Begitu aku membuka pintu, aku hanya bisa melongo shock melihat sosoknya yang saat ini berdiri di hadapanku.
Aku mundur ketika dia dengan seenaknya melangkah masuk ke dalam apartemenku, tersadar dengan tindakannya, aku berkacak pinggang saat melihatnya melepas sepatunya."Jendra, lo ngapain ke apartemen gue malem-malem?""Ya main lah," ucapnya. Melangkahkan kaki masuk ke dalam apartemenku seolah-olah ini apartmennya.Meletakkan tas yang dibawanya di meja lalu melepas jas yang dikenakan dan menaruhnya di punggung sofa. Dan seenaknya dia mulai duduk di sofa dan menengadahkan kepala pada sandaran sofa."Ini hari Rabu kalau lo lupa?emang lo gak kerja?bisa-bisanya di hari kerja lo malah kelayapan ke Milton." Omelku begitu aku mengikutinya duduk di sofa."Ini udah bukan jam kerja, jadi terserah gue mau main kemana. Lagian besok jadwal gue ada kunjungan sama cek proyek ke daerah deket sini, jadi sekalian aja main ke tempat lo."Aku menggelengkan kepaAku yang sedang memainkan ponselku, menoleh ke arah samping saat merasakan pergerakan disisi sofa. Setelah menyelesaikan panggilan teleponnya Jendra duduk disampingku. "Makasih kopinya,"ucapnya seraya menarik kopi yang aku letakkan di meja depan kami. Kami terdiam cukup lama, aku yang masih memainkan ponselku sambil berbalas pesan dan Jendra yang juga sedang bermain ponsel, sepertinya juga sedang berbalas pesan. "Del, malam ini gue nginep sini ya." Ijinnya tiba-tiba yang membuatku menoleh kepadanya. "Ini bukan hotel Jendra, pulang aja ke apartemen lo." "Please, gue janji bakalan behave, gue juga lagi capek besok pagi-pagi harus cabut. Nanggung kalau harus ke apartemen.” Aku menatap ke dalam matanya, sorotnya terlihat sendu dan ada beban yang sedang dipikirannya, membuatku tak tega saja. Aku berdecak, "ck oke, tapi awas ya jangan macem-macem." Jendra langsung menyunggingkan senyumnya setelah aku mengijinkannya. Lagi-lagi Jendra dengan segala ke
Hari Jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu karena selain besok libur, biasanya hari Jumat diawali olahraga. Bagiku yang jarang bahkan hampir tidak pernah olahraga, dengan adanya kegiatan ini paling tidak seminggu sekali bisa berolahraga.Olahraga hari ini diisi dengan senam aerobik. Lumayan banyak keringat yang bercucuran, meskipun nanti malam dapat dipastikan badanku sakit semua. Setelah selesai senam pagi tadi, aku membeli sarapan bubur ayam langganan depan kantor.Nanti rencananya setelah makan, aku mau menemani Septi untuk membeli beberapa perlengkapan dan mengambil produk UMKM yang akan digunakan untuk pameran Senin depan. Karena tim Septi semuanya sibuk, jadi aku menawarkan diri membantu sekaligus menemani Septi mumpung pekerjaanku hari ini masih santai, yang pastinya sudah mendapatkan ijin Pak Arya untuk membantu tim Septi.Selesai sarapan, aku menumpang mandi di kantor. Seperti biasa keringat membanjiriku setiap selesai olahraga, mengharuskan mandi lagi, mesk
Sudah seminggu dari terakhir kali aku bertemu dengan Tari dan selama itu aku masih belum bisa memenuhi keinginan Tari untuk membujuk Jendra untuk meneruskan perjodohan mereka.Beberapa kali Jendra menelepon atau mengirim pesan, tapi aku jawab seperlunya saja. Aku mulai mengurangi mengurangi intensitas komunikasi dengannya. Beruntungnya selama seminggu ini Jendra sibuk, hingga tak sempat merecokiku seperti biasa.Dari yang aku baca di berita, Jendra saat ini sedang sibuk memantau persiapan peresmian tempat relokasi bencana longsor dan juga peresmian jembatan yang dulu sempat hancur karena longsor. Jendra sendiri memerintahkan jajarannya untuk mengebut pekerjaannya agar para korban bisa segera menempati tempat relokasi dan jembatan bisa segera digunakan kembali.Minggu pagi aku dan Shela berniat jalan-jalan pagi sekaligus membeli sarapan. Sialnya, Shela tiba-tiba mengabariku kalau pacarnya sakit dan minta diantarkan makanan. Sebenarnya Shela tetap mengajakku jalan pagi,
Setelah aku mengusir Jendra waktu itu dari apartemeku, aku benar-benar mengabaikan semua pesan atau teleponnya. Pernah tiga hari kemudian dia nekat datang ke apartemenku masih dengan setelan seragam kerjanya. Beruntung sebelum membuka pintu, aku mengecek pada interkom sehingga menghindarkan aku bertemu dengannya. Aku hanya terdiam bersandar pada pintu dan menahan diri untuk tidak membuka pintu untuknya. Jendra bertahan disana dengan tetap mencoba menelepon atau mengirimi pesan untuk membukakan pintu untuknya. "Dela, gue tahu lo ada didalam. Please buka pintunya, gue mau jelasin semuanya." Sampai akhirnya Jendra menyerah, dan meninggalkan unitku tengah malam. Hampir setiap hari mengirim Jendra mengirim pesan meminta untuk bertemu agar bisa menjelaskan semuanya tentang masalah perjodohan itu. Lagi-lagi aku mengabaikan pesannya tanpa minat untuk membalasnya. Hingga akhirnya beberapa hari kemudian aku tidak lagi mendapatkan pesan atau telepon darinya. Jujur rasanya b
Di dalam mobil, kami sama-sama terdiam. Tadi Jendra sempat mengajakku bicara, menanyakan aku mau makan di mana, karena tadi di cafe aku tidak sempat makan. Menatap pemandangan di luar jendela, aku berfikir apa yang setelah ini akan terjadi. Aku marah pada Jendra karena seenaknya mengeluarkan pernyataan. Bagaimana perasaan Tari setelah nanti melihat berita itu. Sia-sia selama ini aku menghindarinya. Lama melamun, aku tak sadar ternyata Jendra mengajakku ke apartemennya. Melihat sekeliling, mobil sudah masuk ke parkiran basement. "Ngapain kita kesini?antar gue pulang Dra." Ucapku menahan kekesalanku. "Gak, lo gak pulang sekarang. Kita harus bicara, gue harus jelasin ini semua." Aku menggeleng, "gak ada yang perlu dijelasin lagi. Fine kalau lo gak mau nganterin, gue bisa pulang sendiri." Ucapku seraya membuka pintu. Namun dengan cepat tangan Jendra segera mencegahku membuka pintu, dia menggenggam tanganku yang satunya, dan menarikku keluar dari mobil. Pint
“Gimana?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Jendra yang sudah kutahu maksudnya apa. “Kenapa, hm?” “Emangnya mama semudah itu merestui kita?” Bisa kurasakan Jendra tersenyum menanggapi pertanyaanku dan menggeleng. “Gak mudah, tapi aku berhasil yakinin dia. Ini pertama kalinya aku menentang keputusan mama, but worth it. Bagaimanapun pernikahan bukan hal yang bisa digabung sama bisnis atau politik. Aku gak mau berakhir gak bahagia sama Tari.” “Who knows?” Aku melepaskan pelukan Jendra dan memberi jarak pada kami. “Bisa aja semuanya akan tumbuh seiring waktu, Dra. Saat lo dan Tari berhasil, gak cuma kalian yang bahagia, tapi semua orang. Benar-benar semua orang.” Jendra memandangku lamat-lamat. “Yang jelas gue gak akan mempertaruhkan kebahagiaan gue sendiri di atas kata ‘bisa aja’.” Dia mengubah kembali kata gantinya dan memandangku dengan serius. “Apa Tari akan bisa survive saat berkunjung ke daerah bencana? Apa simpatiknya akan terasa nyata di mata warga
Aku langsung menatapnya tajam, "kamu kebiasaan deh suka cium-cium. Otak mesumnya dikurangin bisa?" Protesku padanya. Jendra tertawa mendengar protesku, lalu mencubit pelan hidungku, "sakit tahu" aku menepis tangannya yang mencubit hidungku. "Kamu sih ngegemesin, nikah aja yuk" "Mulutnya, jangan aneh-aneh ya" ancamku padanya untuk meningkahi salah tingkahku karena ucapan Jendra barusan. Lagi Jendra menatapku dengan lembut, "aku serius sayang, lagian tadi di depan wartawan kan aku udah bilang kalau kamu calon istriku." Aku berdecih, "ck itu mah jawaban ngaco kamu biar gak di kejar-kejar pertanyaan wartawan mulu. Oh iya kok bisa ada pertanyaan dari wartawan tentang calon istri ya?" “Biasa wartawan suka gitu, lihat aku sama cewek aja langsung digosipin. Makanya udah gak kaget kalau ada pertanyaan kayak gitu.” Aku memutar bola mata malas mendengernya. Lalu aku teringat sesuatu, "Dra, tadi kan ada yang mencet bel, kenapa ga di bukain pintu?" "I
Aku berjalan ke dalam kamar mandi membawa kaos dan handuk yang tadi diberikan oleh Jendra. Di dalam kamar mandi, aku berhenti di depan kaca. Menatap bayangan diriku disana, memegang pipiku yang memerah malu. Aku masih tidak percaya, rasanya seperti mimpi kalau Jendra benar mencintaiku. Menggelengkan kepala, aku kembali mengusap wajahku yang masih ada sisa-sisa air. Selesai mandi, ternyata Jendra masih berada di dalam kamar. Dia saat ini sedang duduk di ujung kasur dengan kepala tertunduk, sibuk dengan ponselnya. Begitu mendengar aku memanggilnya, Jendra baru menegakkan kepalanya. Bukannya menjawab panggilanku, dia malah diam sambil terus menatapku. Aku menunduk melihat penampilanku, kaos hitam yang tadi diberikan Jendra saat aku kenakan hanya bisa menutupi bagian atas tubuhku 5 cm dari lutut, aku tidak menggunakan celana kerjaku lagi, karena menurutku akan membuatku gerah. "Dra, kenapa sih ngeliatinnya gitu?kependekan ya?aku pake celana kerjaku lagi aja deh." Ucapku, yang
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe