Lolita mengaktifkan kembali ponselnya. Ia sengajamematikannya sebelum berangkat ke kafe Mita. Alasannya, tak ingin diketahui Tama.Ia sendiri tidak meminta izin. Selain ingin mempermudah urusan, jugamenghindari tuduhan. Tama pasti tidak mengizinkan dirinya menemui Deka.Setelah ponsel menyala, belasan panggilan dan pesan masuk. Kesemuanya dariTama. Lolita panik. Tak biasanya Tama memanggil hingga sebanyak itu.Lolita mempercepat laju kendaraan. Sampai lupa membelipesanan Tiara. Sebelum berangkat les, bocah kecil itu memintanya membelikan eskrim.Gegas memasuki halaman. Kepanikannya bertambah ketikamendapati dua mobil terparkir di sana. Satu milik Tama, satu lagi milik Ardi,dokter keluarga. Mendadak, perasaannya tak enak.“Tama sakit?” gumamnya bertanya-tanya.Lolita menaiki anak tangga dengan tergesa. Belum juga hilangrasa penasarannya, suara Tama dan Ardi sudah terdengar. Mereka munuruni tanggal.Lolita menghentikan langkah ketika kedua laki-laki itu memandangnya.“Pa, siapa yang sakit
“Kalian ini tau siapa aku. Kenapa masih keras kepala menutupjalan, padahal aku Cuma mau ketemu sama mas Tama. Cepetan minggir!” hardik Namira.“Mbak Na kalau masih menjadi keluarga rumah ini tentu saja kamimengizinkan. Tapi sampean di rumah ini Cuma ngerusuh. Jadi kami ya ndak bisa mengizinkanmasuk.” Jono membalas.“Lancang kamu, ya? Aku ini-““Namira!” Lolita sudah gerah mendengar pertengkaran ketiganya.Ia menuruni tangga untuk mendekati Namira.“Mbak Lita yang ngajarin mereka ya? Gak sopan banget, sih!” rutukNamira kesal.“Iya, aku yang menyuruh mereka. Itu karena kamu sudah menebarteror di rumah ini.” Lolita berujar. Tama hanya berdiam di tengah tangga. Membiarkan Lolita mengambil alih perannya.Namira tersenyum kecut. Memandang Lolita dengan tatapan tak suka,lalu beralih menatap sekilas pada Tama yang tak bergeming. “Tumben,” pikirnya.“Mau apa?” tanya Lolita berdiri di ujung tangga. Sementara Namiramasih di hadang oleh Jono dan Ipah. Tangannya berkacak pinggang, sesekali menyungg
“Berarti tujuan kamu yang mesti diluruskan. Bagus pak Teguh berkeinginan seperti itu. Dia mikirnya jauh ke depan. Mikirin masa depanmujuga. Apalagi dia sudah berumur, maaf. Dia butuh generasi penerus yang lahir dari rahimmu.”“Mbak nggak ngerti, sih!”“Mbakmu benar, Na. Sebenarnya, pokok masalah itu ada dikamu. Kalau kamu menuruti keinginannya, dia gak mungkin posesif kok. Akumengenalnya, bahkan mendiang istrinya juga.”“Isterinya dulu sosialita kelas wahid dan smart. Gak adatuh, berita ini dan itu mengenai rumah tangganya.”“Mbak Lita mau bilang kalau aku bodoh, hah!”“Ya pikir aja sendiri. Pak Teguh itu pria baik, sangat baikmalahan. Kalau dia berubah sama kamu, berarti kamu yang gak bisa diajak rukunsama dia. Coba sekarang kamu pulang, bilang mau hamil. Hidup normal sepertikebanyakan wanita. Mustahil pak Teguh menolak apapun yang kamu minta.”“Masalahnya aku nggak mau.”“Lah, kenapa sih mau dinikahi kalau gak mau hamil? Jangan-jangan Cuma mau duitnya doang.”“Cukup Mbak. Aku cari s
Lolita menenteng tas milik Tiara. Bocah itu berlonjak kecildi samping Tama. Bercanda sambil melangkah ke luar. Lolita sudah tampak diteras, menunggu keduanya mendekat.“Jangan rewel, ya?” ucap Lolita memberi pesan. Tiara memakaitas punggungnya, kemudian mencium punggung tangan Lolita.“Mama gak ada acara kan? Nanti usahakan jemput Tiara,” tuturTama.“Iya, Pa. Nanti mama langsung ke kantor, ya? Mama bawakanmakan siang,” sambut Lolita.“Boleh.”Tama berpamitan, lalu meluncur bersama Rudi.Lolita kembali masuk. Tatapannya mengarah ke areabunga-bunga yang bermekaran. Aster putih mendominasi. Lucu, Lolitatertawa. Akhirnya bunga-bunga itu berdiam di sana. Tama memberi izin merawatnya sehingga koleksi bunganya menjadi bertambah.Gegas memasuki rumah. Namun, pandangannya tertuju padasebuah mobil yang terparkir tepat di luar gerbang yang kebetulan masih terbuka.Otaknya merekam kejadian beberapa hari yang lalu. Rasa takutmulai menjalar akan teror itu. Tetapi tidak berlangsung lama ketika iamen
“Sayang, kok gak ngomong mau datang.” Tama berucap.Lolita hendak menjawab, terapi urung dengan kedatangan Roy dan Mila, sekretaris Tama.“Ikut mama dulu,” perintah Tama. Tiara menurut.Terlihat ketiganya terlibat dalam percakapan serius. Bahkan Tamaterlihat mengusap dahi yang terus berkeringat. Lolita mengamati dengan khawatir. Otaknya merekam pandangan di depannya, tetapi tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang sedang di hadapi suaminya.Lima menit kemudian, keduanya keluar. Disusul Tama sambil membawa map di tangannya. Lolita tidak berani bertanya. Sebab, Tama terlihat sangat sibuk.Tiara mulai bosan. Sempat mengeluh karena sang papa tidak juga muncul. Lolita sampai harus kerepotan menjelaskannya.Tiba-tiba Tama masuk. Menutup pintu dengan sebelah kaki hingga meninggalkan suara yang cukup keras. Tiara terkejut, tetapi malah mendekat ketika mengetahui papanya yang membuka tutup pintu. Ia menghambur, tapi Lolita melarangnya karena Tama terlihat dalam keadaan kacau.Tama melempar map yan
Suasana malam lengang saat Lolita keluar dari kamar Tiara. Pukul sembilan malam, tetapi Tama belum juga pulang. Ia memutuskan menunggu di kamar sambil mempersiapkan pakaian ganti dan air hangat untuk Tama.Tak berselang lama, terdengar suara mobil yang berhenti di parkiran. Lolita menyibak tirai, tampak Rudi berlari kecil keluar dari mobil.Air hangat sudah tersedia, Lolita menyambut Tama yang mulai memasuki kamar. Basa-basi sejenak membuat Tama tampak rileks setelah seharian dikacaukan dengan urusan kantor.Menjelang tidur, Tama menyuruh Lolita tetap menghidupkan lampu utama. Biasanya, Tama akan bercerita panjang lebar di pembaringan. Tetapi sudah sepuluh menit menunggu, tak ada tanda-tanda membuka suara.Lolita segan ingin bertanya. Namun, rasa penasaran jauh lebih menyiksanya. Pun ia tak akan bisa terlelap jika ia belum mendapatkan penjelasan dari Tama sendiri. Untuk itu, Lolita memberanikan diri bertanya lebih dulu.“Papa gak ada niat cerita masalah di kantor?” tanyanya sambil mem
“Bismilah,” ucapnya sambil mendirikan pintu, lalu berjalan pasti memasuki lobi.Benar saja, ada seseorang yang sudah menunggunya di sana, menuntun Lolita memasuki sebuah kolam renang, lalu lorong kecil sepanjang sepuluh meter.Keduanya berakhir di sebuah ruangan, tetapi tidak memiliki atap. Outdoor dengan sebuah meja bulat dan tiga buah kursi.Tak ada siapapun di sana selain Lolita dan seorang pria bertubuh gempal yang menuntun Lolita sejak awal.Lolita berdiri di ambang pembatas karena memang tidak ada pintu di sana. Melangkah santai mencoba tenang, walaupun pikiran buruk mencoba merasuk. Tetapi segera ia tepis.Ia masih berdiri dengan menenteng tas. Tangan sebelah menggenggam ponsel. Lolita memutar badan untuk mencari keberadaan pria yang mengantarnya.Raib. Pria itu telah pergi.Lolita mengangkat ponselnya, berniat menghubungi Namira. Namun, belum sempat menekan nomor wanita itu, perhatiannya teralihkan oleh suara heels yang terdengar melewati lorong.Lolita tak perlu memandang sia
“Dan kalau Mbak Lita tetap menolaknya, berarti siap-siap menghadapi PHK besar-besaran. Siap-siap juga jika rumahmu, kantor-kantor mas Tama akan dihujani massa yang berdemonstrasi. Atau bahkan teror-teror seperti yang kulakukan kemarin. Terserah! Terserah nasib kalian! Aku gak perduli meskipun kalian menjadi gelandangan.” “Iblis kamu! Ingat, sampai kapanpun, aku tidak akan meninggalkan Tama. Dalam keadaan miskin sekalipun. Silahkan bersenang-senang dengan uangmu. Aku yakin, dalam gelimang harta, kamu tidak akan mendapatkan ketenangan.” Lolita berdiri dengan cepat, lalu pergi menyambar tasnya. “Jangan kamu pikir kamu satu-satunya solusi. Mudah-mudahan kamu gak segera mendapat azab, sehingga bisa menikmati kesenangan dalam waktu yang lama. Semoga ... semoga saja!” Lolita beranjak meninggalkan Namira. Namun, berbalik kembali sebelum ni benar-benar pergi. “Saat kamu memiliki anak nanti, baru kamu akan merasakan arti sebuah keluarga. Aku harap masa itu nanti akan mengingatkan kamu bet
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita