“Kok tanya mau kemana, sih? Aku, kan, sudah memberimu uang yang kau minta. Jadi, sekarang giliran kamu untuk memenuhi kesepakatan kita,” sahut Dona.
Gleg! Agung menelan ludahnya. Dia masih mengira jika Dona tidak sungguh-sungguh ingin dinikahi. Tapi, nyatanya sekarang dia menagih kesepakatan yang sudah dia buat bersama Dona.“Siapkah aku punya dua istri? Bagaimana nanti aku mencukupi keduanya? Satu saja aku masih tidak mampu,” tanya Agung dalam hatinya yang kembali ragu.“Kamu gak berubah pikiran, kan?”“Kalau sampai kamu berubah pikiran, aku akan menagih uang yang aku beri dengan bunga seratus persen!” ucap Dona seraya ada ancaman di kalimatnya.“Ti—tidak. Tentu saja tidak. Saya siap dan sangat siap!” Buru-buru Agung menjawabnya walaupun sedikit terbata.Dona tersenyum hingga menampilkan deretan giginya yang putih bersih. “Bagus! Kamu tidak perlu takut, nanti setelah menikah aku menuntutmu macam-macam. Aku hanya ingin kamu ada saat aku butuh. Soal biaya hidup, aku yang tanggung. Itu kalau kamu turuti semua ucapanku. Kalau tidak, siap-siap saja kamu menerima akibatnya!”Ucapan Dona begitu ngeri bagi Agung. Mau mundur lagi pun tidak bisa karena dia sudah menerima uang dari Dona. Untuk saat ini, Agung akan mengikuti semua kemauan Dona.Mobil yang mereka kendarai meleset kencang menuju tempat yang sudah Dona persiapkan. Tak sulit bagi Dona untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan cepat karena dia punya banyak uang.Setelah setengah jam berjalan, mobil Dona berhenti tepat di depan sebuah rumah. Dona pun menyuruh Agung untuk keluar.“Ini dimana?” tanya Agung.“Kita make up dulu di sini. Nanti setelah ini, kita akan ke tempat yang akan dijadikan akad nikah kita,” jawab Dona sembari tersenyum lebar.Keduanya disambut sangat hangat oleh MUA yang akan mendandani keduanya. Walaupun nikah dibawah tangan, Dona ingin tampil cantik dan maksimal.“Bukankah kita hanya nikah siri? Kenapa harus repot-repot dandan?”“Ssstttt! Ikuti saja kemauanku dan tak usah banyak tanya. Mengerti?” Agung mengangguk.Setelah basa-basi sebentar, Dona mulai di make over. Sementara Agung tengah memilih baju yang pas di badan. Dalam hatinya, Agung merasa takjub karena saat menikah dengan Intan saja dia hanya mengenakan jas biasa. Tapi kali ini, Dona memilih memakai pakaian adat yang sangat bagus.“Kok bisa, ya, aku mau menikah lagi? Padahal kenal saja juga tidak. Kenapa aku mau? G*la! Benar-benar tak bisa dipercaya,” kata hati Agung. Kepalanya sambil menggeleng.“Kamu kenapa? Ada yang salah?” tanya Dona saat melihat tingkah Agung.“Oh tidak. Saya tidak apa-apa. Hanya saja ini seperti mimpi saja bagiku.”Setelah selesai, Agung melihat dirinya di cermin. Dia benar-benar seperti pangeran di kerajaan jaman dahulu. Sangat jauh berbeda dengan tampilannya saat menikah dengan Intan.Ketika Dona muncul, Agung semakin terpesona karena wajah Dona sangat berbeda setelah di make up. Dia mengakui jika Dona sangat cantik, walaupun Intan juga cantik.“Kamu sudah siap? Ayo kita berangkat!” ajak Dona.“Hem, apa ini tidak terlalu berlebihan? Apalagi kita hanya menikah dibawah tangan,” kata Agung agak keberatan.“Ikuti saja mauku! Ayo berangkat!”Tak mau mendebat lagi, akhirnya Agung pun ikut kemauan Dona. Keduanya bersiap menuju tempat yang sudah Dona persiapkan.***“Kenapa kamu ngotot sekali ingin aku nikahi?” Sebuah pertanyaan yang terlontar begitu saja oleh Agung ketika mereka tengah berada di dalam mobil.“Langsung jatuh cinta aja sama kamu,” jawab Dona dengan entengnya.“Hah? Apa aku gak salah dengar? Kamu kenal aku saja tidak.”“Sudahlah gak usah dibahas. Kamu mau aku batalkan saja pernikahan ini dan kamu kembalikan uangku dua kali lipat?”“Eng—gak! Enggak mau. Ya, aku akan diam dan gak akan bertanya yang macam-macam lagi.”“Bagus! Gitu dong!”Mobil Dona berhenti di sebuah hotel yang cukup mewah untuk Agung. Keduanya turun dan langsung disambut oleh staf hotel dengan ramahnya.“Kita menikah di sini?” tanya Agung sambil memandangi hotel itu dengan takjub.“Iya. Semuanya sudah aku persiapkan di dalam. Ayo!” jawab Dona sambil menggandeng mesra lengan Agung.Dona tak sedikitpun melepaskan tangannya dari Agung. Dia benar-benar sangat bucin dengan Agung. Entahlah … Dona sendiri merasa heran bisa jatuh cinta se’kilat’ ini.Saat memasuki sebuah ruangan, Agung kembali dibuat takjub karena dekornya sangat mewah. Ada kue pengantin dan segala macam hidangannya dan itu bisa siap dalam satu hari.“Ini semua benar kamu yang siapin?” tanya Agung sambil menatap mata Dona.“Tentu saja. Memangnya kenapa? Kamu gak percaya, ya, aku bisa menyiapkan ini semua dalam waktu singkat?” Agung mengangguk.“Asal ada uang, semuanya pasti beres,” ucapnya dengan nada sedikit sombong.“Lalu, siapa wali nikah kamu? Bukankah harus ada orang tua? Orang tuamu berarti ada di sini?” tanya Agung lagi.Dona menggelengkan kepala. “Aku sudah tidak punya orang tua. Jadi, cukup wali hakim saja bukan?”“Keluargamu?”“Tidak ada kecuali adikku. Dia tidak ada di sini. Kamu tenang saja, semuanya beres pokoknya.”Agung pun tak banyak bertanya lagi. Dia mengikuti semua arahan Dona. Tak banyak tamu yang diundang karena pernikahan ini benar-benar intimate.“Bagaimana para saksi? Sah?”“SAH!” jawab undangan yang hadir secara serempak.Dan kini Agung sudah resmi menjadi suami Dona walaupun baru secara agama. Keduanya kemudian melanjutkan pesta pernikahan mereka.Satu per satu mulai mengucapkan selamat kepada Agung dan Dona. Yang awalnya Agung tak bisa tersenyum, dia menjadi bisa tersenyum lebar bahkan tertawa juga. Dia berpikir mungkin Dona bisa mengubah hidupnya. Sehingga dia mulai bisa menerima Dona sebagai istri keduanya.“Kamu haus? Mau aku ambilkan minum?” kata Agung karena melihat Dona seperti tengah kehausan.“Iya boleh. Makasih.”Kemudian Agung mengambilkan satu gelas air berisi minuman air putih kepada Dona. Dengan sekali teguk, gelas itu langsung habis tak bersisa isinya.“Aku akan memberikan apapun yang kamu mau asal kamu mau menuruti semua permintaan dariku. Ingat itu! Aku akan jamin kamu tidak akan kekurangan apapun jika kamu melakukannya,” bisik Dona saat itu.“Baik.”Satu jam lebih acara mereka belum selesai. Masih ada beberapa teman dan kolega dari Dona yang ada di sana. Semua yang hadir tampak mengucapkan selamat pada Dona. Tak sedikit diantara mereka mengaku terkejut karena undangan Dona sangat mendadak. Tapi mereka semua merasa bahagia karena akhirnya Dona mengakhiri masa lajangnya.Dari kejauhan, tampak seseorang yang menyipitkan mata ketika melihat Agung duduk di pelaminan. Mata Agung tak sengaja menatap orang itu. Mata mereka saling berpandangan tatkala orang itu mendekat ke arah panggung. Wajah orang itu semakin jelas terlihat oleh Agung.“Bukankah dia —”“Bukankah dia temannya Intan? Iya, bukan, sih?” gumam Agung. Dona tak sengaja mendengar gumaman Agung walaupun tak begitu jelas. “Kamu kenapa? Lihat siapa?” tanya Dona karena penasaran. “Oh enggak. Aku mau tanya, apa yang datang ini semua kenal dengan kamu? Semua teman kamu?” Dona menganggukkan kepala. Mereka bicara berbisik sambil menyalami tamu undangan yang naik ke atas panggung pelaminan. “Jadi, kamu tahu siapa perempuan yang pakai baju batik coklat itu?”“Batik coklat? Yang mana?” Kepala Dona mendongak dan berusaha mencari orang yang dimaksud oleh Agung. “Itu dia yang lagi berjalan ke arah sini. Dia pakai batik coklat dan bawahan yang senada. Itu teman istriku. Gawat kalau dia sampai tahu aku disini!” Agung mulai panik karena dia sekarang yakin jika benar kalau perempuan itu temannya Intan. Mereka pernah bertemu saat tak sengaja berpapasan di minimarket. “Oh itu!” Dona menunjuk ke arah perempuan yang dimaksud Agung. Agung pun membenarkannya dengan menganggukkan kepala. “Di
“Kesalahan apa yang aku buat sehingga kamu tega menyakitiku? Tidak ingatkah kamu jika kamu sudah ada Abid dan Aldo?” Dada Intan terasa sesak karena menahan air mata sejak tadi. Agung pun tak menyangka jika Intan tahu soal pernikahannya dengan Dona secepat ini. Dia tak tahu Intan dapat foto pernikahannya dengan Dona dari siapa. Tapi, Agung bisa menebak jika itu dari teman Intan. “Sudahlah aku mau istirahat saja. Toh aku mau bicara kamu juga tidak mau mendengar,” ucap Agung. Dia pun pergi masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Niat hati dia pulang ingin melepas rindu pada istri dan anaknya tapi malah berujung keributan. Waktu yang diberikan Dona untuknya hanya dua hari. Sehingga Agung harus bisa memanfaatkan waktu itu dengan baik. Sekarang dirinya sudah tidak bisa sebebas dulu jika ingin bersama dengan Intan. Hidupnya sudah separuh dikendalikan oleh Dona. Jika dia tidak menurut sedikit saja, Dona bisa-bisa marah besar dan mengusirnya dari rumahnya. Yang itu berarti dia har
“Ibu?” lirih Intan saat melihat mertuanya datang membawa tas besar. “Agung mana? Ibu mau minta uang. Kamu juga sekarang susah sekali dimintai uang. Apa jangan-jangan kamu lagi yang hasut anakku agar tidak memberikan Ibu uang lagi?” tuduh Ibu Siti begitu saja tanpa ba-bi-bu. “Mas Agung sedang tidak ada di rumah, Bu. Kami memang sedang kesusahan, Bu. Bukan maksud aku menghalang-halangi Mas Agung memberikan Ibu uang,” sanggah Intan dengan kepala tertunduk. “Alah itu bisa-bisanya kamu saja, kan? Kamu dan anak-anakmu itu memang bisanya nyusahin aja! Andai dulu anakku tidak menikah dengan kamu, pasti hidupnya tidak seperti ini!” Bukan hanya sekali dua kali Intan mendengar keluhan mertuanya yang seperti itu. Wajar saja jika Ibu Siti tidak suka dengan Intan. Pasalnya, dulu Ibu Siti hendak menjodohkan Agung dengan perempuan kaya raya. Tapi sayang, Agung lebih memilih Intan daripada perempuan yang bahkan Agung belum sempat melihatnya. “Kami memang seda—”“Minggir!” Intan didorong begitu sa
“Aku tidak mau dimadu,” ucap Intan dengan sangat jelas. “Lalu, maumu apa? Aku sudah menikah dengan Dona dan itu tidak mungkin dibatalkan,” kata Agung. Ibu Siti berdecak lalu berkata, “Sudahlah terima saja nasibmu. Makanya jadi istri itu jangan hanya bisanya menyusahkan suami. Wajar saja anakku cari istri lain.”“Contohlah Dona ini. Selain cantik, dia juga pintar cari duit. Jangan hanya bisanya menghabiskan uang suami! Bahkan berhutang lagi,” sambung Ibu Siti. Mata Intan ke arah Agung. Dia tak menyangka jika Agung sudah mengatakan pada mertuanya kalau dia terjerat pinjol. Itu artinya Dona juga sudah mengetahuinya. “Apa kata Ibu? Aku habisin uang Mas Agung? Itu juga semua gara-gara Ibu!” timpal Intan dengan emosi. “Apa maksudmu, Intan?” tanya Agung. Ibu Siti terlihat agak panik. Gerak-gerik Ibu Siti makin menunjukkan kalau memang ada yang disembunyikan. Tapi hanya Intan yang menyadari hal itu. Dona hanya menjadi penonton setia di sana. Belum waktunya untuk Dona bicara. Intan terl
“Aku tak sudi tinggal bersama istri keduamu itu!” jawab Intan tegas. “Jangan egois, Intan. Kita tak punya pilihan lain. Kasihan anak-anak. Toh Dona juga tidak keberatan,” kata Agung. “Tentu saja tidak. Dengan senang hati pintu rumahku terbuka untuk istri pertama suamiku. Silahkan tinggal di rumahku!” Dona ikut menyahut. “Ibu juga boleh ikut tinggal di sana, kan Dona?” tanya Ibu Siti. “Tentu saja boleh. Sekarang pun boleh, Bu. Itu pun kalau Ibu mau,” jawab Dona dengan senyum lebar. “Mau dong! Bentar Ibu ambil tas Ibu dulu.” Ibu Siti begitu riang menerima ajakan Dona. Tak lama kemudian Ibu Siti keluar lagi dengan menenteng tas miliknya. Ibu Siti senang bukan main. Impian untuk memiliki menantu kaya raya akhirnya terwujud juga. Setelah semuanya siap, mereka berdua pun segera pergi dari saja. Tapi sebelum meninggalkan kontrakan Agung, Dona berkata,“Pintuku selalu terbuka untukmu, Intan. Silahkan datang kapan saja kamu mau.” Agung kembali meninggalkan Intan di sana bersama anak-a
“Bu, kenapa baju-baju Abid dimasukkan ke dalam tas?” Anak pertama Intan terbangun dan melihat Intan tengah beberes. Dengan cepat tangan Intan menghapus air matanya. Sudah cukup kedua anaknya melihatnya sedih dan menangis beberapa hari ini. Dia tak ingin mental kedua anaknya terganggu. “Gak apa-apa, Sayang. Kita harus pindah dari sini. Bude yang punya rumah sini sudah menjual rumahnya. Jadi, kita tidak bisa lagi menempatinya karena yang beli rumah ini akan datang,” jelas Intan dengan bahasa yang mudah dimengerti anak-anak. “Lalu kita mau tidur dimana, Bu?” tanya Abid lagi. “Nanti kita cari tempat untuk istirahat, ya, Nak. Abid sekarang ke kamar mandi dulu sambil cuci muka, ya. Ibu mau teruskan beres-beresnya.”Abid mengangguk lalu melaksanakan perintah ibunya. Anak sekecil itu sudah harus merasakan pahitnya kehidupan akibat ulah ibunya sendiri. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Saat ini Intan tak punya solusi apapun untuk masalahnya sendiri. Dia hanya bisa pasrah mengikut
Dalam benaknya, Intan merasa pernikahan suaminya dengan Dona memang disengaja. Hatinya mengatakan seperti itu setelah tadi bertemu dengan Dona. “Mata Dona menyiratkan amarah yang begitu besar saat melihatku. Tapi, kenapa dia bisa sampai semarah itu kepadaku? Bukannya dulu dia yang sering membullyku? Harusnya aku, kan, yang marah?” kata Intan dalam hati. Langkah Intan terhenti ketika Abid terjatuh karena dia terlalu cepat berjalan. Dia tidak sadar kalau tangannya menggandeng Abid. Pikirannya kini bercabang-cabang. “Sakit, Bu. Hu … hu … hu …” Abid menangis karena kakinya berdarah. “Astaghfirullah, Nak! Maafkan Ibu, Sayang. Maafkan Ibu,” ucap Intan. Tangannya sedikit gemetar karena melihat darah yang keluar dari kaki Abid. Intan memang ada ketakutan saat melihat darah. Tubuhnya akan mengeluarkan keringat dingin. Tangannya gemetar dan denyut jantungnya berdegup kencang. Dia tak tahu harus berbuat apa. Kepalanya mulai pusing karena melihat darah terlalu lama. Pandangannya berkunang-k
“Maksudnya apa, ya? Dan ini bukannya gudang?” tanya Intan. Intan dibawa Dona ke bagian paling belakang rumah mewahnya. Ada satu ruangan kecil yang tidak terpakai dan dijadikan sebagai gudang. “Iya memang gudang. Dan sekarang menjadi kamar kamu. Biar anak-anak kamu ada di kamar yang tadi. Aku dan suamiku akan menjaga mereka,” ujar Dona percaya diri. “Gak bisa! Mereka gak bisa tidur kalau tidak bersama denganku. Dia anak-anak aku, Dona!” tolak Intan tegas. “Dia juga anak suamiku. Suamiku juga berhak memberikan kenyamanan untuk mereka. Bukankah Mas Agung sudah bilang kalau kamu gak boleh egois?” “Tujuan sebenarnya kamu melakukan ini apa, Dona? Katakan! Aku yakin kamu akan maksud tersembunyi dibalik semua ini.”Dona tertawa kecil. Dia menatap tajam Intan lalu pergi begitu saja meninggalkan Intan di sana. Intan tak bergerak sama sekali di sana. Dia masih mencerna semua yang terjadi kepada dirinya. “Apa semua ini? Dan apa ini? Aku dijadikan ba*u oleh maduku? Allah …” Rasanya tidak te
Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu
“Kamu kenapa, sih, Gas? Memangnya aku salah omong, ya?” tanya Bayu sesaat setelah Intan pergi. Bagas berdecak. “Aku tahu kamu, Bay. Gak usah aneh-aneh, deh, kamu itu! Intan itu perempuan baik-baik, Bay.”“Astaga! Jadi kamu mikir aku mau aneh-aneh sama, Intan? Ya enggak lah, Gas! G*la aja kamu! Aku cuma kasihan aja sama dia,” bantah Bayu cepat. Sudah berteman lama membuat Bagas tahu sifat Bayu. Sejak dulu memang Bayu suka menggoda dan merayu perempuan hanya untuk mainan. Makanya sampai saat ini Bayu juga belum menikah karena dia masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang. “Aku tahu kamu, Bay. Makanya aku ingatkan kamu jangan macam-macam dengan Intan. Kasihan dia dan anak-anaknya nanti.” Nasehat Bagas kali ini mengena di hati Bayu. “Gak, Gas. Aku sekarang gak begitu. Sudah capek aku, Gas. Aku sudah berubah dan gak mau main-main lagi, Gas.”Setelah ibunya meninggal, Bayu memang berubah drastis. Dia menjadi pekerja keras dan jarang sekali mendekati perempuan seperti dulu. Bay
“Halo, Bro! Tumben kamu telepon. Pasti ada maunya, ya?” “Iya, Bro. Aku butuh bantuanmu di Pengadilan Agama Tangerang sekarang. Bisa, kan?”“Wait! Wait! Ada apa nih? Kok ke pengadilan agama? Ada urusan apa kamu di sana?”Seperti itulah awal mula percakapan Bagas dan Bayu di telepon. Yap! Bagas meminta bantuan pada Bayu temannya yang berprofesi sebagai pengacara untuk mendampingi Intan. Ide itu muncul dari Ibu Dewi yang merasa iba pada Intan. Awalnya Bagas memang terlihat cuek. Tapi pada saat dia mengantar Intan, hatinya merasa tersentuh. “Jangan salah sangka dulu. Aku minta kamu dampingi temanku di sana. Dia sekarang lagi ada sidang cerai dengan suaminya,” ujar Bagas menjelaskan. “Teman apa teman? Memangnya kamu sudah putus sama Sintia, Bro? Bukannya sebentar lagi kalian menikah?” tanya Bayu. “Sudah kamu gak usah banyak tanya dulu. Kasihan dia di sana sendirian dan pasti bingung. Nanti kapan-kapan aku ceritakan sama kamu. Namanya Intan. Dia teman kecilku dulu. Tolong bantu dia, ya
Sesampainya Intan di pengadilan, dia langsung masuk ke dalam ruang sidang. Intan tampak percaya diri walaupun tanpa didampingi pengacara. Jelas kontras sekali dengan Agung yang masuk dengan Dona serta pengacara. “Yakin tidak didampingi pengacara?” tanya Dona dengan suara pelan. Dona sengaja menghampiri Intan yang duduk di sebelah kiri. Sedangkan Agung dan pengacaranya duduk di sebelah kanan. Intan diam tak menjawab. Dia merasa tak perlu menanggapi pertanyaan dari Dona tersebut. Bahkan Intan sama sekali tidak melihat ataupun melirik ke arah Dona. Dia menganggap seolah-olah Dona tidak ada di sana. “Oke kalau itu maumu, Intan. Tapi aku kasih tahu sama kamu, ya … kalau ini belum ada apa-apanya. Kamu akan lebih menderita lagi!” ucap Dona lagi. Dona kembali duduk bersama dengan Agung. Dia terlihat tengah bicara sesuatu dengan Agung dan juga pengacara yang sudah disewanya. Persidangan pun dimulai. Semuanya berjalan dengan lancar di awal-awal. Tapi, di pertengahan sidang, emosi Intan tak