“Tapi aku sudah tidak sanggup lagi di sini. Satu hari saja rasanya sudah satu tahun. Tolong biarkan aku dan anak-anak pergi!” ucap Intan terisak. “Kamu kenapa, sih, Intan?! Harusnya kamu itu bersyukur aku masih mau mencari uang untuk menutupi hutangmu. Andai aku tak peduli padamu, sudah aku tinggalkan kamu dan anak-anak dengan hutangmu yang banyak itu. Sudahlah terima saja semua ini. Dona sudah berbaik hati padamu dengan menampung kamu dan anak-anak di sini. Jangan banyak menuntut!” Agung mulai muak dengan Intan. Bukannya bersyukur, Intan malah seakan menyalahkan dirinya.“Apa kamu bilang, Mas? Aku banyak nuntut? Nuntut apa coba kamu sebutkan?!” Intan mulai terpancing juga emosinya. Sudah cukup bersabar dia dengan kehidupan rumah tangganya itu. Dia sama sekali tak mengeluh berapapun uang yang diberikan oleh Agung. Intan begitu paham jika suaminya itu sudah bekerja keras. Dia juga tidak mengeluh ketika mertuanya sering minta jatah uangnya. “Aku gak mau bertengkar. Capek!” kata Agun
“Intan! Aku mau bicara,” ucap Dona. Intan yang melihat pintu rumah Dona terbuka berusaha untuk menerobos tanpa menghiraukan ucapan Dona. Dona yang sudah pasang badan pun menghalangi Intan agar tidak masuk ke dalam rumah. “Aku mau ambil anakku, Dona! Tolong izinkan aku masuk!” ucap Intan sendu. Dona mendorong tubuh Intan dengan sangat kencang. Dia tak mengizinkan Intan untuk masuk ke dalam rumahnya. “Tak aku izinkan kamu masuk rumahku lagi!” “Aku mau mengambil anakku, Dona! Tolong kembalikan mereka padaku! Tolong …” Intan tak kuasa menahan air matanya karena tak mau meninggalkan anak-anaknya di rumah Dona. Dona diam saja melihat Intan yang memohon-mohon kepadanya dengan tangannya berkacak pinggang. “Aku akan lakukan apa saja asal aku boleh masuk, Dona. Tolong aku!” Lagi-lagi Intan mengiba. “Benarkah itu? Kamu yakin dengan ucapanmu? Apapun yang aku mau?” tanya Dona memastikan. Intan menganggukkan kepala. “Kembalikan uangku dan kamu harus mau bercerai dengan Mas Agung,” kata D
Ibu Siti mendorong Abid dan Aldo dengan sangat kencang. Tubuh kedua balita yang notabenenya adalah cucunya sendiri itu terjerembab ke lantai dengan sangat keras. Tangisan Abid dan Aldo sangat kencang sekali karena kaki mereka terbentur lantai. Intan dengan cepat segera berlari dan menghampiri keduanya. Dia memeluk kedua buah hatinya dengan perasaan yang tidak karuan. “Mereka ini cucu, Ibu! Kenapa Ibu tega? Ibu boleh benci sama Intan. Tapi, jangan pada mereka, Bu,” kata Intan sambil menatap mata Ibu Siti. “Cuih! Tak sudi aku memiliki cucu dari wanita seperti kamu! Pergi kamu dari sini!” usir Ibu Siti dengan tangan kanan menunjuk ke arah jalan. “Astaghfirullah hal adzim! Tega sekali, Ibu.” Sakit rasanya mendengar ucapan Ibu Siti yang tak mau menganggap Abid dan Aldo sebagai cucunya, darah dagingnya sendiri. “Sudahlah kamu cepat pergi dari sini. Muak aku wajahmu!” kata Ibu Siti lagi. “Baiklah, Bu. Ibu tenang saja mulai hari ini, aku tidak akan mengganggu ibu dan juga anak ibu. Aku
“Tolong … jambret! Tolong!” Intan berteriak sekuat tenaga karena tas kecil yang dia bawa diambil orang tak kenal saat dia dan anaknya tengah beristirahat.Saat itu, spontan Intan berlari mengejar jambret. Tapi karena teringat anak-anaknya, Intan memilih kembali ke tempat awal dengan tetap berteriak meminta tolong. Orang-orang yang mendengar teriakan Intan mulai mendekat. Ada beberapa orang yang berusaha mencari penjambret berbekal dengan keterangan Intan. Tapi nyatanya nihil. Penjambret itu berhasil lolos dengan membawa uang hasil penjual hp Intan. Intan sudah tidak bisa menangis lagi. Dia tidak bisa berkata-kata dan tidak berpikir lagi. Uang itu adalah harapan terakhirnya untuk bisa sampai ke kampung halaman. “Ya Allah … sekarang aku harus bagaimana? Bagaimana dengan anak-anak?” Batin Intan berkecamuk. Kumpulan orang-orang yang mengeliling Intan sudah pergi satu per satu. Kini hanya tinggal Intan dan kedua anaknya. Tadi ada yang menyarankan Intan untuk lapor polisi. Tapi sepertin
Saat mendengar Agung mengucapkan kata ‘sayang’, Dona melompat kegirangan di dalam kamarnya. Yap! Dona seperti orang g*la karena ini pertama kalinya Agung menyebutnya dengan kata-kata itu. Dia tak segera membuka pintu untuk Agung karena masih mengontrol emosinya yang tengah meledak karena gembira. Dan panggilan ‘sayang’ dari Agung pun terdengar kembali. “Kontrol dirimu, Dona! Jangan sampai suamimu itu besar kepala. Kamu harus bisa membuat dia selalu patuh padamu,” gumam Dona pada dirinya sendiri. Tok! Tok! Tok!“Kalau kamu tidak mau buka pintunya, lebih baik aku pergi saja, ya.”Suara kaki Agung yang berjalan pun begitu jelas terdengar oleh Dona. Dia pun bergegas membuka pintu kamarnya dan,“Tunggu, Mas!” seru Dona. Agung berhenti tapi tidak berbalik badan hingga beberapa detik. “Kamu mau di situ terus? Katanya mau bicara denganku,” kata Dona karena Agung tak kunjung bicara. Agung menatap Ibu Siti yang ternyata tengah bersembunyi dibalik tembok. Ibunya itu sengaja berbuat demikian
“Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih telah memberi kami rezeki makanan yang tak terduga. Terima kasih masih memberikan kesempatan pada anak saya untuk bisa merasakan makanan enak. Terima kasih, Ya Allah.” Intan berulang kali berkata demikian di dalam hatinya. Dia yang sudah putus asa ternyata Allah kirimkan orang baik untuk membantunya. Abid dan Aldo merasa sangat senang karena bisa makan sate. Mereka makan dengan sangat lahap sekali. Intan yang hendak meneteskan air mata, buru-buru menghapusnya karena tak ingin dilihat oleh sang anak. Tak tahu harus kemana, Intan dan kedua anaknya masih bertahan di masjid itu. Saat itu jarum sudah menunjukkan pukul delapan malam. Masih ada beberapa jamaah yang bertahan di masjid. “Aku harus kemana sekarang? Anak-anak juga sudah tidur. Bagaimana ini?” gumam Intan seorang diri. Tiba-tiba saja ada perempuan yang menghampiri Intan yang tengah kebingungan. “Maaf, Bu, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan muda itu.“Saya sejak tadi memperli
“A—ada apa, ya, ini, Pak?” tanya Intan pada dua orang laki-laki bertubuh tegap di depan pintu kamarnya. Mereka berdua memakai seragam polisi yang membuat Intan ketakutan setengah m*ti. “Selamat pagi! Mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami hanya melakukan patroli rutin ke penginapan-penginapan di dekat sini. Boleh kami minta identitasnya? Dan boleh kami periksa ke dalam?” kata salah seorang polisi kepada Intan. Sungguh ini adalah pengalaman pertama bagi Intan. Oleh karena itu, dia sangat gugup menghadapinya. Seumur-umur baru kali ini dia berhadapan langsung dengan polisi. “Bo—leh, Pak. Silahkan!” Intan mengizinkan polisi untuk memeriksa ke dalam. “Tapi mohon maaf, Pak, untuk identitas asli saya tidak ada. Kemarin saya habis kena jambret dan kebetulan KTP saya ada di tas yang dijambret. Tapi, saya punya salinannya, Pak. Tunggu sebentar saya ambilkan!” Intan membuka tas jinjing yang berisi baju itu. Dia meletakkan dokumen penting seperti buku nikah, akte kelahiran anak da
“Hey, Intan …” Suara perempuan yang sudah tidak ingin didengar Intan. Perempuan itu berdiri tepat di depan Intan saat ini. “Mau apa kamu? Jadi, semua orang ini suruhan kamu?” tanya Intan ketus. “Tentu saja. Apa, sih, yang gak bisa buat aku? Asalkan ada uang, semuanya beres!” Perempuan itu menjawab dengan nada yang angkuh. “Dan kamu tahu gak kalau yang membayar ibu kontrakan kamu yang dulu itu aku? Gak tahu, ya! Ya sudah sekarang aku kasih tahu kamu. Itu aku sengaja membayar bisa mau mengusir kamu dari sana,” sambungnya lagi. “Apa? Astaghfirullah hal adzim! Belum puas kamu menyakiti hatiku dan anak-anak? Apalagi yang akan kamu lakukan? Ini sudah sangat keterlaluan!” Intan begitu terbawa emosi hingga tak sadar dirinya bicara sambil berteriak. Hingga orang-orang yang ada di sana memperhatikannya beberapa detik. “Belum! Kamu belum menderita seperti aku dan ibuku, Intan! Aku akan lebih buat kamu menderita lagi dan lagi!” Terlihat sekali amarah perempuan itu meluap. “Kenapa kamu seper
Masih menjadi pertanyaan bagi Bagas kepada Intan berubah pikiran. Ibu Lastri sama sekali tidak membantunya mendapat jawaban. “Dapat kerjaan? Dapat dimana? Kenapa bisa cepat sekali dapat kerjanya?” gumam Bagas saat di dalam mobil. “Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ponsel yang aku berikan saja sampai dikembalikan. Aku harus cari tahu ada apa!” “Assalamualaikum!” Bagas masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Ibu Dewi yang tengah bersantai pun menjawab dan melihat ke arah anaknya yang baru saja pulang. “Waalaikumsalam. Lho … kenapa kamu murung, Sayang? Ada masalah, kah, di rumah sakit?” tanya Ibu Dewi setelah menjawab salam. Hati dan pikiran Bagas lelah. Dia langsung berbaring di dekat Ibu Dewi. Kepalanya dia letakkan dipangkuan sang ibu. Tempat ternyaman yang Bagas punya saat ini. Matanya terpejam beberapa detik. “Kamu kenapa, Gas? Cerita sama bunda,” ucap Ibu Dewi lirih. “Bagas capek, Bun.” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Setelah beberapa saat ada di pangkuan ibunya
Tak ada hanya didorong, Intan dijambak orang itu. Seorang perempuan berambut panjang dan berkulit putih. Intan sama sekali tidak mengenal perempuan yang ada di depannya itu. Sungguh sadis perbuatan perempuan itu karena dilakukan di depan anak Intan. Bahkan anak Intan sampai menangis melihat ibunya dianiaya orang asing. “Hey, perempuan gak tahu diri … jangan ganggu tunangan orang kamu, ya!” katanya. “Ganggu tunangan orang? Siapa? Aku saja tidak kenal kamu,” jawab Intan sembari menahan sakit dibagian telapak tangan yang lecet karena kena batu. “Jangan pura-pura gak ngerti kamu! Kamu, kan, yang kemarin bikin Bagas gak pulang tepat waktu?” sahut perempuan itu. Yap! Perempuan itu adalah Sintia, tunangan dari Bagas. Intan tidak tahu karena memang belum pernah bertemu dengan Sintia sebelumnya. “Astaghfirullah! Jadi Mas Bagas maksud kamu? Maaf, ya, aku gak meminta dia untuk menungguku. Aku juga tidak tahu kalau kamu tunangannya,” jelas Intan. “Satu lagi, aku tidak merebut Mas Bagas dar
“Jangan menuduh sembarangan kamu! Kalau tidak tahu ceritanya, gak usah sok tahu! Udahlah aku lagi males berdebat sama kamu.” Bagas mematikan teleponnya dengan perasaan kesal. Baru saja Sintia meneleponnya dan menuduh dirinya tengah berselingkuh. Tentu saja Bagas marah karena tuduhan itu tidak berdasar. Memang akhir-akhir ini hubungan mereka sedang tidak baik. Ada saja hal membuat keduanya bertengkar. Kata Ibu Dewi, itu merupakan ujian saat seseorang hendak menikah. Tapi, yang dirasakan Bagas bukan seperti itu. Sintia semakin semena-mena dan terkesan seperti anak kecil. Dia selalu ingin diprioritaskan tanpa mengerti kesibukan Bagas. Selesai menelepon Bagas duduk-duduk dulu di depan ruangan Intan. Dia mengontrol emosinya lebih dulu di sana sambil memikirkan permintaan Intan. Setelah dipikirkan, memang seharusnya Bagas sudah pulang. Tugasnya sebagai dokter tidak bisa ditinggalkan lama begitu saja.“Halo, Bay …” Bagas menelepon Bayu. “Ada apa, Gas? Intan gak apa-apa?” tanya Bayu. Sa
Bagas dan Bayu terkejut melihat beberapa polisi yang ikut masuk ke dalam bangunan kosong tersebut. Mereka bahkan tak tahu darimana arah polisi-polisi itu datang. “Berarti di dalam gawat, Gas. Kita tunggu saja sampai Sandi dan timnya selesai, ya,” ujar Bayu pada Bagas yang masih ingin masuk ke dalam menyusul Sandi. Setelah dipikir-pikir, Bayu ada benarnya juga. Biar bagaimanapun dia tak memiliki basic beladiri. Apalagi jika di dalam ada orang yang bersenjata. Memang lebih baik menunggu Sandi di luar. Tak berselang lama, ada suara tembakan yang membuat Bagas dan Bayu terkejut. Keduanya saling memandang dan menelan ludah. Situasi semakin menegangkan kala mereka mendengar suara tembakan untuk yang kedua kalinya. “Gimana ini, Bay? Aku tetap ingin masuk ke sana,” ujar Bagas. “Bahaya, Gas! Nyawamu bisa jadi taruhannya. Kita tunggu saja di sini,” jawab Bayu. Bagas menuruti ucapan Bayu walaupun dia sebenarnya tak tenang. Tapi, lima belas menit kemudian dia sudah tidak tahan dan memilih
Agung sudah hampir sampai di rumah Dona. Tapi, saat dia sudah dekat, Agung melihat ada polisi tengah berdiri di depan rumah Dona. Sontak saja hal itu membuat Agung takut. Dia bersiap untuk lari. Namun naasnya, dia menginjak botol air mineral yang dia jatuhkan sendiri sampai menimbulkan bunyi. “Tangkap dia, Pak!” Kalimat ini yang didengar Agung berulang kali. Agung berlari tak tentu arah. Dia sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Dia terus saja berlari walaupun sebenarnya kakinya sudah capek. Setelah berlari hampir setengah jam, akhirnya Agung bisa tertangkap juga. Dia menyerah karena benar-benar sudah tidak kuat berlari lagi. Dua polisi tersebut langsung membawa Agung ke mobil polisi lalu diinterogasi. Terlihat Bayu dan Bagas sudah menunggu di sana. “Mana Intan?!” seru Bagas. Bogem mentah hampir saja melayang di pipi Agung kalau tidak dicegah pak polisi.“Sabar! Belum tentu juga mas ini tersangkanya. Dengarkan dulu saja,” ucap Bayu. Dia juga ikut menenangkan Bagas. Walau
“Ada apa, Bay?” tanya Bagas yang sudah menyusul. “Intan dibawa mobil itu, Gas. Ayo kita kejar mereka!” Bayu dan Bagas langsung berlari menuju mobil. Secepat kilat Bayu berusaha mengejar mobil berwarna hitam yang membawa Intan. Keduanya sama-sama tegang dan fokus ke depan. “Cepat kejar, Bay! Jangan sampai kita kehilangan mereka!” Bayu mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Di tengah-tengah pengejaran, ponsel Bagas selalu berbunyi. Ada pesan masuk yang sangat banyak dan juga panggilan dari Sintia. Tak ingin terganggu dengan panggilan Sintia itu, Bagas memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya. “Kok aku ada firasat kalau itu suaminya Intan, ya, Gas,” kata Bayu di sela-sela mengemudi. “Aku gak tahu, Bay. Tapi, kenapa dia melakukan itu? Apa alasannya?”Keduanya terus bicara. Semakin mereka banyak bicara membuat Bayu tidak konsentrasi hingga dirinya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Karena hal itu, mereka kehilangan jejak mobil yang membawa Nirmala. “Maafin aku, Gas,” ucap Bayu
“Kamu kenapa, sih, Gas? Memangnya aku salah omong, ya?” tanya Bayu sesaat setelah Intan pergi. Bagas berdecak. “Aku tahu kamu, Bay. Gak usah aneh-aneh, deh, kamu itu! Intan itu perempuan baik-baik, Bay.”“Astaga! Jadi kamu mikir aku mau aneh-aneh sama, Intan? Ya enggak lah, Gas! G*la aja kamu! Aku cuma kasihan aja sama dia,” bantah Bayu cepat. Sudah berteman lama membuat Bagas tahu sifat Bayu. Sejak dulu memang Bayu suka menggoda dan merayu perempuan hanya untuk mainan. Makanya sampai saat ini Bayu juga belum menikah karena dia masih ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang. “Aku tahu kamu, Bay. Makanya aku ingatkan kamu jangan macam-macam dengan Intan. Kasihan dia dan anak-anaknya nanti.” Nasehat Bagas kali ini mengena di hati Bayu. “Gak, Gas. Aku sekarang gak begitu. Sudah capek aku, Gas. Aku sudah berubah dan gak mau main-main lagi, Gas.”Setelah ibunya meninggal, Bayu memang berubah drastis. Dia menjadi pekerja keras dan jarang sekali mendekati perempuan seperti dulu. Bay
“Halo, Bro! Tumben kamu telepon. Pasti ada maunya, ya?” “Iya, Bro. Aku butuh bantuanmu di Pengadilan Agama Tangerang sekarang. Bisa, kan?”“Wait! Wait! Ada apa nih? Kok ke pengadilan agama? Ada urusan apa kamu di sana?”Seperti itulah awal mula percakapan Bagas dan Bayu di telepon. Yap! Bagas meminta bantuan pada Bayu temannya yang berprofesi sebagai pengacara untuk mendampingi Intan. Ide itu muncul dari Ibu Dewi yang merasa iba pada Intan. Awalnya Bagas memang terlihat cuek. Tapi pada saat dia mengantar Intan, hatinya merasa tersentuh. “Jangan salah sangka dulu. Aku minta kamu dampingi temanku di sana. Dia sekarang lagi ada sidang cerai dengan suaminya,” ujar Bagas menjelaskan. “Teman apa teman? Memangnya kamu sudah putus sama Sintia, Bro? Bukannya sebentar lagi kalian menikah?” tanya Bayu. “Sudah kamu gak usah banyak tanya dulu. Kasihan dia di sana sendirian dan pasti bingung. Nanti kapan-kapan aku ceritakan sama kamu. Namanya Intan. Dia teman kecilku dulu. Tolong bantu dia, ya
Sesampainya Intan di pengadilan, dia langsung masuk ke dalam ruang sidang. Intan tampak percaya diri walaupun tanpa didampingi pengacara. Jelas kontras sekali dengan Agung yang masuk dengan Dona serta pengacara. “Yakin tidak didampingi pengacara?” tanya Dona dengan suara pelan. Dona sengaja menghampiri Intan yang duduk di sebelah kiri. Sedangkan Agung dan pengacaranya duduk di sebelah kanan. Intan diam tak menjawab. Dia merasa tak perlu menanggapi pertanyaan dari Dona tersebut. Bahkan Intan sama sekali tidak melihat ataupun melirik ke arah Dona. Dia menganggap seolah-olah Dona tidak ada di sana. “Oke kalau itu maumu, Intan. Tapi aku kasih tahu sama kamu, ya … kalau ini belum ada apa-apanya. Kamu akan lebih menderita lagi!” ucap Dona lagi. Dona kembali duduk bersama dengan Agung. Dia terlihat tengah bicara sesuatu dengan Agung dan juga pengacara yang sudah disewanya. Persidangan pun dimulai. Semuanya berjalan dengan lancar di awal-awal. Tapi, di pertengahan sidang, emosi Intan tak