Nadia kecil menutup kedua telinganya ketika mendengar suara petir bergemuruh di luar sana. Nadia berbaring dan menutup diri dengan selimut tebal, ia ingin berlari keluar kamar dan menghampiri kedua orang tuanya. Namun ia tidak berani sekedar mengintip dari celah selimut tebal itu. Karena tubuh mungilnya menggigil.
Ceklek! Suara pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita dengan senyuman tulus, menghidupkan lampu kamar. Sehingga perlahan Nadia mengendurkan selimutnya dan melihat sang mama sekarang berada di dekatnya.
"Ma...Mama, Nadia takut."
Gadis kecil itu refleks memeluk sang mama dengan cukup erat. Bella mengusap kepala putrinya dengan lembut. Beberapa kali Nadia menutup matanya, namun bayangan menyeramkan suara petir membuatnya kembali terbangun.
Nadia menggelengkan kepalanya ketika Bara menyodorkan makanan di depannya."Sudah jam 9 Sayang. Kamu belum makan sampai sekarang. Kamu harus minum obat," ujar Bara harus ekstra sabar dengan kekasihnya. Bara memilih cuti untuk dua hari. Menunggu Nadia pulih dan benar-benar sembuh. Namun lihatlah! sekarang, Nadia enggan untuk memakan sesuatu. Membuat Bara gemas melihat nya."Aku ngak lapar," jawabnya dengan lesu."Nadia," lirih Bara."Kenapa?" sungut Nadia, "Kalau kamu ngak mau ngurusin aku, sana pergi! Jangan kembali lagi ke sini! kamu selalu saja mau paksa aku. Aku ngak suka!" kukuh Nadia keras kepala.Bara menghela nafas pelan. Menaruh mangkok
"Maaf Tuan, Nyonya. Nyonya Tiara memaksa untuk masuk!" ujar satpam di rumah mereka yang bertugas menjaga gerbang.Tiara menatap mereka semua dengan tatapan nyalang, seakan meremehkan."Almarhumah Bella telah meninggal. Jadi, perusahaan akan saya ambil alih. Itu hak saya!" tegasnya. Tidak memiliki urat malu.Kinara terkekeh sinis mendengarnya, "Apa saya tidak salah dengar, Nyonya Tiara? Kenapa Anda sangat terobsesi dengan perusahaan itu? Bukannya, Anda sangat membenci almarhumah, selama ini."Tiara baru menyadari Kinara berada di sana. Dua wanita seumuran itu saling melemparkan tatapan mematikan."Aldi! Dimana, Nadia? Cucu saya? Biarkan dia menandatang
Celina menundukkan kepalanya sedari tadi. Banyak pasang mata yang menatapnya rendah bahkan tidak segan mengeluarkan kata-kata menusuk membuat hati Celina sakit dan nyeri. Ada apa dengan mereka semua? Bahkan tadi, ketika berada di luar gerbang, para mahasiswa yang Celina kenal anak organisasi pergerakan, melemparinya dengan bola kertas sehingga dirinya langsung masuk ke dalam kampus dan fakultas hukum. “Gais! putri dari nyonya penipu telah datang. Silahkan disambut dengan sangat antusias.” Itu suara Lala yang sudah menunggu kedatangan Celina di lorong fakultas hukum bersama dengan Maya beserta teman kelasnya. “Gue gak nyangka ya... mamanya penipu sekarang ternyata putri tercintanya juga penipu. Bahkan menipu sahabatnya sendiri.”
“Ini maksudnya apa, Cel?!” bentak Bara menghajar meja yang berada di depan mereka. Tubuh Bara menyeluruh ke lantai. Dada Bara terasa sesak.Brak! Bruk! Suara nyaring terdengar kembali.“Lo monster. Lo pembohong ulung. Karena lo gue nampar gadis gue. Lo murahan dan lo pantas mati.”Celina menunduk dan menggigit bibir bawahnya karena ketakutan. Bara seperti monster dengan urat-urat leher yang menonjol dan menatapnya ingin memangsa.Bara telah di bohongi habis-habisan. Celina tidak sakit, hanya memiliki penyakit biasa yakni maag. Dan mama Celina adalah penipu dan orang yang dengan sengaja menabrak mobil mama Nadia, hingga beliau kritis dan menutup mata.
Nadia menatap Bara dengan perasaan membuncah. sekarang mereka tengah menghabiskan waktu di pinggir danau. tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Sebelum kedatangan Celina, masuk ke hubungan mereka dan menjadi penyakit di dalamnya.“Aku tahu, Bar. aku sangat jarang mengungkapkan rasa cintaku untukmu. tapi... bukan berarti aku gak cinta sama kamu.”Bara menatap manik mata indah gadisnya. Bara tersenyum dan mengangguk.“Aku tahu, Sayang. kamu sangat cinta sama aku. Karena... kalau kamu gak cinta sama aku. Maka... aku akan memaksa!”Nadia terkekeh dan mencubit pelan pinggang Bara, membuat Bara menarik pipinya.
Bara mengecup bertubi-tubi tangan sang kekasih yang kini enggan untuk membuka mata. Beberapa menit yang lalu Nadia dikabarkan kejang-kejang, membuat dada Bara terasa panas dan sakit. Ia menekan jantungnya menghalau rasa ketakutan dan shock dalam tubuhnya.Bara takut, Nadia-nya menyerah dan memilih meninggalkannya.Tidak ada satupun orang di ruangan itu. Sehingga Bara menerobos masuk dan duduk di samping Nadia sekarang ini. Meraba wajah Nadia yang terlihat pucat dan juga sangat lemah.Bara tidak bisa melihat Nadia seperti ini. Demi Tuhan! Rasanya ditikam oleh belati berkali-kali lipat."Sayang, kamu jangan buat aku khawatir. Jangan main-main lagi, ya?"
Bara mencengkram hendle pintu ruangan Nadia. Dokter Ryan tengah menangani Nadia di sana. Bara tidak berani mendekat karena di sana papa Nadia menatapnya dengan tajam dan menyuruhnya untuk tidak mendekati Nadia.Jari-jemari Nadia perlahan bergerak, membuat semua orang di sana terharu. Nadia melewati masa kritisnya. Bara refleks mendekati Nadia dan tidak peduli akan kemarahan papa Nadia nantinya."Ayo kamu bisa, Sayang. Nadia-nya Bara bisa." Bara menggenggam tangan Nadia. Aldi ingin menghentikan nya, namun melihat kesungguhan di mata Bara, ia mundur perlahan dan membiarkan Bara untuk memberikan penyemangat untuk Nadia, putrinya."Buka mata cantik kamu, Sayang. Kita semua menunggumu."Nadia membuka matanya perlah
Candra memperhatikan interaksi mereka berdua di kejauhan. Tidak tentang apapun, namun mengenai Nadia yang akan pulang besok pagi."Bagaimana keadaan sahabat saya, Pak? tanya Maya. Ia cukup hormat dengan dosen nya ini. Sehingga bertanya dengan selembut mungkin, walaupun sebenarnya ia paling malas melakukannya.Untuk Lala, gadis itu tidak bisa ke rumah sakit hari ini, karena izin mengantar mamanya ke pasar membeli stok kulkas yang telah kosong.Nanti siang, gadis itu akan datang ke rumah sakit."Keadaan Nadia sudah membaik.""Bagaimana dengan kaki sahabat saya, Pak? Hem … begitupun dengan trauma Nadia?"
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana