"Buuu ... buuu ... coba ini lihat bu!" Mba Retno berlari tergesa mendekati Ibu. Gawainya diperlihatkan ke arah Ibu dan Bapak yang belum menggunakan kacamatanya.
"Opo sih ... opo? Nggak keliatan Ret!" Bapak segera mengambil kacamata milik Ibu dan miliknya.
"Ya, Tuhan Aksa ini, Ret? Kawin lagi dia ... ini anak beneran kena covid atau alasan aja buat kawin lagi? Gambar dari siapa itu, Ret?" Bapak kaget melihat foto Mas Aksa yang ternyata kawin lagi.
"Dari Mas Pras, Pak. Liat aja tanggal di fotonya. Itu kan kemarin." Mba Retno menimpali.
"Aksa itu keterlaluan banget ya. Kurang ajar, biar Bapak yang telepon dia." wajah Bapak memerah, kemudian dia buru-buru menelpon Mas Aksa.
Kudengar Bapak marah-marah pada Mas Aksa sedangkan Ibu masih menenangkanku. Aku tak dapat membendung air mataku, mengapa nasibku harus seperti ini. Apa salahku selama ini, Tuhan?
"Nduk, maafin Aca ya, Nduk. Ibu tau rasanya sakit sekali dihianati oleh pasangan kita, Nduk. Ibu mohon orangtuamu jangan sampai tau ya, Nduk." Ibu mertuaku mengelus-elus kepalaku.
"Nggih, bu. Fa juga nggak mau kalo sampe Mama tau. Pasti Mama langsung drop." Aku masih menahan kekesalanku pada Mas Aksa.
"Nduk, cobalah kamu menenangkan diri. Pergilah kemanapun, biar masalah ini kami yang tangani, Nduk. Biar Ibu kasih bekel kamu ya, Nduk. Tiga hari atau seminggu. Nanti kalo suasana sudah kondusif kamu bisa pulang lagi kesini." Ibu tiba-tiba memberikan solusi yang cemerlang untukku.
Untung saja masih ada Ibu mertuaku yang walaupun sedikit tapi masih memberikan perhatian pada menantunya. Malam itu aku segera packing baju-bajuku untuk dibawa lusa nanti. Belum terfikirkan aku akan kemana, tapi aku benar-benar jenuh dengan sandiwara dunia ini.
~~~~~~
Empat hari sudah berlalu tetapi bukannya kabar baik yang kuterima, malah kabar buruk yang mengharuskan aku pulang ke rumah orangtuaku.
Air mata terus mengalir semenjak dalam perjalanan menuju rumahku tadi. Kulihat bendera kuning terpampang nyata di rumahku. Mama, iya Mama pergi meninggalkan aku untuk selamanya.
Kulihat dia dibungkus kain putih dengan dilapis kain jarik, kupandangi wajahnya begitu putih dan pucat. Maafkan aku Mama, belum sempat aku membahagiakanmu.
Kakak-kakakku nampak berkumpul diantara saudara-saudara kami. Kulihat juga Ibu Mertua, Mba Retno dan Mas Aksa ikut berkumpul juga. Ish ... aku malas sekali melihat muka Mas Aksa. Rasanya ingin ku gugat cerai saja agar aku tak perlu bertemu dia lagi.
Mama kemudian dibawa ke masjid terdekat untuk disolati selanjutnya dibawa ke area pemakaman dekat rumah kami.
Ibu mertua, Mbak Retno dan Mas Aksa kemudian menghampiriku ketika kami semua sudah dirumah.
"Dek, kemana aja kamu seminggu ini?" Mas Aksa membuka percakapan.
"Ngapain masih ngurusin aku, Mas. Urus aja istri baru kamu. Setelah pemakaman Mama beres semua, aku mau ajuin cerai sama kamu, Mas." Aku menjawab ketus.
"Alaaah ... sok suci kamu, Dek." Suara Mas Aksa agak meninggi membuat saudara-saudaraku melirik kearah kami. Untung saja tamu-tamu yang lain sudah mulai pulang.
Akhirnya aku menarik Mas Aksa ke kamar agar kami tak jadi pusat perhatian.
"Maksud kamu gimana ya Mas? Aku sok suci?" Kekesalanku sudah sampai ubun-ubun.
"Kamu seminggu pergi itu kan sama Si Pras? Kemana aja kamu? Lebih hina kamu, suami kakak iparmu sendiri kamu embat," pupil mas Aksa semakin melebar seakan-seakan ingin keluar dari kelopaknya.
"Tunggu ... tunggu. Maksud kamu gimana ya?Aku pergi sendiri dan ingin menenangkan diri biar aku nggak gila karena kelakuanmu." Aku semakin tak bisa mengontrol emosiku.
"Uang darimana kamu bisa pergi-pergian kaya gitu kalo bukan dari Si Pras? Udah ngaku aja, Dek!" Mas Aksa masih kekeuh sama pendapatnya.
Belum juga aku ingin menjawab, Ibu dan Mba Retno masuk ke kamar. Seketika aku seperti mendapat pertolongan atas kedatangan Ibu Mertuaku.
"Bu, tolong jelasin ke Mas Aksa kalo Ibu yang kasih aku bekel buat pergi dari rumah dan menenangkan diri kan, Bu?" Kupandangi Ibu mertuaku penuh harap. Sementara dia masih diam seperti bimbang mencari kata- kata.
Duh, gimana ini. Drama apalagi dalam hidup aku?
"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami."Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya."Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku."Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku."Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!"
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
"Mas ..., apa- apaan ini?" Retno membanting gawainya di kasur ke arahku. Pupilnya membesar mengarah kepadaku.Aku masih tak bergerak, memandangi wajahnya yang memerah dengan mata yang membesar saja sudah membuatku ciut untuk berpindah tempat."Buka HP ku, Mas!" Retno menunjuk gawainya sambil terus memandangiku.Aku mulai mengambil gawainya, sambil mataku fokus kebawah. Aku benci suasana seperti ini, dimana Retno selalu menjadi mayoritas setiap kali ada masalah."Kenapa sih Ma? Ada masalah apa?" Aku selalu tak faham dengan kelakuannya yang sok menguasai. Coba saja sebentar lagi suasana akan semakin rumit."Buka email di HP ku, Mas!" Retno masih menyuruhku dengan kasar.Kubuka gawainya, aku penasaran memangnya ada apa di dalam email istriku. Kurasa pasti tagihan kartu kreditnya yang membengkak atau ah ..., apalah semua tentang istriku memang tak ada yang menarik.Aku mulai mencari aplikasi email dalam gawai Retno, kubuka aplikasinya. Di dalamnya terdapat beberapa email dia dan disitu ad
Aku tak jadi menelpon Mas Pras karena moodku keburu hilang. Aku juga menjaga agar dia tak terlalu berharap kepadaku. Langsung saja aku balas pesan whatsupnya.[Aku belum mengajukan proses cerainya, Mas. Mungkin aku menunggu Mas Aksa yang mengajukan karena uang tabunganku tak cukup untuk mengurusnya]Aku sebenarnya malas membalas pesan Mas Pras karena takutnya masalah semakin runyam.[Kalau begitu biar Mas yang kasih modal biar prosesnya lebih mudah, Dek] Benar saja, diotak Mas Pras sepertinya sudah banyak rencana tentang masa depan kami. Namun aku tak ada niat untuk hidup bersamanya apalagi dia bekas suami kakak iparku sendiri.[Nggak usah, Mas. Sekarang aku cuma butuh kamu meluruskan masalah ini kepada Mas Aksa, Ibu dan juga mba Retno. Aku nggak mau lagi ada dalam pusaran permasalahan rumah tanggamu, Mas!]Kemudian jeda cukup lama Mas Pras membalas pesanku, mungkin dia mulai berfikir untuk mengasihaniku dengan menjelaskan semua yan terjadi antara aku dan dia sebenarnya tak ada apapu
Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo
Sore harinya, Mas Aksa pulang dengan membawa banyak makanan. Tentu saja Tante Mela dan anak-anaknya nampak senang melihat banyak jajanan yang dibawakan Mas Aksa.“Udah pada mandi belum nih anak-anak? Jam limaan kita pergi yu puter-puter kota Purwokerto, ntar Om mandi dulu ya.” Mas Aksa menyapa anak-anak dengan ramah.“Iya Om mau-mau.” Anak-anak makin sumringah setelah Mas Aksa mengajak mereka untuk jalan- jalan.“Dek..dek bentar ke kamer dulu sini,” Mas Aksa tiba-tiba menarik lenganku dari ruang tivi. Mas Aksa menarikku masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Apa-apaan ini Mas Aksa masa sore-sore begini dia mau minta jatah, fikirku.“Dek, dek HP kamu yang kemarin itu mana? Mas mau pinjem dulu sebentar, nih Mas gantiin dulu sama hape ini!” Mas Aksa mengeluarkan sebuah handphone keluaran Tiongkok dari kantongnya.“Loh, Mas. Masa hape Ijonk ku mau diganti henpon Cina sih. Aku nggak mau ah.” Aku merajuk kepada Mas Aksa.“Ya makanya, Mas Cuma pinjem sebentar aja. Nanti k
Sesosok Wanita nampak menari-nari dihadapan Aksa, Wanita itu mengenakan dress berwarna hitam, bersepatu merah. Sungguh elegan, jauh rasanya jika dibandingkan dengan Farhana, istrinya. Menurut orang-orang sekitar, farhana istrinya adalah sosok Wanita yang sungguh cantik, bola matanya yang besar, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang sedikit tebal menjadi sebuah unggulan yang selalu dgadang-gadang oleh keluarga besarnya. Apakah yang kurang dari seorang Farhana sehingga aku masih selalu haus untuk mencari Wanita lain selain dia?Aku baru sadar hari ini, Farhana adalah sosok yang begitu polos. Dia tidak pernah nampak elegan seperti wanita yang ada di hadapanku. Nora, dia dokter muda yang ditugaskan dikantorku. Malam ini dia sungguh terlihat berbeda, liar dan enerjik. Baru sebulan dia ditugaskan dikantorku, semenjak dia datang banyak pria-pria lajang terpesona pada kecantikannya yang khas, para pria menyebutnya elegan. Tak ketinggalan pun kami para bapak-bapak muda yang ikut terpesona
“Ya Allah, Ca. Kamu ini loh, ambil perhiasan kan bisa nanti-nanti lagi, kamu nggak ada khawatirnya sama sekali sama istrimu apa?” Ibu kembali mengeluarkan urat lehernya mungkin saking kesalnya dengan kelakuanku“Sedelat, Bu. Ini kan biar Farhana senang perhiasannya sudah balik lagi.” Aku berusaha menenangkan Ibu.“Ini pake uang siapa, Ca? Nebus perhiasan istrimu?” Mba Retno mendekatiku ketika didepan kasir pegadaian.“Uang Ibu, kenapa Mba?” Perasaanku sudah tak enak melihat wajah Mbak Retno yang terlihat jutek.“Kamu tuh tega banget sih Aksa, aku kan lagi susah. Suami aku aja kerjanya masih serabutan nggak kaya kamu yang udah BUMN, nggak bosen-bosen minta uang terus ke Ibu? Emang istri kamu dikasih makan emas ya, nggak bisa apa ngirit sedikit?” Mbak Retno menceramahiku sambil berbisik-bisik.“Sst…uwis toh, Mbak. Isin kedengeran orang pegadaian.” Aku tak tahan dengan omelan Mbak Retno, dia pikir hanya dia saja apa di dunia ini yang butuh uang.Mbak Retno kemudian pergi dari hadapanku s
Setelah pembicaraan itu, aku segera pamit pulang ke rumahku. Sekarang aku lebih siap menghadapi cucian segunung, sampah sekeranjang ataupun lantai yang lengket karena tidak disapu dan di pel berhari-hari. Oke aku sudah siap! Dengan semangat empat lima aku membuka kunci pintu rumah. Taraaa….Ternyata rumahnya masih rapih kawan-kawan, apakah Mas Aksa sedang kerasukan jin baik? Aku tak percaya, ku putari sekali lagi dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu, kamar mandi, gudang dan juga kamar tingkat diatas. Semua rapih sama seperti sebelum kami berangkat ke Jogja. Jadi yang kudapat dari hasil memutari rumahku adalah, Mas Aksa belum pulang ke rumah semenjak dia balik dari Jogja sendiri. Kemana dia pergi coba? Ibu mertuaku saja bilangnya dia tak mampir-mampir ke rumahnya.Apakah pemikiranmu sama seperti pikiranku sekarang kawan? Pasti sama kan? Instingku mengatakan jika Mas Aksa menginap dirumah sundal itu. Pasti sudah pasti tak akan bisa lagi Mas Aksa mengelak atas semua ini, ke
Aku menghabiskan sisa waktu liburan bersama keluarga Tante Mela tanpa berkabar dengan suamiku, memang benar pada akhirnya kita tidak saling peduli saja jadi membuat hidupku tak banyak fikiran seperti kemarin-kemarin. Aku harus mulai meregangkan otakku, membuang fikiran negatifku dan mungkin sekalian harus juga mencari pelarian agar pikiranku tak melulu soal Aksara Diningrat.Aku diantarkan oleh Tante Mela langsung kerumah mertuaku karena katanya dia ingin memberikan oleh-oleh untuk mertuaku, untung saja Tante Mela tak minta langsung ke rumah karena tau sendiri rumah yang aku tinggalkan hanya kepada Mas Aksa pasti sekarang bentuknya melebihi seperti kapal pecah. Keburukan Mas Aksa kali ini terselamatkan lagi.“Ini Tante Mela, nggak nginep dulu aja sehari disini? Biar nanti Ibu ajakin ke restoran di baturaden yang baru itu loh.” Ibu mertuaku memang selalu royal pada saudara-saudaraku yang datang.“Waduh, makasih Ibu. Kapan-kapan saja ya karena ini saja liburannya sudah terlalu lama. Ini
Kurebahkan badanku diatas kasur empuk yang tak kutemukan di rumah, aku mulai berniat untuk mengirimkan gambar yang barusan aku terima dari Mas Pras kepada suamiku tapi bulir bening yang semenjak tadi kutahan akhirnya turun juga dari mataku. Kuratapi lagi betapa hidupku hancur karena mengenal seorang Aksara Diningrat, andai Ibu masih ada mungkin aku sudah memeluknya hari ini dan akan diusapkannya kepalaku dengan tangannya yang lembut. Ibu aku rindu masa kecilku, masa dimana hanya PR matematika yang membuatku pusing. [Mas ini kamu ya? Senang ya karokean sama mantan istri atau jangan-jangan masih nikah ya kalian? Jangan sampai aku nekad kirim gambar ini ke Bapak ya!] Aku segera kirim pesan itu kepada Mas Aksa, sudah seharusnya orang seperti itu kuberi ancaman dari dulu. Kita lihat apalagi alasan dia kali ini? [Apaan sih, Dek. Itu cuma kebetulan ketemu dan kami cuma nostalgia karokean aja, lagian kita rame-rame kok perginya nggak berduaan aja. Udah nggak usah macem-macem kirim gambar in
“Ada apa nelpon, Mas?” Aku penasaran.“Kamu lagi dimana, Fa? Di rumah apa dimana?” Mas Pras memberondongku dengan pertanyaan.“Lagi di Jogja liburan, emangnya kenapa? Jangan bilang kamu mau nyamperin, aku udah balikan loh sama Mas Aksa, kamu tau kan?” Dengan tegas aku menembaknya dengan kalimat itu.“Tau lah, aku kan selalu tau kabar update tentang kamu, kukira kamu nggak bakalan mau lagi sama Si Aksa, udah disakitin kaya apa tetep aja bertahan. Sekarang kamu emang tahu Aksa lagi dimana?” Mas Pras membuatku membuatku penasaran.“Di rumah lalu kerja lalu pulang lalu paling nginep di rumah Ibu.”“Kamu nggak penasaran, coba sebentar aku kirim fotonya ke whatsup kamu ya, Fa.” Mas Pras sukses membuatku berhenti dan duduk di taman pinggir jalan tanpa menghiraukan Tante Mela dan keluarganya yang sudah menghilang entah kemana.Sebuah pesan gambar masuk ke gawaiku, aku segera membukanya karena penasaran. Kulihat wajah seorang Aksa suamiku yang sedang asyik karokean sambil memeluk seorang wanit
“Sama siapa tadi, Fa?” Tante Mela penasaran dengan mobil yang mengantarku barusan. “Oh, tadi sepupunya Mas Aksa yang polisi. Dia lagi pulang kuliah di luar negri karena anaknya baru lahir kemarin.” “Oh, gitu. Ya udah kita masuk yu. Nanti kamu sekamer sama anak-anak nggak apa-apa ya? Pas kita pesen dua kamer satu single bed satu double bed tapi yang double bed kasurnya meuni gede-gede pisan.” Tante Mela menempelkan kartu kunci hotel ke tombol lift agar lift berjalan sesuai lantai tempat kamar kami menginap. “Iya, nggak apa-apa yang penting jadi liburannya nih, hehe.” Aku merasa senang seperti anak kecil yang baru saja diberikan loilipop. “Aksa gimana? Mobilnya sudah diambil kah?” “Udah, Tan. Nah itu tadi yang bantuin kami ambil mobil, Si Reval itu polisi tapi lagi sekolah lagi di Singapura. Pas banget coba kami ketemu dia lagi tugas ke Jogja gitu, dasar ya rejeki ada aja.” Kami berjalan keluar dari lift. “Wah iya rejeki banget ya. Ini Aksa nggak apa-apa ditinggal sendirian pulangn
Hanya setengah jam mobil sudah bisa kembali lagi kepada kami, sakti juga Reval yang belum mulai masuk kerja lagi tapi bisa membantu kami yang kesusahan. Uang di tangan pun tak banyak raib karena bantuannya, alhamdulillah aku bersyukur ternyata memang Allah tak membolehkan kami memakai uang hasil penjualan handphone itu.“Tuh kan, Mas. Emang kita nggak boleh make uang itu kali. Untung ada si Reval kalo nggak coba sih kita kaya apa?”“Nggak lah, Dek. Kan uangnya bisa dipake buat benerin mobil. Nggak liat apa kamu mobil gompel dimana-mana? Berabe urusannya kalo nggak dibenerin.” Mas Aksa melihat mobil bekas kecelakaan penuh dengan baret-baret.“Dosa loh, Mas. Ya udah aku mau ke tempat Tante Mela aja kalau gitu. Daripada pusing kepalaku liat kelakuan kamu. Sini aku minta uang yang buat liburan kemarin!” aku mengulurkan tanganku meminta uang hasil menggadaikan handphone ijonkku kemarin daripada nanti uangnya ujung-ujungnya nggak jelas kemana.“Tau apa kamu tentang dosa? Sok suci banget, u
Mas Aksa mengeluarkan sebuah benda pipih dari kantong celananya, benda itu adalah handphone layar sentuh yang terbilang masih cukup bagus.“Punya siapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi nemu didalem, ssst…. Kamu diem-diem aja ya. Lumayan loh ini buat ngambil mobil nanti, yuk sekarang kita jual dulu handphonenya ke konter yang deket-deket sini aja.” Mas Aksa tersenyum sambil membolak balik benda pipih itu.“Astagfirullah, Mas. Itu kan punya orang, mending kita kasih ke customer service di depan biar orang yang nyarinya nggak kebingungan.”“Loh, ini namanya rejeki nomplok. Suruh siapa orangnya ninggalin barang berharga di toilet? Berarti kan dia udah nggak butuh kali.” Mas Aksa kemudian pergi melengos dari hadapanku.“Mas, tunggu! Jangan gitu siapa tau yang punyanya lagi buru-buru terus hapenya ketinggalan, kok kamu tega sih?” Aku buru-buru mengejarnya bermaksud ingin mengambil hanphone itu kemudian aku berikan pada customer service di rumah sakit ini.Tapi langkah Mas Aksa seperti secepa
“Aksaaaa….” Tante Mela menjerit seketika mobil terbalik ke arah kanan. Aku yang berada di kursi bagian kanan seketika merasa nyeri di bagian lengan kiriku tapi aku masih bisa berdiri dan keluar menyelamatkan diri, aku kemudian membantu Tante Mela dan anak-anaknya. Kulihat Mas Aksa sepertinya tak sadarkan diri, kami berusaha membuka pintu mobil Mas Aksa dan berusaha juga mengeluarkan dia dari dalam mobil takut-takut jika mobilnya konslet dan meledak. Karena masih di jalan tol, bantuan segera mendatangi kami, ketika ambulance tiba Mas Aksa segera diangkat ke dalam mobil dan juga kami yang ikut mobil ambulance dan mobil patroli tol. Sebagai orang Indonesia, aku merasa masih beruntung karena kecelakaan ini kecelakaan tunggal dan juga kecepatan Mas Aksa tidak terlalu tinggi sehingga kami hanya mengalami luka ringan. Sekarang yang membuat kami khawatir adalah Mas Aksa yang masih tak sadarkan diri, aku takut lukanya ada di bagian dalam tapi semoga saja pinsannya ini hanya karena kaget. Akh
Mbak Retno segera menelpon ambulance karena Bapak tak juga sadar ketika diberikan pertolongan pertama berupa oksigen oleh kami. Setelah ambulance datang kami segera mengantar Bapak ke rumah sakit. Di rumah sakit Bapak segera ditangani dengan baik oleh para petugas sehingga Bapak bisa lekas siuman dan dipindahkan ke ruang rawat. Sebagai anak lelaki, aku dan kakakku bergantian menjaga Bapak di malam hari. Hari pertama Bapak dirawat, Bapak ingin aku yang menjaganya. “Ca, tolong ambilkan Bapak minum.” Bapak terduduk dari posisi berbaringnya, dia agak sedikit kerepotan karena lengannya dipasang infus. Aku segera mengambilkan gelas yang berisi air putih yang berada di sampingnya. “Ca, kamu bener kalau Nora itu lagi hamil anakmu?” Bapak sepertinya masih penasaran dengan pernyataanku yang membuat pinsan itu. “Nggak, Pak. Aca becanda kok, Nora nggak hamil cuma kami itu kan udah deket banget jadi Ibunya yang kemarin sakit-sakitan minta kami segera menikah biar nggak zina katanya.” Aku sebena