Petir menggelegar di tengah malam disertai hujan deras. Astri terbangun dari tidurnya. Ditengoknya jam dinding berwarna hijau yang ternyata menunjukkan waktu dini hari.
Kakinya menuruni ranjang menuju kamar mandi. Berwudhu lalu menunaikan shalat sunnah dua rakaat yang menjadi kebiasaannya.
Tangan menengadah, kaki bersimpuh dengan berurai air mata. Teringat akan putranya yang telah lama tak ditemui. Mungkin sekarang sudah dewasa. Bukan Astri tak mau menemuinya, tapi dia tak sanggup jika Dafa membenci ibu yang telah meninggalkannya dua puluh tahun lamanya. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah dia tumbuh menjadi lelaki yang tampan seperti ayahnya? Masihkah Dafa ingat pada Astri setelah sekian lamanya tak bertemu? Akankah nasib mempertemukan mereka kembali suatu saat nanti?
"Ya Allah, jagalah selalu putra hamba dimanapun dia berada. Semoga hidupnya selalu dilimpahi kebahagiaan walau tanpa ada hamba di sisinya. Hamba sangat merindukannya, ya Allah. Hamba ingin bertemu dengannya walau hanya sekali saja sebelum hamba meninggalkan dunia ini. Hamba ingin melihatnya, melihat darah daging hamba, melihat anak yang telah hamba perjuangkan dengan taruhan nyawa. Ampuni hamba ya Rabb, ampuni hamba yang telah meninggalkannya dulu. Hamba tak bisa memutar waktu, hamba juga tak mungkin berandai-andai karena semua ini sudah dalam ketentuan-Mu. Hamba hanya berharap bisa bertemu lagi dengan putra hamba tercinta."
Dibukanya kitab suci dan membaca lembar demi lembar untuk menenangkan hatinya yang gundah.
"As, aku tak sanggup jika harus berpisah denganmu. Tolong, jangan dengarkan permintaan ibu untuk pergi dari sini. Kita pasti bisa menghadapi semuanya. Aku sangat mencintaimu, As."
"Aku yang merasa tak sanggup, Mas. Janganlah menentang keinginan ibu. Kamu anak yang berbakti. Seorang laki-laki akan tetap menjadi milik ibunya sampai kapanpun. Aku berterima kasih atas segala cinta kasihmu selama ini. Aku yang telah menghancurkan semuanya. Mungkin selama ini akulah penghalang rejekimu sehingga hidup kita selalu pas-pasan bahkan kurang. Aku yang tak pandai mengatur keuangan sehingga berutang kesana kemari. Aku akan berusaha melunasi semua utang itu."
"As, tolong jangan pikirkan masalah itu. Aku tak mempermasalahkanmu yang berutang karena semua juga salahku yang tak mampu bekerja lebih giat."
"Tidak Mas, kamu sudah berusaha sekuat tenaga untuk menafkahi kami. Aku yang salah."
"Jangan salahkan dirimu sendiri, As. Aku juga ikut andil di sini. Sekarang, kita harus memikirkan bagaimana membayar hutang pada tante Hamidah. Aku akan bekerja lebih keras lagi, As. Aku janji."
Astri menggeleng. Air mata telah berjatuhan di wajah wanita beranak satu itu.
"Mas, jatuhkanlah talak padaku, aku tak ingin ibu juga membencimu. Cukup aku saja yang beliau benci."
"As, sadarkah kamu dengan apa yang kamu ucapkan? Atau kamu sudah mempunyai kekasih lain sehingga begitu mudahnya meminta cerai dariku?"
"Mana mungkin aku mempunyai lelaki lain sedangkan kamu tahu sendiri aku selalu ada di sampingmu? Aku hanya tak ingin menghancurkan hubunganmu dengan ibu. Biarlah aku saja yang mengalah, aku pergi dari kehidupan kalian. Carilah penggantiku yang bisa menyayangi Dafa dan sesuai dengan kriteria idaman ibu. Jangan cari wanita yang bermasalah sepertiku. Aku mencintaimu, Mas. Aku tak ingin kamu semakin durhaka jika tetap mempertahankanku. Tolong, aku mohon, kalau mas Is juga mencintaiku, tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi seperti keinginan ibu."
"As ...."
"Mas, aku mohon ...." Astri menyatukan kedua tangan di depan dadanya.
"Baiklah As, aku akan berikan apa yang kau minta," Ismail memejamkan mata sejenak. Tangan kanan diletakkannya di atas kepala istri yang sangat ia cintai. "Hari ini dengan sadar, aku Ismail bin Dahlan menjatuhkan talak satu kepada kamu Astri Widyani binti Soleh."
Ismail memejamkan mata kembali sambil mengusap pelan rambut hitam istrinya-ralat mantan istrinya.
"Maaf As, maafkan aku." Ismail tergugu dan memeluk Astri. Hatinya tak rela melepaskan wanita yang telah menemani hidupnya selama beberapa tahun.
Astri balas memeluk Ismail erat. Mungkin sebagai pelukan perpisahan antara mereka.
"Aku juga minta maaf Mas, selama ini aku selalu menyusahkanmu. Aku selalu jadi beban untuk dirimu."
"Jangan katakan itu lagi As, aku sangat mencintaimu tapi aku juga tak sanggup jika harus kehilangan orang tuaku."
"Aku paham Mas, aku mengerti. Tak usah khawatirkan diriku. Mas tetap menjadi orang yang berarti dalam hidupku. Terima kasih, telah memberikan talak padaku, setidaknya kakiku lebih ringan melangkah. Aku akan mencari pekerjaan agar bisa membayar utang-utangku pada tante Hamidah. Aku akan menemui beliau dulu sebelum pergi."
Ismail hanya mengangguk-angguk sambil berderai air mata. Tanpa mereka sadari, ada bocah berumur 7 tahun yang menyaksikan semuanya. Walau tak paham keseluruhan pembicaraan orang tuanya, tapi bocah itu tahu kalau esok hari keluarganya takkan lagi sama. Dia yang bernama Dafa Darmawan, anak sepasang suami istri yang kini tak bisa bersama.
Tersadar saat azan subuh berkumandang. Astri segera beranjak menunaikan kewajibannya pada Sang Pencipta. Setelah melipat mukena dan menyimpannya di atas lemari kecil, Astri menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Dua tangan mungil melingkari perutnya saat sampai di dapur.
"Pagi mamiku sayang," ucap gadis pemilik tangan itu.
"Pagi cantiknya mami. Udah sholat belum?"
"Udah barusan Mi, kan tadi aku bangun jam empat buat ngerjain tugas."
"Kamu ini suka menunda-nunda tugas yang dikasih dosen ya, kebiasaan," ucap Astri sambil mencubit sayang hidung mancung putrinya.
"Aww, sakit tahu Mi."
"Halah, dicubit gitu aja masa' sakit sih."
"Hehe, mami mau masak apa buat sarapan biar aku bantuin."
"Nasi goreng aja biar cepet. Mami mau ke konveksi pagi-pagi. Mau ada yang pesen buat seragam arisan katanya."
"Alhamdulillah, semoga rejeki Mami makin lancar ya, Mi."
"Iya sayang, semua ini kan buat masa depan kamu juga."
"Aku bantuin apa Mi?"
"Irisin timun aja buat pelengkap. Mami udah bikin bumbunya kok tinggal digoreng aja nasinya."
"Siap Mi," ucapnya sambil mengangkat tangan ala hormat tentara.
Astri tergelak melihat tingkah gadis yang mewarnai hari-harinya beberapa tahun itu. Tapi tak lama karena dilihatnya gadis itu memakan sebagian besar timun yang telah diirisnya.
"Nadia, kok kamu habisin timunnya."
Nadia nyengir sambil mengangkat dua jarinya.
"Hehe, peace Mi, aku kan suka sama timun. Lagian masih ada kok buat Mami."
"Iya, iya, gimana kamu aja lah," kata Astri sambil menaruh piring berisi nasi goreng di atas meja makan minimalis.
"Kamu mau sarapan dulu apa mandi dulu?"
"Kita sarapan dulu aja ya Mi, aku udah laper."
Kedua ibu dan anak itu saling berhadapan menikmati nasi goreng sambil bersenda gurau. Tatapan sendu kadang menghiasi pelupuk mata Astri karena tak bisa memberikan kemewahan seperti dulu ketika masih ada papanya. Hanya sekedar bisa memberikan biaya kuliah dan tempat tinggal sederhana untuk gadis yang waktu kecil dimanjakan dengan materi itu. Untunglah Nadia bukan gadis yang manja sehingga ketika perubahan dalam hal ekonomi terjadi, Nadia bisa menerimanya dengan sabar.
"Mi, aku berangkat kuliah dulu ya," ucap Nadia setelah selesai membantu Astri mencuci piring."Nggak mau bareng sama mami?""Emang Mami mau kemana?""Kamu gimana sih Sayang, kemarin 'kan mami udah bilang mau ke konveksi."Nadia menepuk keningnya pelan."Oh iya, aku lupa Mi, maaf ya.""Iya, nggak papa. Kamu udah selesai beres-beresnya? Lihat lagi, siapa tahu ada yang ketinggalan."Nadia membongkar kembali ranselnya dan menghitung buku dan juga tugasnya."Udah semua, Mi. Mau berangkat sekarang?""Yuk, mami udah pesen taksi."
"Nad, temenin aku dulu yuk ke toko buku," ajak Salsa."Aku mau cepet pulang Sal, udah kangen sama mami.""Dasar anak mami.""Iya lah, anak papa sama mami. Emang anak siapa lagi.""Nad, kok aku ngerasa aneh ya, sama panggilan kamu buat tante Astri.""Aneh gimana? Biasa aja kayaknya.""Ya aneh aja gitu. Kamu manggil almarhum om Adnan papa tapi kamu manggil tante Astri mami, kan biasanya tuh mama papa atau mami papi.""Kok aku nggak nyadar, ya? Namun, dari kecil emang aku panggilnya papa sama mami. Jadi kayak udah biasa aja gitu. Ntar lah aku tanyain sama mami kenapa bisa beda.""Beneran nih N
Sesosok tegap dengan bahu kekar itu berdiri membelakangi Astri. Suasana yang tenang dan damai dirasakannya walau tak mengerti ada dimana dia sekarang. Seingatnya tadi dia sedang ada di ruang rawat klinik. Bagaimana tiba-tiba dia ada di sini dan siapa pemuda di depannya itu. Sedang Astri bertanya-tanya dalam hati, pemuda itu berkata sesuatu yang membuatnya tersentak."Aku benci sama Ibu. Ibu tega mengabaikan aku selama bertahun-tahun. Ibu tega meninggalkan aku sendiri. Ibu nggak sayang sama aku."Deg. Siapa sebenarnya lelaki muda itu? Kenapa dia memanggilku ibu dan berkata kalau dia membenciku? Apa jangan-jangan dia ...Lelaki itu berbalik tapi tak bisa Astri lihat bagaimana rupanya karena posisinya membelakangi matahari."Siapa kam
"Selamat pagi, bu Astri," sapa dokter Rianti saat kunjungan pagi itu."Selamat pagi, Dok," balas Astri dan juga Nadia."Bagaimana perasaannya saat ini, Bu?""Saya masih merasa lemas, Dok.""Baik Bu, saya periksa dulu ya."Dokter Rianti menyematkan stetoskop ke kedua lubang telinganya. Kemudian menekan-nekannya ke dada Astri. Menyentuh pergelangan tangan kiri Astri sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya."Bagaimana Dok, apa mami saya boleh pulang sekarang?"Dokter Rianti tersenyum manis."Dengan berat hati, saya menyatakan kalau bu Astri belum boleh pulang. Sebaiknya b
"Yah, kenapa Ayah biarin ibu pergi? Kenapa ibu nggak boleh ada di sini? Ini kan rumah kita, Yah.""Dafa, anak ayah, suatu saat nanti kamu akan mengerti semua keadaan ini. Ayah dan ibu tak bisa bersama lagi. Tapi kami akan selalu menyayangi Dafa seperti biasanya. Tak akan ada yang berubah.""Tapi aku ingin kita selalu sama-sama, Yah, aku nggak mau pisah sama ibu. Bagaimana ibu di luar sana. Aku takut, aku takut ibu kenapa-napa. Aku bukan anak kecil lagi, Yah, aku tahu semuanya. Yang aku tak bisa mengerti kenapa ayah harus biarin ibu pergi dari rumah kita.""Tenanglah, Nak, walaupun ibu sudah nggak bersama kita lagi, ayah yakin ibu akan selalu menyayangimu.""Aku nggak mau Yah, aku mau sama ibu. Ayo kita susul ibu, Yah."
Sebuah mobil mewah berwarna putih tampak berbunyi dan mengedipkan lampu sekali ketika Salsa menekan remote di tangannya."Yuk, Nad, biar kita cepet sampai ke klinik."Nadia memandang takjub pada mobil milik Salsa."Sal, ini kita nggak salah mobil, kan?""Hahaha, enggak lah. Kalau salah mobil, aku nggak mungkin bisa buka mobil dengan kunci yang aku bawa ini. Udah ah, yuk cepetan masuk. Atau perlu aku bukain pintunya?"Nadia menggeleng cepat dan segera masuk ke dalam mobil sahabatnya."Mobil kamu bagus, Sal.""Bukan mobil aku, Nad. Ini mobil ayah tiri aku. Aku cuma minjem doang. Kalau mobil aku sendiri lagi di bengkel.""Oh, berarti ayah tiri kamu kaya banget dong ya, mobilnya aja keren gini.""Iya, dan aku beruntung banget mempunyai ayah tiri yang nggak hanya sayang sama mama aku tapi juga sayang sama aku. Bahkan, nggak ngebeda-bedain antara aku sama adik aku yang merupakan anak kandungnya."Salsa melajukan mobil i
Tok. Tok. Tok."Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran."Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang