Begitu membuka pintu rumah, di ruang tamu ada mama papa dan Stevan.
"Dianter siapa kak?" Tanya Mama saat aku menaruh martabak dan terang bulan di meja."Teman mah." Jawabku singkat.Duduk disamping Stevan yang sedang bermain game di ponselnya, aku menyandarkan kepala pada bahunya."Tadi temennya kok gak diajak masuk aja sih kak, kenalin gitu sama papa mama." Kukira tidak akan ada pertanyaan lanjutan, ternyata Mama masih penasaran aja. Sepertinya tadi Mama mengintip dari balik jendela."Sibuk, orangnya buru-buru mau pulang udah malem.""Pamerannya sampai kapan kak?" Ini papa yang bertanya. Papa tidak akan kepo tentang laki-laki yang mendekatiku, karena cukup Mama dan Stevan yang selalu cerewet tiap aku dekat dengan laki-laki. Papa cukup menunggu sampai aku sendiri yang akan mengenalkannya secara langsung pada papa."Sampai Sabtu ini Pa, nanti pas hari terakhir ada penyerahan hadiah untuk lomba-lomba yang diadakan selama seminggu ini sama ada konserSaat akan berdiri, lenganku dicekal dan ditarik Pak Arya agar duduk lagi."Kamu kenapa selalu menghindariku?" Tanya masih dengan tangannya yang memegang lenganku. Aku berusaha melepaskan tangannya tapi gagal, aku membiarkannya dan tetap duduk dengan memberi jarak."Saya gak hindari pak Arya, saya beneran mau bantuin Martin." Jawabku kesal.Pak Arya mendengus, "gak menghindar gimana?setiap saya ajak makan bersama kamu tolak, setiap saya nyoba ngedeket ke kamu, kamu langsung kabur kayak sekarang."Aku memejamkan mata, sepertinya aku harus menegaskan pada Pak Arya. Namun saat membuka mata, di depan stand terlihat kerumunan orang yang didalamnya ada rombongan Wali kota.Dan disana, terlihat Jendra menatapku tajam. Meskipun disebelahnya ada Angga yang sedang menjelaskan tentang produk umkm kami, tapi matanya jelas tertuju padaku, lebih tepatnya pada tangan Pak Arya yang sedang memegang lenganku. Shela yang tanggap, lalu menghampiriku dan Pak Arya. Dia menga
Saat berjalan menuju ke stand, aku bertemu dengan Pak Arya yang sedang berjalan keluar area pameran. Aku menggangguk dan tersenyum sopan berlalu segera berjalan ke stand. Namun saat akan melewatinya, Pak Arya mencegahku dengan mencekal lenganku. Aku melirik pada tangannya yang mencekal lenganku, melepasnya perlahan."Kita perlu bicara Dela. Aku belum selesai bicara sama kamu.""Maaf pak, waktu istirahat saya sudah selesai, saya mau kembali ke stand." Tolakku halus, toh tidak ada yang perlu dibahas lagi.Mengabaikan penolakanku, Pak Arya meraih pergelangan tanganku dan membawaku keluar lagi dari area pameran. Aku memandang tanganku yang saat ini ditarik oleh Pak Arya, enggak sakit, hanya ada perasaan muak.Dulu setiap Pak Arya menggenggam tanganku akan terasa hangat dan nyaman. Dulu aku menyukai saat dia menggenggam tanganku atau merangkul pinggangku saat kami sedang pergi berduaan. Namun sekarang yang aku rasakan hanya rasa muak. Kalau saja aku bisa, aku ingin pi
Akhirnya pameran dan konser musik selesai juga. Pukul 23.00 penampilan dari bintang utama selesai. Aku mencoba melepaskan diri dari Jendra. Sepanjang acara, Jendra sama sekali tidak melepaskanku dari pelukannya. Begitu lagu terakhir selesai, aku mendongakkan kepala menatap Jendra yang berada di belakangku. “Lepasin, gue mau masuk lagi ke area pameran.” Jendra menundukkan kepalanya, membuat wajahnya berada dekat denganku, sampai deru nafasnya mengenai sisi wajahku. “Ngapain masuk lagi?Ayo langsung pulang.” “Mau ambil tas gue sama bantuin bentar ngangkatin barang ke mobil.” “Kenapa gak besok aja.” “Lepasin Dra, capek gue ngomong sama lo sambil dongakin kepala.” Akhirnya Jendra melepas pelukannya, dan aku berbalik menghadapnya. “besok mau langsung balik, makanya malam ini harus masuk mobil semua barangnya. Udah ya gue masuk dulu, Bye! Ucapku sambil melambaikan tangan pada Jendra, segera berjalan sebelum sempat dia mencegahku lagi. Pukul 23.30 kam
Keesokan harinya."Ontime amat sih jemputnya," ucapku begitu aku memasuki mobil Jendra. Hari ini dia menyetir sendiri mobilnya, tapi santai saja meskipun dia menyetir sendiri, para pengawalnya pasti standby yang kadang aku sendiri tidak menyadari keberadaan mereka. "Biar gak keburu siang, panas jalannya. Gue gak perlu turun nih, buat pamit ke orang tua lo?" Jendra masih belum juga menjalankan mobilnya, malah dia kini bersiap melepas sabuk pengamannya. Refleks aku memukul lengannya, "gila lo, yang ada kita gak jadi berangkat. Bisa-bisa gue interogasi habis-habusan sama nyokap bokap, malah yang lebih parahnya ngamuk gara-gara gue dianterin Walikota, nanti dibilang ga tau diri yang ada." "Kok ngamuk sih, ya bangga dong anaknya dianter spesial sama Pak Walikota." "Udah deh jalan aja, katanya keburu siang." Akhirnya Jendra mengalah dan mulai menjalankan mobil. "Emang kenapa sih orang tua lo ngamuk kalau gue yang anter?" Aku mendengus, "ya
Aku mendengar helaan nafas dari sampingku, membuatku menoleh kearahnya. Terkesiap saat menyadari wajah Jendra berada terlalu dekat denganku, dan kini matanya menatapku lekat. Berdehem sebentar, "kenapa?" Tanyaku karena Jendra tak juga bicara. "Cewek tadi siapa?apa dia cewek lo?" Lanjutku penasaran. Jendra hanya mengedikkan bahu, "gak penting." Ucapnya dengan jarinya yang merapikan poniku yang berantakan dan membawa helaian rambutku ke belakang telinga. "Padahal tadi kalau lo mau pergi sama cewek itu juga gak apa-apa, tadi dia bilang mamanya nyariin lo kan?" Entah kenapa saat mengatakannya ada yang menganjal dihatiku. Tiba-tiba tangannya yang tadi menyusuri rambutku, sekarang berada di tengkukku dan mendorongnya maju ke depan. Hidung kami nyaris menyentuh satu sama lain, "bisa kita gak usah bahas cewek tadi?" Setelah mengatakan itu, bibir Jendra menekan lembut bibirku. Aku yang sudah terlarut dengan ciumannya, langsung membalasnya dan membuka bibirku. Ciuman
Pagi ini aku terbangun dengan Jendra yang masih memelukku. Seperti biasa, aku selalu bangun pukul 4 pagi untuk bersiap berangkat kerta dan membuat sarapan serta bekal makan siang untuk diriku. Aku mendongak, menatap Jendra yang masih memejamkan mata, wajahnya nampak begitu damai dan tenang. Aku tidak pernah membayangkan akan adanya Jendra disini, bersamaku di kasur yang sama denganku. Tidak dapat dipungkiri hatiku sudah jatuh pada Jendr, tapi aku terus menyadarkan diriku tentang status kami. Merasa mataku mulai panas hanya karena membayangkan hubunganku bersama Jendra, aku mulai mengeliatkan badanku, bermaksud untuk membuatnya bangun. Aku ingin segera kabur dari pelukan nyaman ini, aku tidak ingin terlalu larut dalam kenyaman ini. Tapi bukannya bangum, Jendra semakin mengeratkan pelukannya, membuatku diam membeku. “Lepas Dra, lo harus bangun, balik ke Kota Aare.” aku kembali mengeliatkan badan gara pelukannya mengendur. Jendra yang saat ini bertelanjang dada deng
Begitu aku membuka pintu, aku hanya bisa melongo shock melihat sosoknya yang saat ini berdiri di hadapanku. Aku mundur ketika dia dengan seenaknya melangkah masuk ke dalam apartemenku, tersadar dengan tindakannya, aku berkacak pinggang saat melihatnya melepas sepatunya. "Jendra, lo ngapain ke apartemen gue malem-malem?" "Ya main lah," ucapnya. Melangkahkan kaki masuk ke dalam apartemenku seolah-olah ini apartmennya. Meletakkan tas yang dibawanya di meja lalu melepas jas yang dikenakan dan menaruhnya di punggung sofa. Dan seenaknya dia mulai duduk di sofa dan menengadahkan kepala pada sandaran sofa. "Ini hari Rabu kalau lo lupa?emang lo gak kerja?bisa-bisanya di hari kerja lo malah kelayapan ke Milton." Omelku begitu aku mengikutinya duduk di sofa. "Ini udah bukan jam kerja, jadi terserah gue mau main kemana. Lagian besok jadwal gue ada kunjungan sama cek proyek ke daerah deket sini, jadi sekalian aja main ke tempat lo." Aku menggelengkan kepa
Aku yang sedang memainkan ponselku, menoleh ke arah samping saat merasakan pergerakan disisi sofa. Setelah menyelesaikan panggilan teleponnya Jendra duduk disampingku. "Makasih kopinya,"ucapnya seraya menarik kopi yang aku letakkan di meja depan kami. Kami terdiam cukup lama, aku yang masih memainkan ponselku sambil berbalas pesan dan Jendra yang juga sedang bermain ponsel, sepertinya juga sedang berbalas pesan. "Del, malam ini gue nginep sini ya." Ijinnya tiba-tiba yang membuatku menoleh kepadanya. "Ini bukan hotel Jendra, pulang aja ke apartemen lo." "Please, gue janji bakalan behave, gue juga lagi capek besok pagi-pagi harus cabut. Nanggung kalau harus ke apartemen.” Aku menatap ke dalam matanya, sorotnya terlihat sendu dan ada beban yang sedang dipikirannya, membuatku tak tega saja. Aku berdecak, "ck oke, tapi awas ya jangan macem-macem." Jendra langsung menyunggingkan senyumnya setelah aku mengijinkannya. Lagi-lagi Jendra dengan segala ke
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe