Siang menjelang. Bara menempatkan janjinya akan datang hari ini. Benar dugaan Nadia, Bara dengan sangat lebay bin alay membawa dua kresek besar berisi makanan kesukaan Nadia.
"Banyak sekali." Kinara membantu Bara membawanya ke atas meja makan.
Bara tersenyum dan mengangguk, "Iya, Nek. Bara mau Nadia gemuk seperti dulu."
Nadia menatap Bara tajam, membuat Bara kelimpungan karena bisa bahaya kalau Nadia marah.
Bara segera menghampiri Nadia yang terlihat merajuk dan kesal kepadanya.
"Sayang, bukan seperti itu maksudku."
Nadia enggan sekedar menatapnya kembali.
Bara menautkan alisnya bingung ketika melihat raut wajah Nadia yang terlihat suram dan menahan emosi.Dress yang Nadia pakai juga warna coklat. Tidak warna biru muda yang ia pinta barusan.Bara berjongkok dan menangkup wajah Nadia dengan kedua tangan kekar pria itu."Kenapa, hem?" tanya Bara.Nadia menghela nafas pelan dan menggelengkan kepalanya."Ini kok warna dress kamu warnanya beda?" tanya Bara meneliti penampilan Nadia. Gadisnya juga tidak memakai make-up seperti biasanya.Karena melihat raut wajah Nadia yang terlihat berbeda. Akhirnya Bara memilih tidak ingin banyak bertanya.
Deburan ombak terdengar indah di telinga keduanya. Bara menghela nafas pelan dan mengusap kepala bagian belakang gadisnya. Rambut indah berwarna hitam pekat itu terlihat indah tergerai diterpa angin pantai.Pantai yang mereka sering kunjungi dahulu. Ketika kejadian naas itu belum terjadi."Kamu masih ingat semua kenangan indah kita di pantai ini, Sayang?"Nadia menoleh ke arah Bara yang berada di belakangnya. Nadia mengangguk sembari mengelus tangan kekar kekasihnya."Kita sekarang jalan-jalan dari ujung sana sampai ke ujung sana." Bara menunjuk pesisir pantai dari arah barat dan timur.Bara menunduk, meminta persetujuan Nadia. Gadis itu mengangguk da
Bara mengangkat sebelah alisnya bingung dengan tingkah sahabatnya yang satu ini. Sedari tadi Candra bergerak gelisah dan tidak berani menatapnya sama sekali."Lo kenapa?" tanya Bara. Mereka berada di rumah Bara sekarang. Jadi bahasa formal tidak digunakan biasanya.Dengan ragu Candra mengangkat kepalanya dan mendongak menatap Bara."Gue hanya mau pinjem kok, Bar. Kalau lecet gue akan ganti biaya administrasi nya."Bara semakin bingung dengan penuturan Candra. Maksudnya apa coba? mau membiayai administrasi, namun benda yang dimaksud tidak disebutkan."Langsung sebutin, Can. Nggak usah membuang waktu gue!"
Brak!Suara bantingan pintu terdengar sangat nyaring. Untung Kinara tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Siapa yang tidak sopan masuk ke dalam rumah orang lain seperti itu? Dengan langkah lebar Kinara menoleh dan sejenak menaruh teh hangatnya terlebih dahulu.Kinara sebenarnya hendak menikmati acara televisi di ruang keluarga dengan menikmati secangkir teh hangat yang ia buat sendiri. Yang pastinya rendah gula.“Nadia, Nek ....”Ternyata itu Bara. Kinara mengelus dadanya agar tidak memarahi calon suami cucunya itu. Namun wanita tua itu menautkan alisnya ketika melihat raut wajah Bara terlihat gelisah dan langsung berlari menaiki anak tangga.
"Astaga, Sayang. Mama gak nyangka kamu secepat ini pulih. Oh … panggil Mama sekarang. Jangan panggil Tante lagi. Kan, sebentar lagi kamu akan menikah dengan Bara dan menjadi putri kesayangan Mama."Nadia mengangguk kikuk, berada di samping Bara.Bara geleng-geleng kepala melihat tingkah mamanya. Mamanya ini nekad ke sini tanpa izin ke papanya terlebih dahulu. Untung masih bersama dengan sopir, sehingga Bara memakluminya."Sekarang Mama harus izin ke papa dulu.""Iya-iya. Mama akan izin. Nanti Mama chat kok. Gak usah lebay kamu, Bara.""Demi kebaikan Mama juga. Nanti kalau papa marah ke Bara, bisa panjang urusannya."
Lala memperhatikan wajah tampan Ryan yang sekarang tengah memeriksanya dengan sangat telaten dan hati-hati."Dok, panggil dokter aja, ya? Kan sekarang berada di rumah sakit.""Iya," jawab Ryan dengan singkat."Kenapa perut sama panas, Dok?" tanya Lala mengeluhkannya sedari tadi."Kamu pernah memakan apa, sebelumnya?""Cye, perhatian." Lala tersenyum manis mengedipkan sebelah matanya, membuat Ryan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir."Setahu saya, kemarin saya makan seblak level 5.""Terus?" Ryan mengangkat sebelah alisnya
"Selamat, Nadia. Suara kamu sudah pulih. Ternyata prediksi saya tidak tepat.""Iya, Pak. Kan Bapak hanya manusia biasa. Mana bisa mengetahui masa depan seseorang. Masa depan Bapak ajha, tidak tahu sampai sekarang kan?"Astaga! sudah mulai lagi bibir cerewet Nadia ini."Iya-iya. Maksud kamu apa, Nadia?""Huh! dasar tidak peka. Padahal baru ajha selesai dari sana."Bara menggelengkan kepalanya. Nadia bahagia sekali menggoda semua orang. Untung dirinya peka dan sangat tahu keinginan Nadia."Sayang! kasihan dokter Ryan nya."
Satu minggu telah berlalu. Nadia dan Bara akan melangsungkan pernikahan hari ini. Bertepatan pada hari senin, tanggal 17 November 2021.Dengan wajah cantik dan manis. Nadia duduk di samping Bara yang sekarang sudah siap dengan jas pernikahannya. Nadia menggenggam kedua tangannya, karena ia gugup dan juga grogi.Nadia memperhatikan gelagat Bara. Tidak ada raut wajah panik atau gelagapan seperti pengantin pada umumnya. Malah Bara terlihat tidak sabaran."Nadia! lo cantik banget."Kedua sahabatnya bersama dengan pasangan masing-masing duduk paling depan menyemangati nya agar tidak gugup."Baiklah. Kita bisa mulai." Sang penghulu memperhatikan ke se
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana