang di wajahnya yang cemberut sedari tadi. "Meskipun bodo tapi kamu cantik.
Saking ngerinya, Tini hampir-hampir menghambur keluar, namun mengingat Tuan Ario bahkan tak mampu berpindah, ia mencoba melawan ketakutannya. "Nyu-nyuwun sewu, Tuan ...! Saya balik badannya, nggihh ...!" Ragu-ragu tangannya terulur, menyentuh bahu Tuan Ario yang masih diam. Saat pria itu tak melawan, Tini kemudian membalik tubuhnya, hingga pria itu kini terlentang di lantai. Ia bersyukur tatapan mata pria itu tak setajam di awal. Tuan Ario yang sekarang terlihat lebih ramah, namun masih belum selesai mengamati Tini dari sela-sela rambut di wajahnya. "Duhh ... ini gimana mindahnya ke atas?" Kini Tini dipusingkan dengan tubuh Tuan Ario yang berat. Perempuan itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di ketiak pria itu dan susah payah menyeretnya. Sampai napasnya terengah dan lehernya dibanjiri keringat, namun Tini hanya sanggup memindahnya hingga ke sisi depan ranjang dan dengan sangat hati-hati menyandarkan punggung pria itu. "Tunggu ya, Tuan. Biar saya panggil yang lain bu
Lalu ragu-ragu kakinya kembali mendekat pada majikannya dengan beberapa potong pakaian di tangannya, namun tatapan menilai Tuan Ario yang masih memandangnya dari sela-sela rambut di wajah membuat Tini kembali dilanda gugup. "Tuan Ario kok ngeliatinnya gitu, sih?" gumam perempuan itu sembari menoleh ke arah pintu ketika rumah itu kembali dikuasai keheningan. "Tapi dia kan lumpuh, nggak akan bisa macem-macem." Pandangannya kemudian beralih pada jam dinding, tak terasa waktu bergulir begitu cepat dan hari mulai merangkak siang. Perempuan itu kemudian teringat pada putrinya seraya meraba dadanya yang terasa penuh. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga ada waktu untuk sekejap pulang menyusui putrinya. Kemudian dengan menepis segala ketakutannya pada Tuan Ario, perempuan muda itu mulai menghamparkan selimut ke tubuh majikannya dan dengan telaten melucuti pakaian kotor pria itu tanpa memandang wajah yang sedari tadi menyulut ketakutan di hatinya. Hingga sang majikan kin
Tini pun terdiam, mencoba mencerna kata-kata aneh majikannya itu. Lantas ia terngiang pesan Nyonya Arini tentang suaminya yang mungkin akan menyampaikan hal buruk tentang perempuan itu, membuatnya semakin yakin bahwa Tuan Ario sedikit gila. Tini kemudian mengabaikan ucapan Tuan Ario dan kembali meraih mangkuk di atas nakas saat pria itu berucap lagi, “Kamu bisa mati kalau kerja di sini. Cepat pergi!” Kali ini nada suara Tuan Ario meninggi, membuat Tini terhenyak. “Maaf, kalau saya pulang dan berhenti bekerja, yang mati mungkin bukan hanya saya, Tuan. Tapi ibu saya yang sedang sakit, juga bayi saya. Maaf, apa maksud Tuan berkata seperti itu? Tolong Tuan jangan apa-apakan saya, ya. Saya di sini cuma mau kerja.” Kewaspadaan Tini sontak meningkat, takut, mungkin saja pria itu akan melukainya, namun mengingat Tuan Ario lumpuh, perempuan itu pun agak tenang. “Bukan saya yang akan mencelakakan kamu, tapi Arini,” bisik Tuan Ario sembari melirik ke arah pintu yang masih tertutup. “Cepat
Tini menatap ibunya dengan sorot mata penuh tanya. "Masalah apa yang si Mbok maksud? Apa hubungannya dengan Bapak?"Ibu Tini menghela napas panjang, ia mulai bercerita dengan suara pelan, nyaris berbisik, "Dulu, Bapakmu, Lurah Sukardi, bukan orang biasa, Nduk. Bertahun-tahun dia menjabat sebagai lurah, dan tidak ada yang berani jadi pesaingnya. Orang-orang takut. Baru setelah Mbah Kiai masuk ke desa kita dan menyebarkan agama Islam, baru itu … bapakmu mulai kehilangan pamornya."Tini mendengarkan dengan seksama, jantungnya berdebar kencang. “Iya, Mbok … saya tahu itu. Lalu …? ” “Dulu, waktu si Mbok pertama kali dinikahi Bapakmu, Mbok kira karena kecantikan si Mbok. Tapi ternyata bukan hanya itu."Ibu Tini berhenti sejenak. Suaranya sedikit bergetar saat melanjutkan, "Rupanya Lurah Sukardi butuh penerus untuk ilmu-ilmu yang diturunkan dari orangtuanya dulu. Sayangnya, istri-istrinya yang dulu tidak ada yang bisa memberi anak dengan bakat khusus. Yang tubuhnya kuat untuk jadi wadah il
Tumini terkekeh mendengar jawaban Tini, suaranya bercampur dengan sayup-sayup alunan gamelan dari halaman depan. "Ya lihat-lihat dulu siapa yang dulu menghamili kamu, Tin. Kalau sama-sama jongos, ya Mbok De bisa bantu, minimal marah-marah lah, minta tanggung jawab. Nanti kita juga bisa minta bantuan Nyonya Arini. Tapi kalau yang hamilin kamu orang kaya, lihat dulu kayanya sekaya apa. Kalau lebih kaya dari Nyonya Arini ya … Mbokde nggak bisa bantu. Juga Nyonya Arini."Tini menghela napas panjang, aroma bedak bayi yang menguar dari tubuh bayi di dalam dekapannya seakan menenangkan gejolak hatinya. "Kalau gitu, sudah tidak usah dibahas lagi lah Mbok De. Percuma juga dibahas." Lalu perhatiannya beralih pada bayi yang kembali tertidur pulas. "Ini sudah kenyang kayaknya Mbok De."“Ohhh … iya …. Anak-anaknya Nyonya Arini tuh paling enak diasuh. Pokoknya asal kenyang, sudah. Nggak akan rewel. Sakit juga nggak pernah.”Tumini dengan gemas mengambil bayi dalam dekapan Tini. Sembari menimang s
Seketika napas Tini tertahan ketika melihat bayi lain yang menangis di sisi ranjang. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka kain jarik yang membungkus bayi yang mulai menangis kencang. Wangi bedak bayi menyeruak saat kain tersingkap. Tini menghela napas lega saat mendapati kaki bayi itu normal seperti kaki bayi pada umumnya, bukan ekor ular seperti kejadian sebelumnya yang masih membuatnya bingung antara mimpi atau nyata.Tini lantas meletakkan bayi yang telah tertidur lelap di atas perlak motif bunga yang dilapisi kain batik. Ia lalu beralih mengambil bayi lainnya yang masih menangis. Tangisan bayi tampan itu sontak mereda begitu merasakan kehangatan dekapan Tini dan mulai menyusu dengan rakus.Dengan seksama, Tini memperhatikan kedua bayi itu. Mereka begitu mirip, seolah pinang dibelah dua, dan terasa sama nyatanya. Kemudian ia mulai teringat kata-kata ibu Tuan Ario yang mengatakan bahwa ibu susu lain tak bisa melihat bayi kembaran. Apa artinya itu? Tini benar-benar bingung,
Suara Tumini yang memanggil dari arah teras depan rumah bergaya joglo itu sontak membuat Tini terkesiap. Perempuan itu menjauh dengan hati-hati dari dekat jendela, lalu bergegas menuju ke arah depan, menghampiri bibinya yang berjalan ke arah gerbang kayu berukir yang tertutup rapat."Mbok De panggil saya?" tanya Tini dengan berlari kecil menyusuri pelataran di hias pot-pot berbunga warna-warni."Iya," Tumini menoleh dengan kesal, wajahnya yang dihiasi kerut tampak lelah. "Kamu ke mana aja to, Tin? Itu bayinya Nyonya Arini mulai nangis. Mbok De mau cek di dapur, apa sudah beres atau belum.""Iya, Mbok De," sahut Tini patuh. Perempuan itu lantas mengikuti bibinya yang berjalan tergesa menuju teras sembari berkata, "Tini ... Tini ... nasibmu jelek amat to? Mbok De kadang kasihan sama kamu. Baru aja kamu dapat kerja di sini, ehh ... malah ketahuan sama ibunya Tuan Ario kalau kamu anaknya ibumu. Mbok De nggak nyangka ibunya Tuan Ario bisa tanya-tanya begitu. Biasanya kalau ada orang kerj
“Saya anaknya Tumirah, Nyonya. Ibu saya adik perempuannya Mbok De Tumini.”“Jadi kamu keponakannya Tumini. Terus … bapak kamu siapa?“ tanya Ibu Tuan Ario dengan nada lebih serius.Kali ini Tini agak malu mengungkapkan siapa ayahnya. Lalu dengan menunduk semakin dalam ia menjawab, “Ibu saya istri mudanya mantan lurah Sukardi.”“Ohhh … Almarhum Sukardi? Pantas saja. Rasanya kamu berbeda, tidak seperti pembantu lain. Dulu sekali bapak kamu pernah menjadi orang yang berjaya dan ditakuti banyak orang. Sampai di akhir masa tuanya Lurah Sukardi masih terus menjadi lurah, tidak ada yang berani menjadi pesaingnya, dan ibumu dulu pernah membuat geger karena hamil dengan Lurah Sukardi yang dulu adalah majikannya, lalu bersedia menjadi istri muda Lurah Sukardi yang sudah memasuki umur tujuh puluh tahun.”Lantas dengan menoleh ke arah Tumini yang masih duduk bersimpuh di lantai ia mengimbuhkan, “Saya tidak tahu kalau Tumini adalah saudara istri muda Almarhum Sukardi. Dulu yang lebih membuat geger
Tini pun duduk bersimpuh di lantai mengikuti dua pengasuh bayi lain, tepat di dekat pintu masuk. Sedang ruang tamu luas itu masih didominasi suara perempuan paruh baya yang sedang mengomentari cucu kedua yang menurutnya terlihat agak kurus. “Kamu ini bagaimana Arini …! Anak-anak harus naik berat badannya, bukan malah turun …! Kamu mengurus dua anak saja tidak becus …!” Mata Tini melebar mendengar itu, lalu mengangkat wajah, memperhatikan ibu susu lain yang duduk bersimpuh di hadapannya dalam balutan kebaya putih dan kain jarik corak hitam dan putih. Kepala dua perempuan di hadapannya tertunduk dalam. Mereka sedikit lebih gemuk daripada Tini. Kemudian didorong rasa penasaran, pandangan Tini semakin terangkat, memperhatikan Tumini yang berdiri dengan menunduk di ambang pintu, masih dengan menggendong bayi. “Mana ini ibu susunya, suruh ke sini …!” Suara ibu Tuan Ario kembali terdengar, diikuti rengekan anak kedua Nyonya Arini yang mulai menangis. Perempuan di hadapan Tini sont
“Kok kamu tanya gitu terus to Tin?” Tumini bertanya balik, mulai tak senang keponakannya itu kembali bertanya. “Ibu susu yang lain hlo nggak ada yang secerewet kamu tanya-tanya terus. Lama-lama heran. Memangnya kamu lihat bayinya ada dua?” “Iya, Mbok De,” jawab Tini pelan dengan menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. “Saya nggak sengaja lihat Nyonya Arini lahiran di kamar, ada dua bayi.” Tumini pun berdecak lidah mendengar itu. “Pasti kamu mimpi, Tin.” “Enggak, Mbok De. Beneran ini nggak mimpi. Saya nggak sengaja lewat, pintu kamarnya Nyonya Arini kebuka sedikit, kayaknya pas itu Mbok De mau angkat air anget, jadi dibiarin kebuka. Apa yang satu cacat, Mbok De? Kok disembunyiin. Kemarin saya kurang jelas lihat gimana rupa bayinya.” Tini pun lanjut mengunyah makanan yang membuat pipinya menggembung, setelah makan hampir setengah nasi di piring enamel berhias bunga merah itu, tetap saja tangannya masih gemetaran saking laparnya. Perempuan itu mengamati wajah Tumini yang berker
Tak ada yang bisa Tini lakukan selain menahan pedih yang seakan terus merambat sampai ke puncak kepala. Namun untungnya, sang bayi akhirnya mulai lemah hisapannya matanya yang indah telah terkatup, terbuai dalam tidur. Dengan sangat hati-hati kemudian Tini meletakkan sang bayi di tengah tempat tidur dan membingkainya dengan dua bantal di sisi kanan dan kiri, lalu memandangi puncak dadanya yang didera nyeri, tampak kemerahan.“Masak baru lahir minumnya udah kayak bayi berapa bulan, nanti kalau udah berapa bulan kayak apa? Duhh …!”Tini pun meniup-niup dadanya dan perlahan mulai mereda denyut nyerinya. Kemudian perut perempuan itu tiba-tiba berbunyi keroncongan, membuat Tini melirik meja dipenuhi makanan, rasanya agak canggung makan lagi setelah seharian ia makan banyak.Namun berlalunya detik semakin rasa laparnya menjadi, Tini pun menoleh ke arah bayi yang tertidur lelap. Lalu dengan sangat hati-hati menuruni tempat tidur dan melangkah ke meja, duduk di kursi yang sandaran dan duduka
“Eng-enggak apa-apa, Mbok De …! Ini loh … saya kaget kok bayinya kayak udah bisa ngelihat ya? Padahal kata orang-orang tua, biasanya bayi kalau baru lahir kan matanya belum jelas.” “Ya itu karena dia pas melek ke arah atas aja, jadi kayak ngeliatin kamu,” balas Tumini dengan memperhatikan bayi yang sedang memandangi wajah Tini dengan sorot aneh. “Tapi setiap bayi ya beda-beda Tin … jangan kamu samain anaknya Nyonya Arini sama bayi-bayi lain di kampung. Anak-anaknya nyonya Arini udah mateng di perut, mungkin karena ibunya makannya cukup. Nggak kayak orang kampung yang cuma makan singkong.” “Ohhh … gitu ya, Mbok De. Ini badannya juga udah mantep, ya? Udah kayak bayi sebulan. Kalau si Genduk dulu waktu lahir kecil. Kurus, kayak anak kucing. Omong-omong, ibu susu yang lain kok tadi seharian nggak pernah kelihatan ya, Mbok De?” “Ya ada lah … di kamarnya. Anaknya Nyonya Arini yang pertama itu kan udah disapih, udah dua tahunan umurnya, jadi udah nggak punya ibu susu. Yang masih nyusu it