Dalam benaknya, Intan merasa pernikahan suaminya dengan Dona memang disengaja. Hatinya mengatakan seperti itu setelah tadi bertemu dengan Dona. “Mata Dona menyiratkan amarah yang begitu besar saat melihatku. Tapi, kenapa dia bisa sampai semarah itu kepadaku? Bukannya dulu dia yang sering membullyku? Harusnya aku, kan, yang marah?” kata Intan dalam hati. Langkah Intan terhenti ketika Abid terjatuh karena dia terlalu cepat berjalan. Dia tidak sadar kalau tangannya menggandeng Abid. Pikirannya kini bercabang-cabang. “Sakit, Bu. Hu … hu … hu …” Abid menangis karena kakinya berdarah. “Astaghfirullah, Nak! Maafkan Ibu, Sayang. Maafkan Ibu,” ucap Intan. Tangannya sedikit gemetar karena melihat darah yang keluar dari kaki Abid. Intan memang ada ketakutan saat melihat darah. Tubuhnya akan mengeluarkan keringat dingin. Tangannya gemetar dan denyut jantungnya berdegup kencang. Dia tak tahu harus berbuat apa. Kepalanya mulai pusing karena melihat darah terlalu lama. Pandangannya berkunang-k
“Maksudnya apa, ya? Dan ini bukannya gudang?” tanya Intan. Intan dibawa Dona ke bagian paling belakang rumah mewahnya. Ada satu ruangan kecil yang tidak terpakai dan dijadikan sebagai gudang. “Iya memang gudang. Dan sekarang menjadi kamar kamu. Biar anak-anak kamu ada di kamar yang tadi. Aku dan suamiku akan menjaga mereka,” ujar Dona percaya diri. “Gak bisa! Mereka gak bisa tidur kalau tidak bersama denganku. Dia anak-anak aku, Dona!” tolak Intan tegas. “Dia juga anak suamiku. Suamiku juga berhak memberikan kenyamanan untuk mereka. Bukankah Mas Agung sudah bilang kalau kamu gak boleh egois?” “Tujuan sebenarnya kamu melakukan ini apa, Dona? Katakan! Aku yakin kamu akan maksud tersembunyi dibalik semua ini.”Dona tertawa kecil. Dia menatap tajam Intan lalu pergi begitu saja meninggalkan Intan di sana. Intan tak bergerak sama sekali di sana. Dia masih mencerna semua yang terjadi kepada dirinya. “Apa semua ini? Dan apa ini? Aku dijadikan ba*u oleh maduku? Allah …” Rasanya tidak te
Sebenarnya berat bagi Intan melepas anak-anaknya tidur bersama dengan Dona. Tapi, rengekan Aldo membuatnya tidak bisa menolak. Sungguh hatinya terasa begitu sakit kala yang meminta sendiri adalah anaknya. Dengan berat hati Intan melepas anaknya untuk tidur bersama dengan ayah dan juga Dona. Ini adalah kali pertama dilakukan oleh Intan. “Nanti kalau adik tidak bisa tidur, minta ayah antar ke sini, ya?” Aldo menganggukkan kepalanya. Malam pun semakin larut. Mata Intan tidak bisa terpejam. Dia yang sudah terbiasa tidur bersama kedua anaknya, tidak bisa kalau tidak ada mereka. Intan sudah berkali-kali memejamkan mata tapi tidak bisa juga terpejam. Akhirnya Intan inisiatif untuk melihat ke kamar Dona. Dia berjalan perlahan menuju ke kamar itu. Dia berharap anak-anaknya juga sama seperti dirinya yang tidak bisa tidur. Pintu kamar Dona tidak tertutup rapat. Dari celah pintu itu, Intan mengintip ke dalam. Sebuah pemandangan yang ingin dilihat oleh Intan pun tersaji. Kedua anak Intan bis
“Iya, Bu. Kakak mau di mandiin sama Mama Dona. Boleh, kan?” sahut mulut kecil Abid. Suara Intan tertahan di tenggorokan. Dia sampai tak bisa berkata-kata karena anaknya sudah memanggil Dona dengan sebutan ‘mama’. Ucapan Dona tidak bisa diabaikan begitu saja. Semakin dibiarkan, dia akan semakin menguasai anak-anaknya. “Sama Ibu saja, ya, Kak. Ibu sudah selesai beres-beres dan masaknya kok. Ayo!” kata Intan memaksa. Abid menggelengkan kepala. “Tidak, Ibu. Kakak maunya sama Mama Dona. Kata Mama Dona, nanti kakak mau dibelikan mobil-mobilan yang bisa dinaiki. Tapi, kakak harus nurut sama Mama Dona.”Tangan Intan mengepal kuat. Dia sungguh emosi karena perbuatan Dona. Bisa-bisanya Dona memanipulasi anak sekecil Abid hanya untuk kepentingannya semata. “Kamu apakan anakku, Dona? Jangan cuci ot*k anakku dengan hal-hal yang tidak seharusnya! Dia anakku bukan anakmu!” ujar Intan pelan tapi sangat jelas. Dona mengangkat bahunya. “Tanya sendiri sama anaknya. Aku aja gak ngapa-ngapain kok. Ja
Tamu pertama belum duduk, disusul tamu-tamu yang lainnya. Melihat semua tamu Dona, Intan semakin kaku dan kakinya tidak bisa digerakkan. “Apa yang aku lihat ini? Kenapa mereka semua ada di sini? Mereka tamu Dona?” ucap Intan dalam hati. Yap! Intan mengenal semua tamu yang diundang oleh Dona dan begitu pula sebaliknya. Mereka semua tertawa melihat penampilan Intan yang lusuh. Hanya satu orang yang tidak tertawa dan belum lama ini dia bertemu dengan orang itu. “Bukannya dia itu Intan yang —” Dona mengangguk ketika salah satu dari mereka bertanya. “Benaran Intan itu?” tanya yang lainnya memastikan. Satu diantara mereka menghampiri Intan dan yakin kalau Intan orang yang dimaksud. Semuanya kembali tertawa lebar. Tawa yang begitu nyaring terdengar di telinga. Dona sukses mempermalukan Intan. Namun pertunjukan belum selesai. Masih ada hal yang lebih membuat Intan malu. “Dia di sini ngapain, Don? Kamu nampung dia? Bukannya kamu itu benci banget sama dia, ya?” bisik teman dekat Dona. Te
Agung menarik Dona agak menjauh dari teman-teman Dona. Dia tidak ingin pembicaraannya didengarkan oleh orang lain. Apalagi ini menyangkut urusan pribadi keluarganya. “Apa? Menceraikan Intan? Mana mungkin aku melakukan itu, Dona!” kata Agung dengan ekspresi wajah yang terkejut. “Kenapa tidak mungkin? Bukankah aku sudah mengikuti semua kemauan kamu?” “Tapi, bukan seperti ini kesepakatan kita. Kamu hanya ingin aku menikahi saja, kan?”“Iya itu, kan, dulu. Sekarang aku mau kamu jadikan aku istri satu-satunya. Aku gak mau ada orang lain di antara kita.”“Gak bisa begitu, dong, Dona. Kasihan anak-anak.” Agung masih berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahannya dengan Intan. “Biar anak-anak aku yang urus. Aku bisa dan mampu kok. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan, bukan?” ucap Dona sangat percaya diri. Agung frustasi mendengar permintaan Dona. Tak mungkin dia menceraikan Intan karena ada Abid dan Aldo. Agung tak ingin mental anaknya terganggu karena perceraian kedua orang tuanya
“Tapi aku sudah tidak sanggup lagi di sini. Satu hari saja rasanya sudah satu tahun. Tolong biarkan aku dan anak-anak pergi!” ucap Intan terisak. “Kamu kenapa, sih, Intan?! Harusnya kamu itu bersyukur aku masih mau mencari uang untuk menutupi hutangmu. Andai aku tak peduli padamu, sudah aku tinggalkan kamu dan anak-anak dengan hutangmu yang banyak itu. Sudahlah terima saja semua ini. Dona sudah berbaik hati padamu dengan menampung kamu dan anak-anak di sini. Jangan banyak menuntut!” Agung mulai muak dengan Intan. Bukannya bersyukur, Intan malah seakan menyalahkan dirinya.“Apa kamu bilang, Mas? Aku banyak nuntut? Nuntut apa coba kamu sebutkan?!” Intan mulai terpancing juga emosinya. Sudah cukup bersabar dia dengan kehidupan rumah tangganya itu. Dia sama sekali tak mengeluh berapapun uang yang diberikan oleh Agung. Intan begitu paham jika suaminya itu sudah bekerja keras. Dia juga tidak mengeluh ketika mertuanya sering minta jatah uangnya. “Aku gak mau bertengkar. Capek!” kata Agun
“Intan! Aku mau bicara,” ucap Dona. Intan yang melihat pintu rumah Dona terbuka berusaha untuk menerobos tanpa menghiraukan ucapan Dona. Dona yang sudah pasang badan pun menghalangi Intan agar tidak masuk ke dalam rumah. “Aku mau ambil anakku, Dona! Tolong izinkan aku masuk!” ucap Intan sendu. Dona mendorong tubuh Intan dengan sangat kencang. Dia tak mengizinkan Intan untuk masuk ke dalam rumahnya. “Tak aku izinkan kamu masuk rumahku lagi!” “Aku mau mengambil anakku, Dona! Tolong kembalikan mereka padaku! Tolong …” Intan tak kuasa menahan air matanya karena tak mau meninggalkan anak-anaknya di rumah Dona. Dona diam saja melihat Intan yang memohon-mohon kepadanya dengan tangannya berkacak pinggang. “Aku akan lakukan apa saja asal aku boleh masuk, Dona. Tolong aku!” Lagi-lagi Intan mengiba. “Benarkah itu? Kamu yakin dengan ucapanmu? Apapun yang aku mau?” tanya Dona memastikan. Intan menganggukkan kepala. “Kembalikan uangku dan kamu harus mau bercerai dengan Mas Agung,” kata D
Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu
“Kamu kenapa, sih, Gas? Memangnya aku salah omong, ya?” tanya Bayu sesaat setelah Intan pergi. Bagas berdecak. “Aku tahu kamu, Bay. Gak usah aneh-aneh, deh, kamu itu! Intan itu perempuan baik-baik, Bay.”“Astaga! Jadi kamu mikir aku mau aneh-aneh sama, Intan? Ya enggak lah, Gas! G*la aja kamu! Aku cuma kasihan aja sama dia,” bantah Bayu cepat. Sudah berteman lama membuat Bagas tahu sifat Bayu. Sejak dulu memang Bayu suka menggoda dan merayu perempuan hanya untuk mainan. Makanya sampai saat ini Bayu juga belum menikah karena dia masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang. “Aku tahu kamu, Bay. Makanya aku ingatkan kamu jangan macam-macam dengan Intan. Kasihan dia dan anak-anaknya nanti.” Nasehat Bagas kali ini mengena di hati Bayu. “Gak, Gas. Aku sekarang gak begitu. Sudah capek aku, Gas. Aku sudah berubah dan gak mau main-main lagi, Gas.”Setelah ibunya meninggal, Bayu memang berubah drastis. Dia menjadi pekerja keras dan jarang sekali mendekati perempuan seperti dulu. Bay
“Halo, Bro! Tumben kamu telepon. Pasti ada maunya, ya?” “Iya, Bro. Aku butuh bantuanmu di Pengadilan Agama Tangerang sekarang. Bisa, kan?”“Wait! Wait! Ada apa nih? Kok ke pengadilan agama? Ada urusan apa kamu di sana?”Seperti itulah awal mula percakapan Bagas dan Bayu di telepon. Yap! Bagas meminta bantuan pada Bayu temannya yang berprofesi sebagai pengacara untuk mendampingi Intan. Ide itu muncul dari Ibu Dewi yang merasa iba pada Intan. Awalnya Bagas memang terlihat cuek. Tapi pada saat dia mengantar Intan, hatinya merasa tersentuh. “Jangan salah sangka dulu. Aku minta kamu dampingi temanku di sana. Dia sekarang lagi ada sidang cerai dengan suaminya,” ujar Bagas menjelaskan. “Teman apa teman? Memangnya kamu sudah putus sama Sintia, Bro? Bukannya sebentar lagi kalian menikah?” tanya Bayu. “Sudah kamu gak usah banyak tanya dulu. Kasihan dia di sana sendirian dan pasti bingung. Nanti kapan-kapan aku ceritakan sama kamu. Namanya Intan. Dia teman kecilku dulu. Tolong bantu dia, ya
Sesampainya Intan di pengadilan, dia langsung masuk ke dalam ruang sidang. Intan tampak percaya diri walaupun tanpa didampingi pengacara. Jelas kontras sekali dengan Agung yang masuk dengan Dona serta pengacara. “Yakin tidak didampingi pengacara?” tanya Dona dengan suara pelan. Dona sengaja menghampiri Intan yang duduk di sebelah kiri. Sedangkan Agung dan pengacaranya duduk di sebelah kanan. Intan diam tak menjawab. Dia merasa tak perlu menanggapi pertanyaan dari Dona tersebut. Bahkan Intan sama sekali tidak melihat ataupun melirik ke arah Dona. Dia menganggap seolah-olah Dona tidak ada di sana. “Oke kalau itu maumu, Intan. Tapi aku kasih tahu sama kamu, ya … kalau ini belum ada apa-apanya. Kamu akan lebih menderita lagi!” ucap Dona lagi. Dona kembali duduk bersama dengan Agung. Dia terlihat tengah bicara sesuatu dengan Agung dan juga pengacara yang sudah disewanya. Persidangan pun dimulai. Semuanya berjalan dengan lancar di awal-awal. Tapi, di pertengahan sidang, emosi Intan tak