"Assalamualaikum," kuketok pintu rumah ibu mertuaku."Waalaikumsalam," terdengar ibu mertuaku berjalan menuju ruang tamu dan membukakan pintu untukku."Eh nduk, ayo masuk nak. Ibu lagi nyuci sebentar ya," dengan kepala terangkat dan dada mengembang aku segera masuk, sementara ibu langsung balik badan ingin ke dapur meneruskan cuciannya."Bu, sebentar Farhana boleh ngobrol dulu sama Ibu?" Ku gigit bibirku sambil jemariku sesekali beradu karena gugup.Ibu menghentikan langkahnya kemudian memandangku. Kami berdua akhirnya terduduk di ruang tamu."Bu, boleh Fa bicara tentang mas Aksa?" Ibu mengangguk."Emang kenapa nduk sama Aksa?" "Bu, Fa bingung kenapa ya mas Aksa setiap hari cuma jatahin Fa uang tigapuluh ribu, katanya uang itu harus cukup untuk sehari- sehari dan juga untuk nabung biaya persalinanku," Aku agak terbata menceritakan hal ini pada Ibu mertuaku.Ibu mengernyitkan dahi heran, ibu menghembuskan nafas seperti berat ingin mengeluarkan suaranya."Emang kurang ya nduk? Hemat- h
" Ibuuu ...." Netraku terbuka setelah tak sadarkan diri. Tangisku pecah tak bisa dibendung lagi. Kejadian demi kejadian teringat, diri semakin terisak."Fa, sudah bangun ya, Nduk?" ucap ibu kaget.Entah berapa jam aku terbaring di ruangan ini, ibu nampak setia menemaniku."Bu..., bagaimana bayiku ini, Bu? Semalem darahnya banyak banget," lirihku."Ndak apa- apa ko Nduk. Bayinya masih sehat kata dokter, kamu cuma harus bedrest aja," ucap ibu.Kemudian pintu terbuka, sosok Mas Aksa seketika masuk ke ruanganku."Aksa ambil cuti ya? Ya wes Ibu pulang dulu aja ya biar Aksa yang nemenin kamu Nduk," Ibu seketika merapikan barang- barang yang akan dibawa pulang.Mas Aksa duduk disampingku tetapi wajahnya masih masam seperti kemarin- kemarin."Semalem kamu pulang jam berapa Mas?" Aku penasaran."Ya pas kamu jatuh itu dek. Dek kamu gimana sih janganlah apa- apa cerita ke Ibu. Aku kan jadi dimarahin sama Ibu gara- gara uang sepuluh ribu," Mas Aksa mencebik kesal."Ya Tuhan Mas, istrimu ini habis
"Dokteeer....""Susteeer....""Arghhhh...,mana anak saya?" pembuluh darah di leherku berdenyut.Kupandangi perutku masih membesar, Tuhan terimakasih bayi ini masih diberi kesempatan lagi."Ada apa bu?" seorang suster datang dengan tergopoh- gopoh."Anak saya sus, masih sehat kan dia?" Tanyaku penasaran."Maaf bu, nanti biar dokter yang menjelaskan. Sebentar lagi dia datang, tunggu ya bu," suster itu memperbaiki letak selang infusku lalu pergi meninggalkanku sendiri.Beberapa menit kemudian dokter datang ke ruanganku."Bu mohon maaf sepertinya kemarin ibu pendarahan dan bayi yang ibu kandung mengalami keguguran, namun janinnya belum keluar semua jadi kami harus melakukan tindakan kuret. Suaminya kemana ya bu? Biar nanti Bapak menandatangi surat persetujuannya." dokter menjelaskan dengan seksama."Jadiii ..., dia sudah nggak ada kah dok hikss." Aku terisak sambil memeluk perutku."Iya bu, sabar ya. Semoga Allah segera mengganti kesedihan ibu dengan kebahagiaan," dokter itu kemudian mela
Aku memutuskan untuk tak jadi pergi ke rumah mertuaku, percuma saja pasti aku yang akan dimarahi oleh Ibu.Ting...Gawaiku berbunyi, sebuah pesan whatsup masuk.[Assalamualaikum, Dek ini Mas Pras.]Mas Pras? Mau apalagi suami kakak iparku mengirimi aku pesan. Paling-paling mau berkotbah karena istrinya barusan marah dan protes-protes dihadapanku.Akhirnya kubalas juga pesannya walaupun malas rasanya.[Waalaikumsalam.]Mas Pras mulai mengetik balasannya kembali[Dek, barusan Mbak Retno ke rumahmu ya? Maaf ya dek sama sikap dia ke kamu. Barusan dia curhat panjang lebar sama aku. Ko malah aku yang pusing banget dengernya.][Udah lama sebenernya aku mau ngobrol-ngobrol sama kamu. Akutuh kasian gitu loh dek sama kamu, aku ngerti berada dalam lingkungan keluarga ini seperti apa rasanya.]Waduh, ini nggak salah apa ya seorang Mas Pras merasakan seperti apa yang aku rasakan juga, tuh bener kan bukan cuma aku yang gila terjebak didalam keluarga ini. Aku bales dulu ah ...[Iya, Mas gimana ya ak
Aku memutuskan untuk bersenang-senang hari ini, yang terpenting adalah perawatan wajahku yang sudah mulai berkerut disana sini karena memikirkan rumah tanggaku. Ting ...Sebuah pesan masuk dari Mas Aksa[Dek, maafin Mas ya. Barusan Mas di swab ternyata Mas positif, Dek."Astagfirullah." Ucapku kaget."Eitt ... napa cyinn?" terapis yang sedang membersihkan wajahku ikutan kaget."Suami eke kena covid bu, duh facialnya pake cepet ya bu. Eke mau balik nih." Aku meminta proses facialku dipercepat karena aku akan menemui ibu mertuaku.Berulang kali ku telepon Mas Aksa, berkali-kali pula teleponnya dia reject. Ah, mungkin Mas Aksa sedang diobservasi oleh tenaga medis. Tapi sungguh aku mengkhawatirkannya, walau apapun yang telah dia lakukan kepadaku."Assalamualaikum ... buuu ... buu ...". Aku mengetuk-ngetuk rumah Ibu Mertuaku."Waalaikumsalam". Ibu keluar dari rumah. Seketika aku memeluk Ibu mertuaku sambil menangis. "Ealah, Nduk kenapa toh, le?" Ibu menepuk-nepuk pundakku."Ibu nggak tau
"Buuu ... buuu ... coba ini lihat bu!" Mba Retno berlari tergesa mendekati Ibu. Gawainya diperlihatkan ke arah Ibu dan Bapak yang belum menggunakan kacamatanya."Opo sih ... opo? Nggak keliatan Ret!" Bapak segera mengambil kacamata milik Ibu dan miliknya."Ya, Tuhan Aksa ini, Ret? Kawin lagi dia ... ini anak beneran kena covid atau alasan aja buat kawin lagi? Gambar dari siapa itu, Ret?" Bapak kaget melihat foto Mas Aksa yang ternyata kawin lagi."Dari Mas Pras, Pak. Liat aja tanggal di fotonya. Itu kan kemarin." Mba Retno menimpali."Aksa itu keterlaluan banget ya. Kurang ajar, biar Bapak yang telepon dia." wajah Bapak memerah, kemudian dia buru-buru menelpon Mas Aksa.Kudengar Bapak marah-marah pada Mas Aksa sedangkan Ibu masih menenangkanku. Aku tak dapat membendung air mataku, mengapa nasibku harus seperti ini. Apa salahku selama ini, Tuhan?"Nduk, maafin Aca ya, Nduk. Ibu tau rasanya sakit sekali dihianati oleh pasangan kita, Nduk. Ibu mohon orangtuamu jangan sampai tau ya, Nduk.
"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami."Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya."Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku."Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku."Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!"
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
Setelah pembicaraan itu, aku segera pamit pulang ke rumahku. Sekarang aku lebih siap menghadapi cucian segunung, sampah sekeranjang ataupun lantai yang lengket karena tidak disapu dan di pel berhari-hari. Oke aku sudah siap! Dengan semangat empat lima aku membuka kunci pintu rumah. Taraaa….Ternyata rumahnya masih rapih kawan-kawan, apakah Mas Aksa sedang kerasukan jin baik? Aku tak percaya, ku putari sekali lagi dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu, kamar mandi, gudang dan juga kamar tingkat diatas. Semua rapih sama seperti sebelum kami berangkat ke Jogja. Jadi yang kudapat dari hasil memutari rumahku adalah, Mas Aksa belum pulang ke rumah semenjak dia balik dari Jogja sendiri. Kemana dia pergi coba? Ibu mertuaku saja bilangnya dia tak mampir-mampir ke rumahnya.Apakah pemikiranmu sama seperti pikiranku sekarang kawan? Pasti sama kan? Instingku mengatakan jika Mas Aksa menginap dirumah sundal itu. Pasti sudah pasti tak akan bisa lagi Mas Aksa mengelak atas semua ini, ke
Aku menghabiskan sisa waktu liburan bersama keluarga Tante Mela tanpa berkabar dengan suamiku, memang benar pada akhirnya kita tidak saling peduli saja jadi membuat hidupku tak banyak fikiran seperti kemarin-kemarin. Aku harus mulai meregangkan otakku, membuang fikiran negatifku dan mungkin sekalian harus juga mencari pelarian agar pikiranku tak melulu soal Aksara Diningrat.Aku diantarkan oleh Tante Mela langsung kerumah mertuaku karena katanya dia ingin memberikan oleh-oleh untuk mertuaku, untung saja Tante Mela tak minta langsung ke rumah karena tau sendiri rumah yang aku tinggalkan hanya kepada Mas Aksa pasti sekarang bentuknya melebihi seperti kapal pecah. Keburukan Mas Aksa kali ini terselamatkan lagi.“Ini Tante Mela, nggak nginep dulu aja sehari disini? Biar nanti Ibu ajakin ke restoran di baturaden yang baru itu loh.” Ibu mertuaku memang selalu royal pada saudara-saudaraku yang datang.“Waduh, makasih Ibu. Kapan-kapan saja ya karena ini saja liburannya sudah terlalu lama. Ini
Kurebahkan badanku diatas kasur empuk yang tak kutemukan di rumah, aku mulai berniat untuk mengirimkan gambar yang barusan aku terima dari Mas Pras kepada suamiku tapi bulir bening yang semenjak tadi kutahan akhirnya turun juga dari mataku. Kuratapi lagi betapa hidupku hancur karena mengenal seorang Aksara Diningrat, andai Ibu masih ada mungkin aku sudah memeluknya hari ini dan akan diusapkannya kepalaku dengan tangannya yang lembut. Ibu aku rindu masa kecilku, masa dimana hanya PR matematika yang membuatku pusing. [Mas ini kamu ya? Senang ya karokean sama mantan istri atau jangan-jangan masih nikah ya kalian? Jangan sampai aku nekad kirim gambar ini ke Bapak ya!] Aku segera kirim pesan itu kepada Mas Aksa, sudah seharusnya orang seperti itu kuberi ancaman dari dulu. Kita lihat apalagi alasan dia kali ini? [Apaan sih, Dek. Itu cuma kebetulan ketemu dan kami cuma nostalgia karokean aja, lagian kita rame-rame kok perginya nggak berduaan aja. Udah nggak usah macem-macem kirim gambar in
“Ada apa nelpon, Mas?” Aku penasaran.“Kamu lagi dimana, Fa? Di rumah apa dimana?” Mas Pras memberondongku dengan pertanyaan.“Lagi di Jogja liburan, emangnya kenapa? Jangan bilang kamu mau nyamperin, aku udah balikan loh sama Mas Aksa, kamu tau kan?” Dengan tegas aku menembaknya dengan kalimat itu.“Tau lah, aku kan selalu tau kabar update tentang kamu, kukira kamu nggak bakalan mau lagi sama Si Aksa, udah disakitin kaya apa tetep aja bertahan. Sekarang kamu emang tahu Aksa lagi dimana?” Mas Pras membuatku membuatku penasaran.“Di rumah lalu kerja lalu pulang lalu paling nginep di rumah Ibu.”“Kamu nggak penasaran, coba sebentar aku kirim fotonya ke whatsup kamu ya, Fa.” Mas Pras sukses membuatku berhenti dan duduk di taman pinggir jalan tanpa menghiraukan Tante Mela dan keluarganya yang sudah menghilang entah kemana.Sebuah pesan gambar masuk ke gawaiku, aku segera membukanya karena penasaran. Kulihat wajah seorang Aksa suamiku yang sedang asyik karokean sambil memeluk seorang wanit
“Sama siapa tadi, Fa?” Tante Mela penasaran dengan mobil yang mengantarku barusan. “Oh, tadi sepupunya Mas Aksa yang polisi. Dia lagi pulang kuliah di luar negri karena anaknya baru lahir kemarin.” “Oh, gitu. Ya udah kita masuk yu. Nanti kamu sekamer sama anak-anak nggak apa-apa ya? Pas kita pesen dua kamer satu single bed satu double bed tapi yang double bed kasurnya meuni gede-gede pisan.” Tante Mela menempelkan kartu kunci hotel ke tombol lift agar lift berjalan sesuai lantai tempat kamar kami menginap. “Iya, nggak apa-apa yang penting jadi liburannya nih, hehe.” Aku merasa senang seperti anak kecil yang baru saja diberikan loilipop. “Aksa gimana? Mobilnya sudah diambil kah?” “Udah, Tan. Nah itu tadi yang bantuin kami ambil mobil, Si Reval itu polisi tapi lagi sekolah lagi di Singapura. Pas banget coba kami ketemu dia lagi tugas ke Jogja gitu, dasar ya rejeki ada aja.” Kami berjalan keluar dari lift. “Wah iya rejeki banget ya. Ini Aksa nggak apa-apa ditinggal sendirian pulangn
Hanya setengah jam mobil sudah bisa kembali lagi kepada kami, sakti juga Reval yang belum mulai masuk kerja lagi tapi bisa membantu kami yang kesusahan. Uang di tangan pun tak banyak raib karena bantuannya, alhamdulillah aku bersyukur ternyata memang Allah tak membolehkan kami memakai uang hasil penjualan handphone itu.“Tuh kan, Mas. Emang kita nggak boleh make uang itu kali. Untung ada si Reval kalo nggak coba sih kita kaya apa?”“Nggak lah, Dek. Kan uangnya bisa dipake buat benerin mobil. Nggak liat apa kamu mobil gompel dimana-mana? Berabe urusannya kalo nggak dibenerin.” Mas Aksa melihat mobil bekas kecelakaan penuh dengan baret-baret.“Dosa loh, Mas. Ya udah aku mau ke tempat Tante Mela aja kalau gitu. Daripada pusing kepalaku liat kelakuan kamu. Sini aku minta uang yang buat liburan kemarin!” aku mengulurkan tanganku meminta uang hasil menggadaikan handphone ijonkku kemarin daripada nanti uangnya ujung-ujungnya nggak jelas kemana.“Tau apa kamu tentang dosa? Sok suci banget, u
Mas Aksa mengeluarkan sebuah benda pipih dari kantong celananya, benda itu adalah handphone layar sentuh yang terbilang masih cukup bagus.“Punya siapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi nemu didalem, ssst…. Kamu diem-diem aja ya. Lumayan loh ini buat ngambil mobil nanti, yuk sekarang kita jual dulu handphonenya ke konter yang deket-deket sini aja.” Mas Aksa tersenyum sambil membolak balik benda pipih itu.“Astagfirullah, Mas. Itu kan punya orang, mending kita kasih ke customer service di depan biar orang yang nyarinya nggak kebingungan.”“Loh, ini namanya rejeki nomplok. Suruh siapa orangnya ninggalin barang berharga di toilet? Berarti kan dia udah nggak butuh kali.” Mas Aksa kemudian pergi melengos dari hadapanku.“Mas, tunggu! Jangan gitu siapa tau yang punyanya lagi buru-buru terus hapenya ketinggalan, kok kamu tega sih?” Aku buru-buru mengejarnya bermaksud ingin mengambil hanphone itu kemudian aku berikan pada customer service di rumah sakit ini.Tapi langkah Mas Aksa seperti secepa
“Aksaaaa….” Tante Mela menjerit seketika mobil terbalik ke arah kanan. Aku yang berada di kursi bagian kanan seketika merasa nyeri di bagian lengan kiriku tapi aku masih bisa berdiri dan keluar menyelamatkan diri, aku kemudian membantu Tante Mela dan anak-anaknya. Kulihat Mas Aksa sepertinya tak sadarkan diri, kami berusaha membuka pintu mobil Mas Aksa dan berusaha juga mengeluarkan dia dari dalam mobil takut-takut jika mobilnya konslet dan meledak. Karena masih di jalan tol, bantuan segera mendatangi kami, ketika ambulance tiba Mas Aksa segera diangkat ke dalam mobil dan juga kami yang ikut mobil ambulance dan mobil patroli tol. Sebagai orang Indonesia, aku merasa masih beruntung karena kecelakaan ini kecelakaan tunggal dan juga kecepatan Mas Aksa tidak terlalu tinggi sehingga kami hanya mengalami luka ringan. Sekarang yang membuat kami khawatir adalah Mas Aksa yang masih tak sadarkan diri, aku takut lukanya ada di bagian dalam tapi semoga saja pinsannya ini hanya karena kaget. Akh
Mbak Retno segera menelpon ambulance karena Bapak tak juga sadar ketika diberikan pertolongan pertama berupa oksigen oleh kami. Setelah ambulance datang kami segera mengantar Bapak ke rumah sakit. Di rumah sakit Bapak segera ditangani dengan baik oleh para petugas sehingga Bapak bisa lekas siuman dan dipindahkan ke ruang rawat. Sebagai anak lelaki, aku dan kakakku bergantian menjaga Bapak di malam hari. Hari pertama Bapak dirawat, Bapak ingin aku yang menjaganya. “Ca, tolong ambilkan Bapak minum.” Bapak terduduk dari posisi berbaringnya, dia agak sedikit kerepotan karena lengannya dipasang infus. Aku segera mengambilkan gelas yang berisi air putih yang berada di sampingnya. “Ca, kamu bener kalau Nora itu lagi hamil anakmu?” Bapak sepertinya masih penasaran dengan pernyataanku yang membuat pinsan itu. “Nggak, Pak. Aca becanda kok, Nora nggak hamil cuma kami itu kan udah deket banget jadi Ibunya yang kemarin sakit-sakitan minta kami segera menikah biar nggak zina katanya.” Aku sebena