Dengan langkah lebar, Nadia dan Bara berjalan tergesa-gesa menelusuri lorong rumah sakit. Beberapa menit yang lalu. Nadia menerima telepon dari rumah sakit. Mamanya terlibat kecelakaan di jalan bersama dengan sekretarisnya.
Tibalah mereka di depan ruang UGD, di sana terlihat seorang pria dengan wajah tertunduk, duduk di salah satu kursi. Dia papa Nadia, yakni Aldi, yang terlihat putus asa. Membuat detak jantung Nadia berdebar dengan sangat kencang.
“Pa! Keadaan Mama, bagaimana? Ma...Mama nggak apa-apa kan, Pa?” tanya Nadia dengan suara yang hampir menghilang.
Aldi menghela nafas dalam, ia berdiri dan memeluk sang putri dengan erat, “Mama tidak akan kenapa-kenapa, Nadia. Kita tunggu kabar dari dokter.”
“Tapi, pya. Nadia khawatir sama Mama. Ap
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya yang terlihat ramai dengan lalu lalang kendaraan pada pagi hari. Jam berangkat kerja, biasa nya akan ada sedikit hambatan di jalan, yakni macet yang berkepanjangan.“Kita langsung menuju tempat klien, Bu?” tanya Mentari, sekertaris Bella yang masih muda.Bella yang berada di kursi belakang mengangguk, sembari mengecek tabletnya, “Tempat biasa kita bertemu dengan klien, mereka akan tiba beberapa menit lagi. Mentari... jangan ngebut, ya?”“Baik Bu, tapi saya sedikit ngebut ya, Bu? Karena sebentar lagi akan macet, beberapa menit lagi.”“Saya mengerti Mentari. Utamakan keselamatan!” peringat Bella
"Maaf atas ketelodran saya, Bu Nadia, Pak Aldi, Pak Barata. Saya yang bersalah di sini. Saya siap dipecat."Seorang wanita memakai kursi roda, dengan didampingi oleh ibunya. Menemui keluarga atasannya.Nadia tidak menggubrisnya, ia masih sesegukkan menangis dan memeluk tangan sang ibu. Seperti anak kecil yang kehilangan tujuan hidupnya.Aldi menghela nafas pelan, menoleh ke arah Mentari yang sekarang berada di depan pintu ruang inap. Tidak berani mendekati mereka. Masih dengan wajah yang terlihat pucat dan menunduk, memilin jari-jemarinya bergantian."Ini musibah, saya hanya ingin kamu menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi?" sergah Aldi.Dapat mere
Semua anggota direksi telah berkumpul di ruang rapat. Terlihat wanita tua itu tengah duduk di antara mereka dengan pakaian rapi. Bersama sang cucu, yang sekarang memakai pakaian lebih formal dari sebelumnya, ketika pria itu menjadi manager keuangan."Saya sebagai salah satu pemegang saham. Mengajukan cucu saya, menjadi CEO perusahaan, menggantikan ibu Bella yang tengah berada di rumah sakit.""Anda tidak berhak menentukan sendiri, Ibu Tiara, tanpa ada persetujuan dari ibu Bella dan juga pak Barata yang memiliki, saham lebih besar di perusahaan."Dimas hanya bisa menghela nafas. Tidak membantah segala perkataan dari neneknya."Baiklah, kalian tahu, kan? Cucu saya, sangat kompeten dalam berkerja. Terbukti ia san
Nadia membersihkan tubuh sang mama dengan sangat hati-hati, menggunakan kain basah telah dipijat. yang dicelupkan ke air hangat.“Ma, dulu mama yang mandiin, Nadia. Sekarang, giliran Nadia yang melakukannya. Mama, cepat bangun ya? Nadia kangen diomelin sama mama. Gak ada yang lebih ngertiin Nadia, hanya mama.”Nadia beralih mengusap wajah sang mama dengan kain lainnya, wajah mamanya sangat cantik, walaupun sekarang tengah dalam keadaan memejamkan matanya.Hidung yang mancung, bibir tipis dan mungil, sama sepertinya. Dan alis yang berjejer rapi dan berwarna hitam alami, tanpa sipat alis. Nadia menyentuhnya, sambil menggigit bibir bawahnya bergetar, menahan isakan.Nadia tidak boleh
Ryan mengangkat sebelah alisnya, ketika melihat tiga gadis, tengah berpelukan di depan pintu, setelah ia membuka pintu ruang inap tersebut. Untuk mengecek keadaan pasien."Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Ryan, membuka suara. Karena ketiga gadis itu enggan untuk melepaskan pelukan mereka. Walaupun dirinya menatapnya dengan pandangan aneh."Pelukan, Pak," jawab Lala, perlahan melepaskan rangkulan mereka.Ryan menggelengkan kepalanya, setelah itu melangkah ke arah pasien. Ryan mulai mengganti infus dan mengejek layar eskalator. Belum ada perkembangan sampai saat ini."Mohon, kalian jangan berisik!" Ryan berbalik dan memberikan peringatan."Iya, Pak. Tap
Seminggu telah berlalu, tidak ada tanda-tanda sang mama akan sadar, dan membuka matanya kembali. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat Nadia, untuk menyelesaikan proposalnya, hingga sekarang gadis itu tengah berdiri di depan ketiga dosen pembimbingnya, untuk menjelaskan semua isi proposal yang sekarang ditampilkan di slide ppt, pancaran layar ict proyektor dari laptop nya.“Sekian penyampaian dari saya. Saya undur diri, dan terima kasih,” ujar Nadia setelah menyelesaikan semuanya. Ia sejenak mengatur nafasnya, karena gugup berhadapan langsung dengan para dosen.“Kamu dinyatakan lulus. Silahkan menyusun skripsi,” ungkap sang dosen, membuat mata Nadia melebar sempurna.Dirinya berhasil, setelah berbagai macam perjuangan yang ia lakukan. Se
Nadia bersimpuh di samping nisan sang mama. Padahal Nadia telah bersusah payah terbangun dari mimpinya. Namun semuanya nyata, mamanya telah meninggalkannya berdua bersama sang papa.Semua anggota keluarga perlahan meninggalkan area pemakaman. Menyisakan Bara, Aldi dan Nadia di sana.“Om, boleh pulang duluan. Pasti semua anggota keluarga menunggu Om, untuk mengadakan pengajian.”“Nadia,” irih Aldi, mengambil nafas panjang dan segera mengangguk.Nadia tidak bergeming, dengan memakai pakain hitam dan kerudung. Nadia sesenggukan menangisi kepergian sang mama.Karena tidak ada jawaban dari sang putri, Aldi beranjak dari sana d
Nadia kecil menutup kedua telinganya ketika mendengar suara petir bergemuruh di luar sana. Nadia berbaring dan menutup diri dengan selimut tebal, ia ingin berlari keluar kamar dan menghampiri kedua orang tuanya. Namun ia tidak berani sekedar mengintip dari celah selimut tebal itu. Karena tubuh mungilnya menggigil.Ceklek! Suara pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita dengan senyuman tulus, menghidupkan lampu kamar. Sehingga perlahan Nadia mengendurkan selimutnya dan melihat sang mama sekarang berada di dekatnya."Ma...Mama, Nadia takut."Gadis kecil itu refleks memeluk sang mama dengan cukup erat. Bella mengusap kepala putrinya dengan lembut. Beberapa kali Nadia menutup matanya, namun bayangan menyeramkan suara petir membuatnya kembali terbangun.