Di dalam mobil, kami sama-sama terdiam. Tadi Jendra sempat mengajakku bicara, menanyakan aku mau makan di mana, karena tadi di cafe aku tidak sempat makan.
Menatap pemandangan di luar jendela, aku berfikir apa yang setelah ini akan terjadi. Aku marah pada Jendra karena seenaknya mengeluarkan pernyataan. Bagaimana perasaan Tari setelah nanti melihat berita itu. Sia-sia selama ini aku menghindarinya.Lama melamun, aku tak sadar ternyata Jendra mengajakku ke apartemennya. Melihat sekeliling, mobil sudah masuk ke parkiran basement."Ngapain kita kesini?antar gue pulang Dra." Ucapku menahan kekesalanku."Gak, lo gak pulang sekarang. Kita harus bicara, gue harus jelasin ini semua."Aku menggeleng, "gak ada yang perlu dijelasin lagi. Fine kalau lo gak mau nganterin, gue bisa pulang sendiri." Ucapku seraya membuka pintu. Namun dengan cepat tangan Jendra segera mencegahku membuka pintu, dia menggenggam tanganku yang satunya, dan menarikku keluar dari mobil.Pint“Gimana?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Jendra yang sudah kutahu maksudnya apa. “Kenapa, hm?” “Emangnya mama semudah itu merestui kita?” Bisa kurasakan Jendra tersenyum menanggapi pertanyaanku dan menggeleng. “Gak mudah, tapi aku berhasil yakinin dia. Ini pertama kalinya aku menentang keputusan mama, but worth it. Bagaimanapun pernikahan bukan hal yang bisa digabung sama bisnis atau politik. Aku gak mau berakhir gak bahagia sama Tari.” “Who knows?” Aku melepaskan pelukan Jendra dan memberi jarak pada kami. “Bisa aja semuanya akan tumbuh seiring waktu, Dra. Saat lo dan Tari berhasil, gak cuma kalian yang bahagia, tapi semua orang. Benar-benar semua orang.” Jendra memandangku lamat-lamat. “Yang jelas gue gak akan mempertaruhkan kebahagiaan gue sendiri di atas kata ‘bisa aja’.” Dia mengubah kembali kata gantinya dan memandangku dengan serius. “Apa Tari akan bisa survive saat berkunjung ke daerah bencana? Apa simpatiknya akan terasa nyata di mata warga
Aku langsung menatapnya tajam, "kamu kebiasaan deh suka cium-cium. Otak mesumnya dikurangin bisa?" Protesku padanya. Jendra tertawa mendengar protesku, lalu mencubit pelan hidungku, "sakit tahu" aku menepis tangannya yang mencubit hidungku. "Kamu sih ngegemesin, nikah aja yuk" "Mulutnya, jangan aneh-aneh ya" ancamku padanya untuk meningkahi salah tingkahku karena ucapan Jendra barusan. Lagi Jendra menatapku dengan lembut, "aku serius sayang, lagian tadi di depan wartawan kan aku udah bilang kalau kamu calon istriku." Aku berdecih, "ck itu mah jawaban ngaco kamu biar gak di kejar-kejar pertanyaan wartawan mulu. Oh iya kok bisa ada pertanyaan dari wartawan tentang calon istri ya?" “Biasa wartawan suka gitu, lihat aku sama cewek aja langsung digosipin. Makanya udah gak kaget kalau ada pertanyaan kayak gitu.” Aku memutar bola mata malas mendengernya. Lalu aku teringat sesuatu, "Dra, tadi kan ada yang mencet bel, kenapa ga di bukain pintu?" "I
Aku berjalan ke dalam kamar mandi membawa kaos dan handuk yang tadi diberikan oleh Jendra. Di dalam kamar mandi, aku berhenti di depan kaca. Menatap bayangan diriku disana, memegang pipiku yang memerah malu. Aku masih tidak percaya, rasanya seperti mimpi kalau Jendra benar mencintaiku. Menggelengkan kepala, aku kembali mengusap wajahku yang masih ada sisa-sisa air. Selesai mandi, ternyata Jendra masih berada di dalam kamar. Dia saat ini sedang duduk di ujung kasur dengan kepala tertunduk, sibuk dengan ponselnya. Begitu mendengar aku memanggilnya, Jendra baru menegakkan kepalanya. Bukannya menjawab panggilanku, dia malah diam sambil terus menatapku. Aku menunduk melihat penampilanku, kaos hitam yang tadi diberikan Jendra saat aku kenakan hanya bisa menutupi bagian atas tubuhku 5 cm dari lutut, aku tidak menggunakan celana kerjaku lagi, karena menurutku akan membuatku gerah. "Dra, kenapa sih ngeliatinnya gitu?kependekan ya?aku pake celana kerjaku lagi aja deh." Ucapku, yang
"By the way emang kamu gak apa-apa besok cuti. Bukannya jadwal Walikota lagi padat-padatnya?" "Gak apa-apa lah, selama ini aku juga belum ada cuti sama sekali. Malah kadang sabtu atau minggu aku masih kerja." "Kok bisa kamu kepikiran buat cuti hari ini?" Tanyaku penasaran. "Ya buat jaga-jaga aja kalau kamu gak mau ketemu aku lagi, dan kamu ga mau dengerin penjelasanku, jadi aku gak perlu bolak balik." "Halah, tapi kamu pakai jebakan biar bisa ketemu aku. Kamu sogok apa Tina sampai dia mau kerjasama?" "Itu namanya trik sayang, coba kalau aku datang ke kantor kamu, pasti kamu bakalan lebih marah sama aku terus semakin sulit buat aku ketemu kamu. Atau aku ke apartemen, udah pasti kamu ga bakalan bukain pintu." "Iya sih, kalau kamu nekat datang ke kantor aku bakalan marah banget dan bakalan bikin gempar juga di kantor." Terdengar bunyi bel, segera Jendra berdiri untuk membukakan pintu. Mungkin Mas Aldo yang mengantarkan makanan. Sesaat setelah Jendra m
Oh iya, mengenai kedatanganku yang tiba-tiba semalam, kedua orang tuaku cukup terkejut karena sebelumnya aku sama sekali gak ngasih kabar akan pulang. Mama langsung mencercaku dengan pertanyaan aku pulang dengan siapa, kenapa beberapa minggu ini gak pulang, tiap di telepon susah. "Tadi siapa yang nganterin Kakak?Tumben gak naik kereta?" "Pulang bareng temen Mah, lumayan irit ongkos." dustaku pada Mama. "Kenapa gak disuruh mampir dulu, gak sopan banget kamu udah numpang tapi gak nawarin mampir." Aku hanya nyengir mendengar omelan Mama, "dia sibuk Mah, udah ditungguin juga sama keluarganya." Dan akhirnya malam itu aku dan Mama bercerita-cerita sampai malam sambil menunggu Stevan pulang. Kembali lagi tentang Jendra yang memaksaku untuk ikut pada kunjungannya. Aku sudah selesai bersiap-siap saat mendengar ponselku berdering. "Iya halo Dra. Iya ini udah selesai bentar lagi aku keluar." “Aku perlu turun gak?” tanyanya. “Ga usah macem-macem gak
Tak terasa sudah hari Senin lagi. Setelah dadakan cuti hari Jumat kemarin, Shela langsung memberondongku dengan pertanyaannya. Kami baru sempat bertemu di kantor, karena kemarin aku kembali ke apart malam hari. Salahkan saja Jendra yang menahanku di apartnya begitu kami sampai di Ibukota. Dia baru mengantar ke apartku ketika dia akan kembali ke kota M."Lo kemana aja selama cuti kemarin?tumben banget cuti dadakan gak ngabarin gue dulu. Gue cari lo di unit juga gak ada.""Gue di culik Jendra, gak di pulangin ke apartemen." Jawabku cuekShela melototkan matanya, "seriusan?bukannya lo gak mau ketemu dia lagi?"Sebelumnya aku sudah menceritakan semuanya pada Shela. Karena waktu malam itu dia menemukanku menangis di apartemen sendirian. Akhirnya aku mencurahkan semuanya pada Shela."Hmmm dia nyuruh Tina buat janjian ketemuan sama gue, eh ternyata yang datang malah Jendra. Dan akhirnya di cafe itu chaos gara-gara banyak wartawan.""Oh gue tahu, gue sempet ba
Pagi ini aku terbangun dengan mata yang sembab. Tadi selesai mandi, aku berkaca dan mataku terlihat bengkak. Ternyata bukan hanya hatiku yang berantakan, tapi wajahku kini terlihat sama mengerikannya juga. Meskipun sudah menggunakan concealer untuk menyembunyikan lingkar hitam di bawah mata, tapi tidak banyak membantu. Semalaman aku terus menangis. Hatiku masih terus merasa sesak setiap mengingat foto itu. Masih teringat jelas dalam ingatanku, foto yang diambil dari sisi samping itu, menampilkan Jendra dan Tari. Tidak perlu melihatnya 2 kali, terlihat jelas wajah dan postur tubuh itu milik Jendra. Aku yang sudah pernah melihatnya shirtless ataupun saat mengenakan baju, aku langsung mengenali bahwa itu Jendra. Aku ingin menyangkal tentang kebenaran foto itu, tapi semuanya tampak nyata. Dan ancaman yang dilontarkan Tari, membuatku tidak mempunyai pilihan lain. Aku juga memikirkan bagaimana nanti aku menghadapi Jendra. Aku ingin segera mengkonfrontasinya, meskipun aku tahu na
"Ya halo?" jawabku. "Mbak Dela masih belum jauhin mas Jendra?Jangan dikira aku ga ngawasin mbak ya." Aku menghapus air mataku yang kembali menetes, "aku butuh waktu buat bicara sama Jendra." Terdengar suara Tari yang tergelak, "butuh waktu?tadi mbak udah ketemu sama mas Jendra, kenapa ga bilang langsung aja, ngapain di tunda-tunda." "Gak semudah itu Tari." "Mbak jangan anggap ancaman aku cuman gertakan aja ya, kalau sampai kesabaranku hilang. Tinggal tunggu saja kabar kehancuran mas Jendra di media massa. Aku sudah pernah bilang, aku gak masalah kalau harus hancur bareng mas Jendra." "Jangan macem-macem kamu Tari." Ucapku geram. "Makanya jangan buat kesabaranku habis. Aku tunggu kabar selanjutnya." Panggilan Tari berakhir. Aku menatap kosong ke depan, semakin kalut setelah menerima telepon dari Tari. Lama terdiam, tiba-tiba suara bell berbunyi, aku berjalan menuju pintu untuk membukanya. "Selamat malam, pesanan atas nama Dela."
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe