Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo
Sore harinya, Mas Aksa pulang dengan membawa banyak makanan. Tentu saja Tante Mela dan anak-anaknya nampak senang melihat banyak jajanan yang dibawakan Mas Aksa.“Udah pada mandi belum nih anak-anak? Jam limaan kita pergi yu puter-puter kota Purwokerto, ntar Om mandi dulu ya.” Mas Aksa menyapa anak-anak dengan ramah.“Iya Om mau-mau.” Anak-anak makin sumringah setelah Mas Aksa mengajak mereka untuk jalan- jalan.“Dek..dek bentar ke kamer dulu sini,” Mas Aksa tiba-tiba menarik lenganku dari ruang tivi. Mas Aksa menarikku masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Apa-apaan ini Mas Aksa masa sore-sore begini dia mau minta jatah, fikirku.“Dek, dek HP kamu yang kemarin itu mana? Mas mau pinjem dulu sebentar, nih Mas gantiin dulu sama hape ini!” Mas Aksa mengeluarkan sebuah handphone keluaran Tiongkok dari kantongnya.“Loh, Mas. Masa hape Ijonk ku mau diganti henpon Cina sih. Aku nggak mau ah.” Aku merajuk kepada Mas Aksa.“Ya makanya, Mas Cuma pinjem sebentar aja. Nanti k
Sesosok Wanita nampak menari-nari dihadapan Aksa, Wanita itu mengenakan dress berwarna hitam, bersepatu merah. Sungguh elegan, jauh rasanya jika dibandingkan dengan Farhana, istrinya. Menurut orang-orang sekitar, farhana istrinya adalah sosok Wanita yang sungguh cantik, bola matanya yang besar, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang sedikit tebal menjadi sebuah unggulan yang selalu dgadang-gadang oleh keluarga besarnya. Apakah yang kurang dari seorang Farhana sehingga aku masih selalu haus untuk mencari Wanita lain selain dia?Aku baru sadar hari ini, Farhana adalah sosok yang begitu polos. Dia tidak pernah nampak elegan seperti wanita yang ada di hadapanku. Nora, dia dokter muda yang ditugaskan dikantorku. Malam ini dia sungguh terlihat berbeda, liar dan enerjik. Baru sebulan dia ditugaskan dikantorku, semenjak dia datang banyak pria-pria lajang terpesona pada kecantikannya yang khas, para pria menyebutnya elegan. Tak ketinggalan pun kami para bapak-bapak muda yang ikut terpesona
“Ya Allah, Ca. Kamu ini loh, ambil perhiasan kan bisa nanti-nanti lagi, kamu nggak ada khawatirnya sama sekali sama istrimu apa?” Ibu kembali mengeluarkan urat lehernya mungkin saking kesalnya dengan kelakuanku“Sedelat, Bu. Ini kan biar Farhana senang perhiasannya sudah balik lagi.” Aku berusaha menenangkan Ibu.“Ini pake uang siapa, Ca? Nebus perhiasan istrimu?” Mba Retno mendekatiku ketika didepan kasir pegadaian.“Uang Ibu, kenapa Mba?” Perasaanku sudah tak enak melihat wajah Mbak Retno yang terlihat jutek.“Kamu tuh tega banget sih Aksa, aku kan lagi susah. Suami aku aja kerjanya masih serabutan nggak kaya kamu yang udah BUMN, nggak bosen-bosen minta uang terus ke Ibu? Emang istri kamu dikasih makan emas ya, nggak bisa apa ngirit sedikit?” Mbak Retno menceramahiku sambil berbisik-bisik.“Sst…uwis toh, Mbak. Isin kedengeran orang pegadaian.” Aku tak tahan dengan omelan Mbak Retno, dia pikir hanya dia saja apa di dunia ini yang butuh uang.Mbak Retno kemudian pergi dari hadapanku s
"Apa dek? Ooo... itu. Mas kawinnya aku pinjem dulu dek. Kan yang penting perhiasan dari ibumu toh?" Aku menjawab datar."Gimana sih kamu mas, percuma minta maaf. Lalu gaji bulanan kamu kemana aja sih mas?" Wajah Farhana seperti akan menerkamku."Ahhh...cerewet kamu dek. Udahlah kita nggak usah ngomongin ini lagi. Tambah nesu aku dek." Aku langsung keluar dari kamar dan menggebrak pintu rumah dengan kencang. Lebih baik aku bertemu dengan Nora yang wajahnya selalu terlihat menyegarkan dibanding Farhana.*Aku melajukan mobil katanaku ke sebuah kos-kosan berlantai dua dekat kantor, disanalah Nora tinggal. Rumah orantuanya memang tak begitu jauh, masih disekitaran kota tapi Nora ingin dia lebih mandiri dan memutuskan untuk kos dekat dengan kantor. Sebenarnya keputusan Nora sudah sangat tepat karena aku jadi bisa mengunjunginya kapan saja tanpa harus ada rasa tidak enak kepada Orangtuanya.Aku mengetuk pintu kamar kosannya, terlihat Nora membukakan pintu sambil matanya sembap sepertinya ha
“Nduukkk…tega sekali kamu sama Ibu. Kamu itu satu-satunya anak kebanggaan Ibu, setelah Bapak meninggal tidak ada orang yang menghragai keluarga ini dan semua itu bisa kembali setelah kamu jadi dokter. Ibu berharap kamu tetap membanggakan dan bisa menikah dengan wajar seperti gadis-gadis lain. Apa yang ada dipikiranmu, Nduk?” Bu Wati menangis sejadi-jadinya ketika aku dan Nora mengatakan apa yang sedang terjadi diantara kami dan telah ada sebuah benih cinta kami di dalam perut Nora.“Iya, maaf Bu. Nora khilaf.” Nora tak banyak berkata, hanya bulir bening yang terus keluar dari kedua bola matanya.“Kamu? Lagian kamu sebagai lelaki kenapa tega sekali sih, bukannya menjaga anak saya yang notabene seorang anak yatim, kamu malah menghancurkan hidupnya?” Bu Wati menunjuk-nunjuk kearahku meluapkan kekesalannya.“Nggih, Bu maafkan saya. Saya akan bertanggung jawab menikahi Nora.” Aku bersimpuh di kaki Bu Wati.“Nikahi dia secepatnya tak usah menunggu kandungannya semakin besar!” Tekan Bu Wati
Kami telah sampai di rumah sakit, terlihat petugas UGD telah siap membawa brangkar ke arah mobilku. Petugas kemudian segera mengangkat tubuh Bu Wati ke atas brangkar, Bu Wati segera diberikan pertolongan pertama oleh petugas. Setelah sadar dan diinfus, Bu Wati segera dibawa ke ruang rawat.“Alhamdulillah, Bu. Udah enakan belum?” Nora memijit-mijit tangan Ibunya.“Nora, Ibu mau kamu sama Aksa menikah malam ini juga! Ibu nggak mau nunggu lama, Ibu takut umur Ibu nggak panjang lagi.” Bu Wati menangis lagi.“Bu, ini tuh udah malem banget. Satu minggu lagi saja ya, nanti Mas Aksa usahakan mencari penghulunya dulu.” Nora berusaha membujuk Ibunya.“Nggak, Ibu nggak mau lihat keadaan kamu tanpa suami begini, Ibu takut sebelum kamu menikah Ibu sudah keburu nggak ada.” Bu Wati menangis sesenggukan.“Ibu jangan bilangnya begitu, Ibu bakalan sehat aja kok.” Nora memeluk Ibunya.“Udah…. Udah, Dek. Malam ini biar Mas carikan penghulu yang bisa menikahkan kita besok. Untuk walinya kita pakai wali ha
Nora yang nampak kelabakan belum siap untuk akad segera mengganti baju dengan kebaya putih yang dipinjamnya semalam dari salon. Nora berdandan alakadarnya tapi masih terlihat sungguh mempesona. Kami kemudian segera duduk di hadapan Pak Penghulu dan aku segera mengucapkan ijab kabul. Akhirnya kami syah jadi suami istri, kunyalakan gadgetku, terlihat sederetan riwayat telepon dari Farhana dan keluargaku nampak menghiasi layar, aku tak pedulikan dulu telepon dari istri dan keluargaku yang terpenting aku harus memiliki momen yang tersimpan rapih di galeri handphoneku. Walaupun foto pernikahanku bukan menggunakan kamera bagus dan hanya menggunakan handphone tapi tetap harus memiki kesan tersendiri.Handphoneku berbunyi, aku mendapat pesan whatsup dari sahabatku Joko, dia menanyakan kabarku yang katanya terkena covid. Agar mereka percaya aku segera mengambil foto diriku yang sedang diruang rawat agar terlihat nyata. Tak berapa lama segera kukirim foto itu, kemudian setelah itu kulihat mertu
Setelah pembicaraan itu, aku segera pamit pulang ke rumahku. Sekarang aku lebih siap menghadapi cucian segunung, sampah sekeranjang ataupun lantai yang lengket karena tidak disapu dan di pel berhari-hari. Oke aku sudah siap! Dengan semangat empat lima aku membuka kunci pintu rumah. Taraaa….Ternyata rumahnya masih rapih kawan-kawan, apakah Mas Aksa sedang kerasukan jin baik? Aku tak percaya, ku putari sekali lagi dari ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu, kamar mandi, gudang dan juga kamar tingkat diatas. Semua rapih sama seperti sebelum kami berangkat ke Jogja. Jadi yang kudapat dari hasil memutari rumahku adalah, Mas Aksa belum pulang ke rumah semenjak dia balik dari Jogja sendiri. Kemana dia pergi coba? Ibu mertuaku saja bilangnya dia tak mampir-mampir ke rumahnya.Apakah pemikiranmu sama seperti pikiranku sekarang kawan? Pasti sama kan? Instingku mengatakan jika Mas Aksa menginap dirumah sundal itu. Pasti sudah pasti tak akan bisa lagi Mas Aksa mengelak atas semua ini, ke
Aku menghabiskan sisa waktu liburan bersama keluarga Tante Mela tanpa berkabar dengan suamiku, memang benar pada akhirnya kita tidak saling peduli saja jadi membuat hidupku tak banyak fikiran seperti kemarin-kemarin. Aku harus mulai meregangkan otakku, membuang fikiran negatifku dan mungkin sekalian harus juga mencari pelarian agar pikiranku tak melulu soal Aksara Diningrat.Aku diantarkan oleh Tante Mela langsung kerumah mertuaku karena katanya dia ingin memberikan oleh-oleh untuk mertuaku, untung saja Tante Mela tak minta langsung ke rumah karena tau sendiri rumah yang aku tinggalkan hanya kepada Mas Aksa pasti sekarang bentuknya melebihi seperti kapal pecah. Keburukan Mas Aksa kali ini terselamatkan lagi.“Ini Tante Mela, nggak nginep dulu aja sehari disini? Biar nanti Ibu ajakin ke restoran di baturaden yang baru itu loh.” Ibu mertuaku memang selalu royal pada saudara-saudaraku yang datang.“Waduh, makasih Ibu. Kapan-kapan saja ya karena ini saja liburannya sudah terlalu lama. Ini
Kurebahkan badanku diatas kasur empuk yang tak kutemukan di rumah, aku mulai berniat untuk mengirimkan gambar yang barusan aku terima dari Mas Pras kepada suamiku tapi bulir bening yang semenjak tadi kutahan akhirnya turun juga dari mataku. Kuratapi lagi betapa hidupku hancur karena mengenal seorang Aksara Diningrat, andai Ibu masih ada mungkin aku sudah memeluknya hari ini dan akan diusapkannya kepalaku dengan tangannya yang lembut. Ibu aku rindu masa kecilku, masa dimana hanya PR matematika yang membuatku pusing. [Mas ini kamu ya? Senang ya karokean sama mantan istri atau jangan-jangan masih nikah ya kalian? Jangan sampai aku nekad kirim gambar ini ke Bapak ya!] Aku segera kirim pesan itu kepada Mas Aksa, sudah seharusnya orang seperti itu kuberi ancaman dari dulu. Kita lihat apalagi alasan dia kali ini? [Apaan sih, Dek. Itu cuma kebetulan ketemu dan kami cuma nostalgia karokean aja, lagian kita rame-rame kok perginya nggak berduaan aja. Udah nggak usah macem-macem kirim gambar in
“Ada apa nelpon, Mas?” Aku penasaran.“Kamu lagi dimana, Fa? Di rumah apa dimana?” Mas Pras memberondongku dengan pertanyaan.“Lagi di Jogja liburan, emangnya kenapa? Jangan bilang kamu mau nyamperin, aku udah balikan loh sama Mas Aksa, kamu tau kan?” Dengan tegas aku menembaknya dengan kalimat itu.“Tau lah, aku kan selalu tau kabar update tentang kamu, kukira kamu nggak bakalan mau lagi sama Si Aksa, udah disakitin kaya apa tetep aja bertahan. Sekarang kamu emang tahu Aksa lagi dimana?” Mas Pras membuatku membuatku penasaran.“Di rumah lalu kerja lalu pulang lalu paling nginep di rumah Ibu.”“Kamu nggak penasaran, coba sebentar aku kirim fotonya ke whatsup kamu ya, Fa.” Mas Pras sukses membuatku berhenti dan duduk di taman pinggir jalan tanpa menghiraukan Tante Mela dan keluarganya yang sudah menghilang entah kemana.Sebuah pesan gambar masuk ke gawaiku, aku segera membukanya karena penasaran. Kulihat wajah seorang Aksa suamiku yang sedang asyik karokean sambil memeluk seorang wanit
“Sama siapa tadi, Fa?” Tante Mela penasaran dengan mobil yang mengantarku barusan. “Oh, tadi sepupunya Mas Aksa yang polisi. Dia lagi pulang kuliah di luar negri karena anaknya baru lahir kemarin.” “Oh, gitu. Ya udah kita masuk yu. Nanti kamu sekamer sama anak-anak nggak apa-apa ya? Pas kita pesen dua kamer satu single bed satu double bed tapi yang double bed kasurnya meuni gede-gede pisan.” Tante Mela menempelkan kartu kunci hotel ke tombol lift agar lift berjalan sesuai lantai tempat kamar kami menginap. “Iya, nggak apa-apa yang penting jadi liburannya nih, hehe.” Aku merasa senang seperti anak kecil yang baru saja diberikan loilipop. “Aksa gimana? Mobilnya sudah diambil kah?” “Udah, Tan. Nah itu tadi yang bantuin kami ambil mobil, Si Reval itu polisi tapi lagi sekolah lagi di Singapura. Pas banget coba kami ketemu dia lagi tugas ke Jogja gitu, dasar ya rejeki ada aja.” Kami berjalan keluar dari lift. “Wah iya rejeki banget ya. Ini Aksa nggak apa-apa ditinggal sendirian pulangn
Hanya setengah jam mobil sudah bisa kembali lagi kepada kami, sakti juga Reval yang belum mulai masuk kerja lagi tapi bisa membantu kami yang kesusahan. Uang di tangan pun tak banyak raib karena bantuannya, alhamdulillah aku bersyukur ternyata memang Allah tak membolehkan kami memakai uang hasil penjualan handphone itu.“Tuh kan, Mas. Emang kita nggak boleh make uang itu kali. Untung ada si Reval kalo nggak coba sih kita kaya apa?”“Nggak lah, Dek. Kan uangnya bisa dipake buat benerin mobil. Nggak liat apa kamu mobil gompel dimana-mana? Berabe urusannya kalo nggak dibenerin.” Mas Aksa melihat mobil bekas kecelakaan penuh dengan baret-baret.“Dosa loh, Mas. Ya udah aku mau ke tempat Tante Mela aja kalau gitu. Daripada pusing kepalaku liat kelakuan kamu. Sini aku minta uang yang buat liburan kemarin!” aku mengulurkan tanganku meminta uang hasil menggadaikan handphone ijonkku kemarin daripada nanti uangnya ujung-ujungnya nggak jelas kemana.“Tau apa kamu tentang dosa? Sok suci banget, u
Mas Aksa mengeluarkan sebuah benda pipih dari kantong celananya, benda itu adalah handphone layar sentuh yang terbilang masih cukup bagus.“Punya siapa, Mas?” tanyaku penasaran.“Tadi nemu didalem, ssst…. Kamu diem-diem aja ya. Lumayan loh ini buat ngambil mobil nanti, yuk sekarang kita jual dulu handphonenya ke konter yang deket-deket sini aja.” Mas Aksa tersenyum sambil membolak balik benda pipih itu.“Astagfirullah, Mas. Itu kan punya orang, mending kita kasih ke customer service di depan biar orang yang nyarinya nggak kebingungan.”“Loh, ini namanya rejeki nomplok. Suruh siapa orangnya ninggalin barang berharga di toilet? Berarti kan dia udah nggak butuh kali.” Mas Aksa kemudian pergi melengos dari hadapanku.“Mas, tunggu! Jangan gitu siapa tau yang punyanya lagi buru-buru terus hapenya ketinggalan, kok kamu tega sih?” Aku buru-buru mengejarnya bermaksud ingin mengambil hanphone itu kemudian aku berikan pada customer service di rumah sakit ini.Tapi langkah Mas Aksa seperti secepa
“Aksaaaa….” Tante Mela menjerit seketika mobil terbalik ke arah kanan. Aku yang berada di kursi bagian kanan seketika merasa nyeri di bagian lengan kiriku tapi aku masih bisa berdiri dan keluar menyelamatkan diri, aku kemudian membantu Tante Mela dan anak-anaknya. Kulihat Mas Aksa sepertinya tak sadarkan diri, kami berusaha membuka pintu mobil Mas Aksa dan berusaha juga mengeluarkan dia dari dalam mobil takut-takut jika mobilnya konslet dan meledak. Karena masih di jalan tol, bantuan segera mendatangi kami, ketika ambulance tiba Mas Aksa segera diangkat ke dalam mobil dan juga kami yang ikut mobil ambulance dan mobil patroli tol. Sebagai orang Indonesia, aku merasa masih beruntung karena kecelakaan ini kecelakaan tunggal dan juga kecepatan Mas Aksa tidak terlalu tinggi sehingga kami hanya mengalami luka ringan. Sekarang yang membuat kami khawatir adalah Mas Aksa yang masih tak sadarkan diri, aku takut lukanya ada di bagian dalam tapi semoga saja pinsannya ini hanya karena kaget. Akh
Mbak Retno segera menelpon ambulance karena Bapak tak juga sadar ketika diberikan pertolongan pertama berupa oksigen oleh kami. Setelah ambulance datang kami segera mengantar Bapak ke rumah sakit. Di rumah sakit Bapak segera ditangani dengan baik oleh para petugas sehingga Bapak bisa lekas siuman dan dipindahkan ke ruang rawat. Sebagai anak lelaki, aku dan kakakku bergantian menjaga Bapak di malam hari. Hari pertama Bapak dirawat, Bapak ingin aku yang menjaganya. “Ca, tolong ambilkan Bapak minum.” Bapak terduduk dari posisi berbaringnya, dia agak sedikit kerepotan karena lengannya dipasang infus. Aku segera mengambilkan gelas yang berisi air putih yang berada di sampingnya. “Ca, kamu bener kalau Nora itu lagi hamil anakmu?” Bapak sepertinya masih penasaran dengan pernyataanku yang membuat pinsan itu. “Nggak, Pak. Aca becanda kok, Nora nggak hamil cuma kami itu kan udah deket banget jadi Ibunya yang kemarin sakit-sakitan minta kami segera menikah biar nggak zina katanya.” Aku sebena