Dalam perjalanan, ia malah berpikir bahwa bukan Deka pelakupenyusupan itu. Otaknya terus berputar, mengingat kejadian demi kejadian yangmenimpa keluarganya akhir-akhir ini.Berawal dari perselingkuhannya yang terkuak oleh Lolita.Namira yang tidak bisa lagi dikendalikan, lalu Deka yang tiba-tiba memaksamemberikan perhatian khusus pada Lolita.Mendadak otaknya menangkap satu nama di antara keduanya.“Namira,” gumamnya. “Selama ini, tak ada orang lain yang paham seluk beluk rumahku.”Tama membuka ponselnya. Mengamati nomor kontak dengan fotoprofil wajah yang pernah ia kagumi kecantikannya.“Masa iya kamu orangnya, Na.”Terlarut dalam pikirannya, Tama tersentak karena ponselnya berdering.“Namira?”Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Layar ponsel menunjukkanwajah Namira. Seperti mendapat kesempatan, Tama segera mengangkat ponselnya. Berharapbisa menjawab tanya dalam pikiran yang berkecamuk.“Halo,” ucap Tama.“Halo, Mas Tama. Wah, cepet ya, ngangkat teleponnya. Kangen,ya? Sama, dong.”
“Nggak bisa, Na. Kita gak mungkin seperti dulu lagi. Kamuistri sah orang lain sekarang. Jadilah istri yang baik untuknya. Apalagisepertinya, semua keinginanmu bisa dia kabulkan.”“Aku tidak mencintainya.”“Sudahlah. Apapun alasannya, aku gak bisa. Sekarang akuhanya ingin menyelesaikan masalah teror itu. Perintahkan orang suruhanmu untukberhenti meneror rumahku.” Tama menyesap minumannya. Sementara Namiraberpura-pura tidak mendengar, bahkan ia tak menanggapi ucapan Tama.“Punya telinga kan?” bentak Tama. Namira mencebik.“Sudah kubilang, aku Cuma iseng,” jawabnya dengan santai,tanpa merasa bersalah.“Gila. Masalah seperti ini kamu bilang iseng? Astaga, Na! Dimana nuranimu, padahal Lolita sudah sangat baik. Dengan tidak membalas sakithatinya, itu sudah beruntung untuk kamu.”“Gak membalas bagaimana? Mas lupa, bagaimana perlakuan mbakLita saat melemparkan telur-telur busuk itu di hadapan teman-temannya? Lalu membuatvideo dan menyebarkan di media sosialnya. Mas lupa, hah?”“Maafkanlah. D
“Tadi papa menemui dia.”Lolita terperanjat. Ia langsung bergeser menjauhi Tamasebagai respons.“Kan sudah dibilang Jangan marah dulu.”“Dia ... maksud Papa dia, Namira?” tanya Lolita tak percaya.Tama menggaruk kepalanya.“Iya.”“Ngapain?” Lolita langsung menyahut dengan suara meninggi.“Dia dalang di balik teror itu, Ma.”Lolita ternganga. Tersenyum getir sebagai responsketerkejutannya.“Sudah mama duga. Dia pasti pelakunya. Siapa yang paham tentangrumah ini kalau bukan dia. Keterlaluan.”“Sabar. Papa akan bikin perhitungan dengan dia,” Tamamenimpali.Lolita menatap Tama dengan pandangan tak percaya.“Mama yang mestinya turun tangan, bukannya Papa. Malah gakpercaya Papa bakal memberinya perhitungan. Yang ada, ntar kecantol lagi,” ketusLolita dengan suara merendah.“Mama masih curiga aja. Papa gak mungkin khilaf kedua kali.”“Halah. Bisa aja dia nyosor. Terus, di mana ketemuannyatadi?” Lolita sudah terpancing. Dengan sekali menyebut nama Namira, makaemosinya langsung tersulut.“Pa!”
“Oya, aku tinggal ke belakang. Kalian ngobrol berdua gakapa-apa kan?” Mita meminta izin. Lolita memberikan senyuman sebagaimana tanda persetujuan.Setelah Mita pergi, Deka mengambil alih tempat duduknya.Kini ia bisa memandang Lolita dari jarak dekat, bahkan tanpa sekat.Lolita salah tingkah sendiri. Rasa bersalah mulai merayapi,mestinya ia tidak membiarkan Deka sedekat ini.“Hai,” sapa Deka seperti baru bertemu, lebih tepatnya isengsaja.Lolita tak menjawab. Ia malah mengaduk-aduk makanan dihadapannya hingga setengah lumat.“Itu kasihan makanannya jadi korban,” celetuknya. “Ada yangingin kamu sampaikan?”Rupanya Deka bisa menebak tujuan Lolita datang ke kafe Mita.“Em ....” Lolita bingung ingin memulai ucapannya.“Aku tau, kamu gak akan sengaja datang kemari jika bukankarena ada tujuan tertentu. Sekarang, katakan apa yang ingin kamu ketahui.” Deka berucapdengan sangat santai, berbeda jika sedang berhadapan dengan Tama.“Mengenai bunga-bunga itu,” ucap Lolita. Tak perlumenjabarkan, Dek
Lolita mengaktifkan kembali ponselnya. Ia sengajamematikannya sebelum berangkat ke kafe Mita. Alasannya, tak ingin diketahui Tama.Ia sendiri tidak meminta izin. Selain ingin mempermudah urusan, jugamenghindari tuduhan. Tama pasti tidak mengizinkan dirinya menemui Deka.Setelah ponsel menyala, belasan panggilan dan pesan masuk. Kesemuanya dariTama. Lolita panik. Tak biasanya Tama memanggil hingga sebanyak itu.Lolita mempercepat laju kendaraan. Sampai lupa membelipesanan Tiara. Sebelum berangkat les, bocah kecil itu memintanya membelikan eskrim.Gegas memasuki halaman. Kepanikannya bertambah ketikamendapati dua mobil terparkir di sana. Satu milik Tama, satu lagi milik Ardi,dokter keluarga. Mendadak, perasaannya tak enak.“Tama sakit?” gumamnya bertanya-tanya.Lolita menaiki anak tangga dengan tergesa. Belum juga hilangrasa penasarannya, suara Tama dan Ardi sudah terdengar. Mereka munuruni tanggal.Lolita menghentikan langkah ketika kedua laki-laki itu memandangnya.“Pa, siapa yang sakit
“Kalian ini tau siapa aku. Kenapa masih keras kepala menutupjalan, padahal aku Cuma mau ketemu sama mas Tama. Cepetan minggir!” hardik Namira.“Mbak Na kalau masih menjadi keluarga rumah ini tentu saja kamimengizinkan. Tapi sampean di rumah ini Cuma ngerusuh. Jadi kami ya ndak bisa mengizinkanmasuk.” Jono membalas.“Lancang kamu, ya? Aku ini-““Namira!” Lolita sudah gerah mendengar pertengkaran ketiganya.Ia menuruni tangga untuk mendekati Namira.“Mbak Lita yang ngajarin mereka ya? Gak sopan banget, sih!” rutukNamira kesal.“Iya, aku yang menyuruh mereka. Itu karena kamu sudah menebarteror di rumah ini.” Lolita berujar. Tama hanya berdiam di tengah tangga. Membiarkan Lolita mengambil alih perannya.Namira tersenyum kecut. Memandang Lolita dengan tatapan tak suka,lalu beralih menatap sekilas pada Tama yang tak bergeming. “Tumben,” pikirnya.“Mau apa?” tanya Lolita berdiri di ujung tangga. Sementara Namiramasih di hadang oleh Jono dan Ipah. Tangannya berkacak pinggang, sesekali menyungg
“Berarti tujuan kamu yang mesti diluruskan. Bagus pak Teguh berkeinginan seperti itu. Dia mikirnya jauh ke depan. Mikirin masa depanmujuga. Apalagi dia sudah berumur, maaf. Dia butuh generasi penerus yang lahir dari rahimmu.”“Mbak nggak ngerti, sih!”“Mbakmu benar, Na. Sebenarnya, pokok masalah itu ada dikamu. Kalau kamu menuruti keinginannya, dia gak mungkin posesif kok. Akumengenalnya, bahkan mendiang istrinya juga.”“Isterinya dulu sosialita kelas wahid dan smart. Gak adatuh, berita ini dan itu mengenai rumah tangganya.”“Mbak Lita mau bilang kalau aku bodoh, hah!”“Ya pikir aja sendiri. Pak Teguh itu pria baik, sangat baikmalahan. Kalau dia berubah sama kamu, berarti kamu yang gak bisa diajak rukunsama dia. Coba sekarang kamu pulang, bilang mau hamil. Hidup normal sepertikebanyakan wanita. Mustahil pak Teguh menolak apapun yang kamu minta.”“Masalahnya aku nggak mau.”“Lah, kenapa sih mau dinikahi kalau gak mau hamil? Jangan-jangan Cuma mau duitnya doang.”“Cukup Mbak. Aku cari s
Lolita menenteng tas milik Tiara. Bocah itu berlonjak kecildi samping Tama. Bercanda sambil melangkah ke luar. Lolita sudah tampak diteras, menunggu keduanya mendekat.“Jangan rewel, ya?” ucap Lolita memberi pesan. Tiara memakaitas punggungnya, kemudian mencium punggung tangan Lolita.“Mama gak ada acara kan? Nanti usahakan jemput Tiara,” tuturTama.“Iya, Pa. Nanti mama langsung ke kantor, ya? Mama bawakanmakan siang,” sambut Lolita.“Boleh.”Tama berpamitan, lalu meluncur bersama Rudi.Lolita kembali masuk. Tatapannya mengarah ke areabunga-bunga yang bermekaran. Aster putih mendominasi. Lucu, Lolitatertawa. Akhirnya bunga-bunga itu berdiam di sana. Tama memberi izin merawatnya sehingga koleksi bunganya menjadi bertambah.Gegas memasuki rumah. Namun, pandangannya tertuju padasebuah mobil yang terparkir tepat di luar gerbang yang kebetulan masih terbuka.Otaknya merekam kejadian beberapa hari yang lalu. Rasa takutmulai menjalar akan teror itu. Tetapi tidak berlangsung lama ketika iamen
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita