"Ya Allah, aku memang salah dalam hal ini. Tapi, aku juga melakukan ini untuk keluargaku. Aku tahu caranya salah. Kenapa sikap suamiku seperti itu, Ya Allah? Apakah dia akan menceraikan aku? Harusnya dia juga introspeksi diri kenapa sampai bisa istrinya punya hutang banyak begini. Aku harus bagaimana, Ya Allah?" Intan menangis karena ditinggal sendirian oleh Agung.
Tak berselang lama kedua anaknya pun bertengkar berebut mainan dan menangis. Intan tambah stres dibuatnya. Dia membiarkan kedua anaknya menangis karena dia juga belum bisa mengontrol dirinya sendiri."Apa aku minta bantuan sama Ibu, ya? Tapi, selama ini aku belum bisa memberikan apapun pada mereka. Apakah aku tega membuat mereka menderita? Tidak! Aku tak boleh melakukan itu!""Bu! Ibu! Adik jatuh, Bu!" teriak anaknya yang pertama.Intan langsung lari ke dalam kamar dan mendapati jidat anak keduanya sudah benjol karena jatuh membentur lantai. Tangan Intan sigap mengambil anaknya lalu memeluknya erat."Maafkan Ibu, Nak! Ibu lalai menjagamu. Maafkan ibumu ini, Nak!" Berulang kali Intan meminta maaf sambil memeluk anak keduanya.Abid anak pertamanya ikutan menangis dan ikut memeluk ibunya. Ketiganya sama-sama menangis sambil berpelukan."Sudah. Kakak berhenti, ya, nangisnya. Biar adiknya juga ikut berhenti. Kita obati adik dulu, ya, Kak," ucap Intan. Abid mengangguk pelan.Intan mengolesi luka benjolan anaknya dengan minyak yang dia punya. Dia merasa sangat bersalah karena terlalu memikirkan masalahnya sehingga anak-anaknya terabaikan.Karena merasa bersalah, Intan menemani anak-anaknya bermain sampai mereka tertidur. Air mata Intan kembali menetes ketika melihat kedua wajah polos mereka. Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar.Entah berapa jam Intan menemani kedua anaknya tertidur sampai dia juga ikut tidur. Ketika bangun, hari sudah sore dan Intan segera memandikan kedua anaknya yang juga sudah bangun.Setelah selesai mandi, Intan memasak lalu menyuapi anaknya yang kedua karena anak yang pertama sudah bisa makan sendiri. Hari sudah sore tapi Agung belum pulang juga."Mas Agung kok belum pulang, ya? Tadi apa dia kerja atau kemana? Dia juga tidak memberi kabar seperti biasanya. Pasti dia masih marah padaku," gumam Intan yang saat ini tengah berada di depan pintu sambil melihat rintik-rintik hujan yang turun."Bu, kok Ayah belum pulang?" celetuk Abid yang ikut menyusul Intan ke depan.Seperti biasanya Abid selalu menunggu kepulangan ayahnya. Abid dan adiknya Aldo memang dekat dengan Agung."Mungkin di tempat Ayah kerja hujan deras, Kak. Jadi Ayah menunggu hujannya agak reda. Kakak main saja dulu sama adik, ya!" jawab Intan yang memaksakan senyum untuk anaknya. Abid mengangguk dan kembali masuk ke dalam untuk bermain bersama dengan Aldo.Agung sebenarnya suami yang baik dan bertanggungjawab. Dia rela bekerja apapun agar istri dan anak-anaknya tidak kekurangan. Tapi, ada satu hal yang Agung tidak tahu soal keuangan rumah tangganya dan Intan belu menceritakan hal itu kepadanya."Maafkan aku, Mas!" batin Intan berkata.***Di tempat lain, Agung tengah kebingungan mencari uang pinjaman kepada teman-temannya agar hutang istrinya yang dua hari lagi jatuh tempo bisa terbayarkan."Aduh maaf, ya, Gung, bukannya saya tidak mau bantu kamu tapi gimana ya, soalnya saya juga lagi butuh uang.""Maaf, Mas Agung, saya tidak bisa.""Saya lagi gak punya uang, Gung."Dan masih banyak lagi jawaban teman-teman Agung yang tidak bisa meminjaminya uang. Agung tidak bisa memaksa mereka karena itu hak mereka. Agung mengacak rambutnya kasar. Dia sudah buntu pikirannya.Jika dipikir-pikir, Agung selama ini memberikan nafkah yang cukup untuk bayar kontrakan dan juga makan. Bahkan kadang dia lebihkan untuk kebutuhan kedua anaknya. Tapi dia bingung kenapa Intan bisa sampai terlilit hutang pinjaman online dengan jumlah yang begitu besar?Sebegitu kecewanya Agung pada Intan hingga dia mendiamkan Intan. Bahkan semalam dia tidak pulang ke rumah demi untuk menenangkan diri. Intan tak tahu jika sebenarnya Agung punya banyak pekerjaan yang dia jalani. Bahkan tak jarang Agung harus bekerja sampai malam jika uang yang dia dapatkan belum cukup untuk keluarga. Itu semua Agung lakukan karena harus mengirim uang juga kepada ibunya.Agung mengaku kepada Intan bekerja serabutan di tukang sablon kaos. Memang benar seperti itu tapi Agung juga punya pekerjaan lainnya seperti jadi tukang ojek anak sekolah dan juga kurir paket paruh waktu.Hari ini Agung tidak ada panggilan di tukang sablon. Masih beruntung karena ada beberapa paket yang harus dia antarkan. Nasib baik masih memihak pada dirinya. Walaupun hanya sedikit, paling tidak ada hasil yang dia bawa pulang."Permisi! Paket!" teriak Agung khas seperti kurir pada umumnya.Kali ini dia mengantarkan paket di perumahan mewah. Baru pertama kali Agung mengantarkan paket ke alamat tersebut. Jika dia beruntung, biasanya penerima barang akan memberikan uang tips kepada dirinya."Ya sebentar!" jawaban dari dalam rumah.Agung menunggu sekitar lima menitan baru ada seseorang yang keluar dari rumah. Seorang wanita cantik keluar untuk menerima paket dari Agung. Untuk sesaat Agung terkesima akan kecantikan wanita tersebut. Tapi dengan cepat Agung memalingkan wajahnya."Makasih, ya, Mas. Ini COD, ya? Berapa, ya? Soalnya aku lupa," ucap wanita itu."Seratus lima ribu, Mbak," jawab Agung singkat.Wanita itu merogoh sakunya dan mengambil uang seratus dua puluh ribu lalu memberikannya kepada Agung."Gak usah kembali, Mas," kata wanita itu."Yang benar, Mbak? Tapi kembaliannya banyak lho?""Iya benar, Mas." Wanita itu tersenyum manis kepada Agung."Terima kasih, ya, Mbak. Semoga rejekinya selalu lancar.""Aamiin."Agung pun memasukkan uang ke dalam tas kecilnya dan wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Tapi, saat hendak pergi, tiba-tiba saja Agung mendengar suara teriakan dari wanita itu."Tolong! Tolong!" Suara wanita itu jelas sekali di telinga Agung.Tanpa berpikir panjang Agung turun dari motor dan masuk ke dalam rumah wanita itu. Saat Agung masuk, wanita tadi sudah jatuh tersungkur karena terpeleset."Tolong, Mas! Kakiku sakit sekali rasanya," rintih wanita itu sambil memegang kaki sebelah kirinya.Agung menolong wanita tersebut karena merasa tidak tega. Dia memapah wanita itu menuju ke sofa."Mas, boleh minta tolong lagi gak?" ucap wanita itu sembari meringis menahan sakit."Minta tolong apa, Mbak?" sahut Agung."Tolong bawa saya ke kamar, Mas. Kamar saya ada di lantai dua."Agung menelan ludahnya. Dia takut dan bingung hendak menjawab apa. Dia sama sekali tidak tahu wanita tersebut. Agung hanya takut nantinya akan ada orang yang datang dan salah paham. Biar bagaimanapun laki-laki dan wanita berduaan itu tidak dibenarkan. Apalagi Agung tidak tahu di rumah itu ada siapa saja."Aduh gimana, ya, Mbak? Saya —""Tolong saya, Mas! Saya di rumah sendirian, Mas. Nanti saya kasih upah, Mas. Gimana?"Bruk! Agung pulang dan langsung meletakkan amplop cokelat di atas meja. Hari ini dia pulang lebih malam daripada biasanya. Intan yang mendengar suara keras pun langsung bergegas keluar. Mata Intan menyipit ketika melihat amplop cokelat itu. Dia pun bertanya pada Agung. "Apa itu, Yah?""Besok bayar semua hutang-hutang kamu tanpa ada yang tersisa sedikitpun!" jawab Agung sambil berlalu meninggalkan Intan di sana. Intan belum paham maksud dari ucapan Agung itu. Dia penasaran dan kemudian membuka amplop cokelat itu. Mata Intan membulat sempurna melihat tumpukan uang berwarna merah dan juga biru itu. Dia sampai berkedip beberapa kali karena takut jika itu hanya mimpi. "Ini benar-benar uang? Tapi darimana Ayah dapat uang sebanyak ini dalam waktu yang singkat?" tanya Intan dalam hati. Agung selesai mandi dan dia pun duduk di kasur depan televisi sambil memainkan ponselnya. Sesekali Agung terlihat tertawa dan tersenyum. "Uang darimana itu, Yah?" tanya Intan. Tumpukan uang itu masih ada d
Agung terpaksa menolong wanita yang menjadi pelanggannya tadi. Tak tega juga rasanya meninggalkan dia dalam kondisi sakit. “Di sini saja, Mas!” ucap wanita yang bernama Dona itu. Perlahan, Agung menurunkan Dona di atas tempat tidur. Karena merasa sudah tidak dibutuhkan lagi bantuannya, Agung pamit untuk pulang. “Tunggu, Mas! Bukankah tadi aku sudah bilang akan membayar kamu karena pertolonganmu ini. Kenapa mau pergi begitu saja?” Dona mencoba menghalangi Agung agar tidak pulang lebih dulu. “Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong Mbak. Gak enak juga lama-lama di sini. Nanti takutnya timbul fitnah, Mbak,” sahut Agung dengan kepala menunduk. “Gak usah takut, Mas. Di lingkungan sini aman kok. Dan tidak ada yang terlalu ‘kepo’ dengan urusan orang lain.” Seulas senyum centil ditunjukkan oleh Dona. Dona terlihat sibuk dengan ponselnya. Dia menelpon seseorang untuk membelikan obat pijat untuk kakinya. Agung pun hanya diam mendengarkan. “Saya harus upah dengan apa, Mas? Katakan saya pad
“Kok tanya mau kemana, sih? Aku, kan, sudah memberimu uang yang kau minta. Jadi, sekarang giliran kamu untuk memenuhi kesepakatan kita,” sahut Dona.Gleg! Agung menelan ludahnya. Dia masih mengira jika Dona tidak sungguh-sungguh ingin dinikahi. Tapi, nyatanya sekarang dia menagih kesepakatan yang sudah dia buat bersama Dona. “Siapkah aku punya dua istri? Bagaimana nanti aku mencukupi keduanya? Satu saja aku masih tidak mampu,” tanya Agung dalam hatinya yang kembali ragu. “Kamu gak berubah pikiran, kan?” “Kalau sampai kamu berubah pikiran, aku akan menagih uang yang aku beri dengan bunga seratus persen!” ucap Dona seraya ada ancaman di kalimatnya. “Ti—tidak. Tentu saja tidak. Saya siap dan sangat siap!” Buru-buru Agung menjawabnya walaupun sedikit terbata. Dona tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang putih bersih. “Bagus! Kamu tidak perlu takut, nanti setelah menikah aku menuntutmu macam-macam. Aku hanya ingin kamu ada saat aku butuh. Soal biaya hidup, aku yang tanggung.
“Bukankah dia temannya Intan? Iya, bukan, sih?” gumam Agung. Dona tak sengaja mendengar gumaman Agung walaupun tak begitu jelas. “Kamu kenapa? Lihat siapa?” tanya Dona karena penasaran. “Oh enggak. Aku mau tanya, apa yang datang ini semua kenal dengan kamu? Semua teman kamu?” Dona menganggukkan kepala. Mereka bicara berbisik sambil menyalami tamu undangan yang naik ke atas panggung pelaminan. “Jadi, kamu tahu siapa perempuan yang pakai baju batik coklat itu?”“Batik coklat? Yang mana?” Kepala Dona mendongak dan berusaha mencari orang yang dimaksud oleh Agung. “Itu dia yang lagi berjalan ke arah sini. Dia pakai batik coklat dan bawahan yang senada. Itu teman istriku. Gawat kalau dia sampai tahu aku disini!” Agung mulai panik karena dia sekarang yakin jika benar kalau perempuan itu temannya Intan. Mereka pernah bertemu saat tak sengaja berpapasan di minimarket. “Oh itu!” Dona menunjuk ke arah perempuan yang dimaksud Agung. Agung pun membenarkannya dengan menganggukkan kepala. “Di
“Kesalahan apa yang aku buat sehingga kamu tega menyakitiku? Tidak ingatkah kamu jika kamu sudah ada Abid dan Aldo?” Dada Intan terasa sesak karena menahan air mata sejak tadi. Agung pun tak menyangka jika Intan tahu soal pernikahannya dengan Dona secepat ini. Dia tak tahu Intan dapat foto pernikahannya dengan Dona dari siapa. Tapi, Agung bisa menebak jika itu dari teman Intan. “Sudahlah aku mau istirahat saja. Toh aku mau bicara kamu juga tidak mau mendengar,” ucap Agung. Dia pun pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Niat hati dia pulang ingin melepas rindu pada istri dan anaknya tapi malah berujung keributan. Waktu yang diberikan Dona untuknya hanya dua hari. Sehingga Agung harus bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik. Sekarang dirinya sudah tidak bisa sebebas dulu jika ingin bersama dengan Intan. Hidupnya sudah separuh dikendalikan oleh Dona. Jika dia tidak menurut sedikit saja, Dona bisa-bisa marah besar dan mengusirnya dari rumahnya. Yang itu berarti dia har
“Ibu?” lirih Intan saat melihat mertuanya datang membawa tas besar. “Agung mana? Ibu mau minta uang. Kamu juga sekarang susah sekali dimintai uang. Apa jangan-jangan kamu lagi yang hasut anakku agar tidak memberikan Ibu uang lagi?” tuduh Ibu Siti begitu saja tanpa ba-bi-bu. “Mas Agung sedang tidak ada di rumah, Bu. Kami memang sedang kesusahan, Bu. Bukan maksud aku menghalang-halangi Mas Agung memberikan Ibu uang,” sanggah Intan dengan kepala tertunduk. “Alah itu bisa-bisanya kamu saja, kan? Kamu dan anak-anakmu itu memang bisanya nyusahin aja! Andai dulu anakku tidak menikah dengan kamu, pasti hidupnya tidak seperti ini!” Bukan hanya sekali dua kali Intan mendengar keluhan mertuanya yang seperti itu. Wajar saja jika Ibu Siti tidak suka dengan Intan. Pasalnya, dulu Ibu Siti hendak menjodohkan Agung dengan perempuan kaya raya. Tapi sayang, Agung lebih memilih Intan daripada perempuan yang bahkan Agung belum sempat melihatnya. “Kami memang seda—”“Minggir!” Intan didorong begitu sa
“Aku tidak mau dimadu,” ucap Intan dengan sangat jelas. “Lalu, maumu apa? Aku sudah menikah dengan Dona dan itu tidak mungkin dibatalkan,” kata Agung. Ibu Siti berdecak lalu berkata, “Sudahlah terima saja nasibmu. Makanya jadi istri itu jangan hanya bisanya menyusahkan suami. Wajar saja anakku cari istri lain.”“Contohlah Dona ini. Selain cantik, dia juga pintar cari duit. Jangan hanya bisanya menghabiskan uang suami! Bahkan berhutang lagi,” sambung Ibu Siti. Mata Intan ke arah Agung. Dia tak menyangka jika Agung sudah mengatakan pada mertuanya kalau dia terjerat pinjol. Itu artinya Dona juga sudah mengetahuinya. “Apa kata Ibu? Aku habisin uang Mas Agung? Itu juga semua gara-gara Ibu!” timpal Intan dengan emosi. “Apa maksudmu, Intan?” tanya Agung. Ibu Siti terlihat agak panik. Gerak-gerik Ibu Siti makin menunjukkan kalau memang ada yang disembunyikan. Tapi hanya Intan yang menyadari hal itu. Dona hanya menjadi penonton setia di sana. Belum waktunya untuk Dona bicara. Intan terl
“Aku tak sudi tinggal bersama istri keduamu itu!” jawab Intan tegas. “Jangan egois, Intan. Kita tak punya pilihan lain. Kasihan anak-anak. Toh Dona juga tidak keberatan,” kata Agung. “Tentu saja tidak. Dengan senang hati pintu rumahku terbuka untuk istri pertama suamiku. Silahkan tinggal di rumahku!” Dona ikut menyahut. “Ibu juga boleh ikut tinggal di sana, kan Dona?” tanya Ibu Siti. “Tentu saja boleh. Sekarang pun boleh, Bu. Itu pun kalau Ibu mau,” jawab Dona dengan senyum lebar. “Mau dong! Bentar Ibu ambil tas Ibu dulu.” Ibu Siti begitu riang menerima ajakan Dona. Tak lama kemudian Ibu Siti keluar lagi dengan menenteng tas miliknya. Ibu Siti senang bukan main. Impian untuk memiliki menantu kaya raya akhirnya terwujud juga. Setelah semuanya siap, mereka berdua pun segera pergi dari saja. Tapi sebelum meninggalkan kontrakan Agung, Dona berkata,“Pintuku selalu terbuka untukmu, Intan. Silahkan datang kapan saja kamu mau.” Agung kembali meninggalkan Intan di sana bersama anak-a
Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu
“Kamu kenapa, sih, Gas? Memangnya aku salah omong, ya?” tanya Bayu sesaat setelah Intan pergi. Bagas berdecak. “Aku tahu kamu, Bay. Gak usah aneh-aneh, deh, kamu itu! Intan itu perempuan baik-baik, Bay.”“Astaga! Jadi kamu mikir aku mau aneh-aneh sama, Intan? Ya enggak lah, Gas! G*la aja kamu! Aku cuma kasihan aja sama dia,” bantah Bayu cepat. Sudah berteman lama membuat Bagas tahu sifat Bayu. Sejak dulu memang Bayu suka menggoda dan merayu perempuan hanya untuk mainan. Makanya sampai saat ini Bayu juga belum menikah karena dia masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang. “Aku tahu kamu, Bay. Makanya aku ingatkan kamu jangan macam-macam dengan Intan. Kasihan dia dan anak-anaknya nanti.” Nasehat Bagas kali ini mengena di hati Bayu. “Gak, Gas. Aku sekarang gak begitu. Sudah capek aku, Gas. Aku sudah berubah dan gak mau main-main lagi, Gas.”Setelah ibunya meninggal, Bayu memang berubah drastis. Dia menjadi pekerja keras dan jarang sekali mendekati perempuan seperti dulu. Bay
“Halo, Bro! Tumben kamu telepon. Pasti ada maunya, ya?” “Iya, Bro. Aku butuh bantuanmu di Pengadilan Agama Tangerang sekarang. Bisa, kan?”“Wait! Wait! Ada apa nih? Kok ke pengadilan agama? Ada urusan apa kamu di sana?”Seperti itulah awal mula percakapan Bagas dan Bayu di telepon. Yap! Bagas meminta bantuan pada Bayu temannya yang berprofesi sebagai pengacara untuk mendampingi Intan. Ide itu muncul dari Ibu Dewi yang merasa iba pada Intan. Awalnya Bagas memang terlihat cuek. Tapi pada saat dia mengantar Intan, hatinya merasa tersentuh. “Jangan salah sangka dulu. Aku minta kamu dampingi temanku di sana. Dia sekarang lagi ada sidang cerai dengan suaminya,” ujar Bagas menjelaskan. “Teman apa teman? Memangnya kamu sudah putus sama Sintia, Bro? Bukannya sebentar lagi kalian menikah?” tanya Bayu. “Sudah kamu gak usah banyak tanya dulu. Kasihan dia di sana sendirian dan pasti bingung. Nanti kapan-kapan aku ceritakan sama kamu. Namanya Intan. Dia teman kecilku dulu. Tolong bantu dia, ya
Sesampainya Intan di pengadilan, dia langsung masuk ke dalam ruang sidang. Intan tampak percaya diri walaupun tanpa didampingi pengacara. Jelas kontras sekali dengan Agung yang masuk dengan Dona serta pengacara. “Yakin tidak didampingi pengacara?” tanya Dona dengan suara pelan. Dona sengaja menghampiri Intan yang duduk di sebelah kiri. Sedangkan Agung dan pengacaranya duduk di sebelah kanan. Intan diam tak menjawab. Dia merasa tak perlu menanggapi pertanyaan dari Dona tersebut. Bahkan Intan sama sekali tidak melihat ataupun melirik ke arah Dona. Dia menganggap seolah-olah Dona tidak ada di sana. “Oke kalau itu maumu, Intan. Tapi aku kasih tahu sama kamu, ya … kalau ini belum ada apa-apanya. Kamu akan lebih menderita lagi!” ucap Dona lagi. Dona kembali duduk bersama dengan Agung. Dia terlihat tengah bicara sesuatu dengan Agung dan juga pengacara yang sudah disewanya. Persidangan pun dimulai. Semuanya berjalan dengan lancar di awal-awal. Tapi, di pertengahan sidang, emosi Intan tak