Brak!
Suara bantingan pintu terdengar sangat nyaring. Untung Kinara tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Siapa yang tidak sopan masuk ke dalam rumah orang lain seperti itu? Dengan langkah lebar Kinara menoleh dan sejenak menaruh teh hangatnya terlebih dahulu.
Kinara sebenarnya hendak menikmati acara televisi di ruang keluarga dengan menikmati secangkir teh hangat yang ia buat sendiri. Yang pastinya rendah gula.
“Nadia, Nek ....”
Ternyata itu Bara. Kinara mengelus dadanya agar tidak memarahi calon suami cucunya itu. Namun wanita tua itu menautkan alisnya ketika melihat raut wajah Bara terlihat gelisah dan langsung berlari menaiki anak tangga.
"Astaga, Sayang. Mama gak nyangka kamu secepat ini pulih. Oh … panggil Mama sekarang. Jangan panggil Tante lagi. Kan, sebentar lagi kamu akan menikah dengan Bara dan menjadi putri kesayangan Mama."Nadia mengangguk kikuk, berada di samping Bara.Bara geleng-geleng kepala melihat tingkah mamanya. Mamanya ini nekad ke sini tanpa izin ke papanya terlebih dahulu. Untung masih bersama dengan sopir, sehingga Bara memakluminya."Sekarang Mama harus izin ke papa dulu.""Iya-iya. Mama akan izin. Nanti Mama chat kok. Gak usah lebay kamu, Bara.""Demi kebaikan Mama juga. Nanti kalau papa marah ke Bara, bisa panjang urusannya."
Lala memperhatikan wajah tampan Ryan yang sekarang tengah memeriksanya dengan sangat telaten dan hati-hati."Dok, panggil dokter aja, ya? Kan sekarang berada di rumah sakit.""Iya," jawab Ryan dengan singkat."Kenapa perut sama panas, Dok?" tanya Lala mengeluhkannya sedari tadi."Kamu pernah memakan apa, sebelumnya?""Cye, perhatian." Lala tersenyum manis mengedipkan sebelah matanya, membuat Ryan menggelengkan kepalanya tidak habis pikir."Setahu saya, kemarin saya makan seblak level 5.""Terus?" Ryan mengangkat sebelah alisnya
"Selamat, Nadia. Suara kamu sudah pulih. Ternyata prediksi saya tidak tepat.""Iya, Pak. Kan Bapak hanya manusia biasa. Mana bisa mengetahui masa depan seseorang. Masa depan Bapak ajha, tidak tahu sampai sekarang kan?"Astaga! sudah mulai lagi bibir cerewet Nadia ini."Iya-iya. Maksud kamu apa, Nadia?""Huh! dasar tidak peka. Padahal baru ajha selesai dari sana."Bara menggelengkan kepalanya. Nadia bahagia sekali menggoda semua orang. Untung dirinya peka dan sangat tahu keinginan Nadia."Sayang! kasihan dokter Ryan nya."
Satu minggu telah berlalu. Nadia dan Bara akan melangsungkan pernikahan hari ini. Bertepatan pada hari senin, tanggal 17 November 2021.Dengan wajah cantik dan manis. Nadia duduk di samping Bara yang sekarang sudah siap dengan jas pernikahannya. Nadia menggenggam kedua tangannya, karena ia gugup dan juga grogi.Nadia memperhatikan gelagat Bara. Tidak ada raut wajah panik atau gelagapan seperti pengantin pada umumnya. Malah Bara terlihat tidak sabaran."Nadia! lo cantik banget."Kedua sahabatnya bersama dengan pasangan masing-masing duduk paling depan menyemangati nya agar tidak gugup."Baiklah. Kita bisa mulai." Sang penghulu memperhatikan ke se
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap