"Uhuk! Za-yen ...." Terdengar suara Aira memanggilnya lirih. Zayen mendekat, ia lega akhirnya Aira sudah sadar. Ia memberanikan diri mendekati istrinya."Emm ... Ma-maaf ya, Ra!, Ak-aku enggak tau kalau Kamu, gak bisa berenang."Zayen berbicara dengan terbata-bata karena merasa bersalah. Aira hanya diam sambil membalikkan badan enggan melihat ke arah Zayen."Marahkah dia?" Zayen bertanya dalam hati."Ra, maaf!" Zayen duduk disebelah Aira dengan kaki menjuntai ke bawah. "Ra ..."Hening.Wanita, jika marahnya sambil berbicara tanpa berhenti berarti masih normal. Tetapi jika marahnya wanita tanpa mengeluarkan suara lagi, itu berbahaya. Di atas Normal. Begitu pikir Zayen, karena sering melihat meme yang sering berseliweran di status WA maupun Facebook teman-temannya."Ra, maaf! Aku ngapain? Buat nebus kesalahanku tadi?" Suara Zayen mulai memelas karena benar-benar merasa bersalah.Aira membalikkan tubuhnya, dan menatap Zayen dengan nanar."Pijitin Aku, dari kaki sampai kepala!"Aira mel
Diluar dugaan, Zayen mengirim pesan lebih dulu pada Aira agar menunggunya pada pukul 09.00 pagi. Zayen mengirim pesan tanpa penjelasan mau kemana ataupun dimana keberadaannya saat itu. Karena penasaran, Aira langsung bersiap-siap dan menunggu di depan hotel seperti yang diperintahkan Zayen. Hampir setengah jam menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza berwarna silver menepi menghampiri."Woy, Ra. Bengong aja. Cepat masuk!" Kepala Zayen menyembul keluar setelah kaca mobil di turunkan.Wajah Aira berubah masam. Dengan kaki yang dihentak-hentakkan, Aira melangkah menuju mobil. Aira lebih memilih membuka pintu depan dan duduk di sebelah driver grab yang di sewa Zayen."Loh, Mbak jangan duduk di sini, di belakang aja sama Masnya," protes Driver."Tapi aku pengennya, disini!" jawab Aira ketus."Tapi enggak boleh, Mbak! Penumpang harus duduk di belakang.""Kata siapa?" Aira mulai dibuat kesal."Kata Masnya," ucap Driver polos sambil mengerlingkan mata ke Zayen."Pokoknya, Aku tetap di sini!" A
"Maksudmu? Waa ... wa ... waah! Kamu kemaren malam pingsan bohongan, Ra?" Otak Zayen cukup cerdas untuk membuat kesimpulan sendiri."Kalau iya kenapa? Aku juga tau kalau ternyata tanganmu jahil juga. Suka gentayangan kemana-mana di badan orang. Katanya enggak tertarik, nyatanya .... he-em!" Mulut Aira mencebik sambil melepaskan dirinya dari Zayen."Ooohhh! Dasar kamu, Ra! Ratunya dalam berpura-pura. Nyesal aku cuma pakai tangan kemaren malam. Tau gitu sekalian aja kulahap kamu, Ra," getutu Zayen yang makin salah tingkah."Sekalian aja apa?" ketus Aira sambil menatap Zayen tajam."Sekalian pake kaki, kuinjak-injak!" sahut Zayen asal.Aira mencibir, tapi tak menjawab. Ia takut Zayen marah, lalu meninggalkannya sendiri di atas pohon bila ia banyak bicara. Zayen berbalik bersiap-siap kembali menuju pohon."Zayeeen, tunggu! Aku enggak bisa jalan," pinta Aira karena ia masih ketakutan jika melihat ke bawah.Zayen berpura pura tak mendengar, dan terus aja melangkah menuju ke ujung jembatan.
Tiiing ....[Kamu masih belum keluar kamar hari ini, Ra?]Aira terlonjak, karena terlalu lama berfikir dia lupa janjinya untuk mengirim foto kepada Bu Indarti hingga notif pesan WA nya berbunyi.[Heheheh ... tadi ke Pantai Lamaru aja, Bu][Fotonya?][Oh, iya ... maaf lupa, Bu.]Lalu Aira memilih-milih foto mereka ketika di pantai. Sesekali dia tersenyum, dipilih 2 foto yang menurutnya terbaik, lalu di kirim ke Bu Indarti.[Besok mau kemana lagi?][Besok enggak kemana-mana, Bu. Capek, hehe]Bu indarti hanya membalas dengan stiker love bertubi-tubi. Entah kebohongan ke berapa yang di katakan Aira. Kini hati kecilnya harus menanggung rasa bersalah, akibat kepalsuan-kepalsuan yang di lakukan sebelum menikah. Jika waktu bisa di putar kembali, Aira tidak akan memilih caranya yang norak untuk mendapatkan laki-laki kaya. Toh, akhirnya yang ia dapatkan hanya seorang Zayen, yang membuatnya hidup dalam kebohongan dan kebohongan yang saling bersambungan.Keesokan harinya, Aira hanya menghabiska
Zayen mengurut-urut pelipisnya dengan jari tengah dan jempolnya. Ada keraguan dihati untuk melepaskan Aira sendiri, ditambah lagi dengan permintaan Aira yang ingin menjauh. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terlanjur menyanggupi. Lagi pula, Zayen sadar jika Aira tidak menginginkan dirinya. Memaksa Aira untuk selalu dekat, akan membuat keduanya sama-sama tersiksa."Kamu benar, Ra! Mungkin memang sebaiknya kita saling menjauh. Lalu pelan-pelan saling melepaskan diri, dari ikatan yang penuh kepalsuan ini."Zayen bergumam lirih di dalam hati. Di lihatnya sekali lagi wajah Aira dengan lekat. Hatinya bertambah masygul."Pak, nanti kita ke tempat dia dulu, ambil semua barang-barangnya," ucap Zayen akhirnya sambil melempar pandangan ke luar.Driver travel tersebut tidak menjawab, hanya melirik di kaca. Perlahan mobil meninggalkan Bukit Soeharto dan mulai memasuki kawasan padat penduduk. Di kanan-kiri jalan banyak terlihat buah-buahan berjejer dengan rapi, dijual langsung dari pe
"Baiklah, kalau begitu! Saya sangat-sangat berterima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu. Saya tidak keberatan menerimanya, hanya Allah yang bisa membalas kebaikan Bapak dan Ibu. Saya juga tidak keberatan gajih saya di potong. Bagaimana denganmu, Aira?" tanya Zayen sambil berpaling seolah-olah meminta persetujuan Aira."A-Aku ... enggak keberatan, terima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu," ucap Aira terbata-bata sambi menunduk."Alhamdulillah ...." keempat majikan mereka serempak menjawab ucapan Aira sambil menyapu wajah dengan kedua telapak tangan ."Nah, Aira ... mulai sekarang, dapurmu ada dua ya. Masak dulu buat suamimu, baru masak ke tempat Ibu," ucap Bu Indarti sambil menepuk pundak Aira.Aira tersenyum dan cepat-cepat menunduk, menyembunyikan senyum getir yang tersungging di bibirnya.Zayen menarik nafas panjang, lega karena Aira ikut meringankan bebannya menanggung cicilan rumah. Walaupun ia melihat gurat kekecewaan yang berdampingan dengan senyum Aira."Tenang aja Zayen, Aira
Zayen pergi ke belakang untuk melihat-lihat kamar mandi. Walaupun sederhana, namun kamar mandi dan toilet di rumah tersebut tidak bergabung, melainkan berdampingan. Desain yang lumayan bagus oleh pemilik sebelumnya.Masih tanpa bicara, Aira dan Zayen kembali melangkah ke ruang tamu. Walau tanpa meja dan kursi, namun ruangan tersebut tetap terlihat nyaman. Ada sebuah ambal ukuran sedang terhampar di depan meja, di atasnya ada televisi model tabung jaman dahulu dengan layar 14 inch. Cukup untuk sekedar melihat kabar dari berbagai penjuru Indonesia. Toh, jaman now manusia lebih banyak memandang layar handphone daripada layar televisi.Aira mengarahkan pandangannya menuju sebuah pintu yang menghadap ke ruang tamu. Rupanya, rumah tersebut hanya memiliki satu buah kamar tidur. Tentu saja, Aira langsung bergegas menuju kamar. "Omegot!" Seru Aira setengah terpekik begitu tiba di depan pintu kamar. Zayen terkejut dan langsung menghampiri Aira yang masih menutup mulut."Ada apa? Kok teriak-ter
"Raaa! Sisain tempat bajuku," teriak Zayen dari depan televisi pada Aira yang sedang asyik menyusun beberapa pakaian miliknya."Iya-ya! Ga usah teriak-teriak kaya Tarzan, telingaku enggak budeg," ketus Aira sambil keluar dari kamar."Sudah tu! giliranmu," lanjutnya sambil merebut remot televisi dari tangan Zayen.Zayen melangkah masuk ke dalam kamar. Ia meraih koper dan tas miliknya lalu membuka lemari."Kok, aku cuma di sisain satu tempat, Ra?" protesnya."Itu sih, derita loe! Siapa suruh nyusun belakangan," jawab Aira dari luar sambil memindah-mindahkan chanel televisi."Enggak bisa gitu dong! Mana muat bajuku cuma satu tempat," sungut Zayen."Nih! Sementara. Ntar beli sendiri aja lemarinya," ucap Aira sambil melempar sebuah kardus bekas ke dalam kamar."Ya mendingan di koper, lah!" Zayen balas melempar kardusnya keluar."Sombong!" gerutu Aira sambil melangkah menuju dapur.Aira mulai diserang rasa lapar. Tapi lelah juga masih belum berniat pergi dari anggota tubuhnya. Aira melihat
4 tahun kemudian ....Sebuah keluarga kecil beranggotakan 4 orang melangkah turun dari pesawat. Kedua orang tuanya tersenyum lebar, doa mereka terkabul untuk bisa kembali menjajakkan kaki di pulau Kalimantan.Setengah berlari mereka mengejar langkah kedua bocah yang tak pernah lelah berlari."Ragil ... Rasya ... jangan lari-lari terus, bunda capek, Nak!" Seru Ibunya yang menggunakan baju gamis berwarna merah maron dengan jilbab hitam. Ia nampak kesulitan, mengejar dua bocah yang sedang lincah-lincahnya.Sang Bapak, yang mengenakan jaket berwarna senada, hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat tingkah kedua bocahnya.Dari jauh tampak dua orang berdiri, untuk menyambut kedatangan mereka. "Ibuuuu ....""Airaaa ...."Kedua wanita tersebut saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Sementara kedua bocah yang tadi berlari-lari menyembunyikan wajah di belakang ayahnya."Hey, Ragil! Rasya! Sini ... ini juga Nenek dan Kakek" ucap Aira memperkenalkan Bu Indarti dan Pak Margono pada ked
Aira dan Zayen baru saja selesai salat subuh. Zayen masih saja mengajak Aira bermanja-manjaan dan melarang Aira keluar dari kamar. Aira terpaksa menuruti kemauan bayi besarnya tersebut."Zayen, Bank jauh gak dari sini?" Tiba-tiba Aira bertanya.Zayen diam tak menjawab."Zayeeen! Dengar enggak sih Aku nanya!" Sungut Aira kesal."Enggak!""Enggak kok jawab.""Panggil Aku, Mas dulu ... baru aku jawab!""Hedeeh! Iya ... iyaaa ... Mas Zayen Zeyeeeenggg. Bank jauh enggak dari sini?""Mau ngapain ke Bank?"Aira duduk di samping Zayen dan meraih tangan suaminya. "Kalau aku panggil sayang aja, enggak papa kan?"goda Aira tanpa menghiraukan pertanyaan Zayen sebelumnya."Terserah dah, penting jangan panggil nama, ya! Mau ngapain ke Bank?" Ulangnya."Ya ... ya ... ya ... Sayaang, tadi malam, Bu Indarti transfer uang kita yang udah masuk untuk bayar rumah sama motor yang disana dia bayar juga. Karena rumahnya sekarang ditempatin sendiri ama Niko, jadi uang kita total di ganti.""Oh, Gitu! Tapi bia
Zayen melihat raut wajah istrinya yang nampak gelisah. Ingin sekali ia membawa istrinya ke kamar dan bertanya. Tapi kerabat dan tetangga masih datang silih berganti. Bisa jadi bulan-bulanan dia, jika siang bolong ketahuan mengajak Aira ke kamar.Zayen tersenyum sendiri, ingat bagaimana pernikahan pertamanya dengan Aira yang penuh kepalsuan, bagaimana Aira pingsan setelah ia mengucapkan Ijab qobul, bagaimana mereka bertengkar sepanjang bulan madu yang penuh kepalsuan.Zayen sedikit heran dengan reaksi sebagian orang. Ia diam-diam memperhatikan mereka seperti menemoohkan istrinya. Mungkin itu sebabnya Aira gelisah. "Ah ... lambat kali matahari tenggelam," gumam Zayen dalam hati.Menjelang Ashar, kerabat sudah mulai pulangan. Rumah mereka mulai sepi. Aira dan Alya membersihkan sisa-sisa piring kotor yang belum di cuci. Sebagian tadi sudah di cuci oleh orang-orang yang berdatangan secara bergantian. Sementara itu Zayen membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan Aqua yang masih berceceran.K
"Ada yang ngebet minta di halalin nih! Kayaknya ....""Ihhh ... Zayeeen!" Aira memukul lengan Zayen pelan."Eh, bukan ngebet ... kebelet!""Iiihhhh ...." Aira mencubit tangan Zayen sambil menunduk malu.Zayen tertawa gemas melihat tingkah Aira. Jika tidak berada ditempat umum sudah pasti di peluknya wanitanya itu."Yakin? Mau dihalalin lagi sama aku?"Aira mengangguk malu-malu."Tapi ..."Aira mendongakkan wajahnya harap-harap cemas, mendengar kata tapi dari mulut Zayen."Tapi apa?" Aira tak sabar."Tapi, aku enggak punya mobil. Enggak bisa beliin kamu berlian," ucap Zayen sambil tersenyum simpul.Aira mencubit pinggang Zayen berkali-kali dan menjawab," tapi kamu masih punya uang buat bayar penghulu kan?Lalu mereka tertawa berdua."Tapi, Zayen! Darimana dulu kamu bisa berpikir menyerahkan aku ke Niko, kaya barang aja!" Aira kembali merengut.Zayen menarik nafas panjang. Lalu mulai bercerita."Waktu malam, sebelum pagi-pagi Aku marah itu, ada nomor enggak kukenal ngirim video ke Aku."
"Tunggu!" Suara wanita memanggilnya. Aira membalikkan badan, rupanya mempelai wanita yang memanggil."Apa ... kamu bernama Aira?" Tanyanya."I-iya!" Aira menganggukkan kepalanya dan lanjut menunduk lagi."Masuklah!" Perintahnya kembali.Aira diam, tidak melangkah masuk juga tidak meneruskan keluar. Mempelai wanita tersebut berbisik ke telinga calon suaminya. Lalu suaminya mengangguk-angguk.Mempelai wanita tersebut mengisyaratkan kepada seseorang untuk membawanya ke kamar."Ayo!" Ia menghampiri Aira dan membawanya masuk ke kamar yang nampaknya merupakan kamar pasangan yang akan menikah. Aira menurut saja arah wanita tersebut menariknya, ia tak mengerti maksud perlakuan mereka."Disini dulu, ya! Sampai akad selesai. Kami khawatir kamu membuat keributan lagi!" ucap wanita tersebut sambil mengunci pintu kamar dari luar.Aira yang masih bingung dan malu hanya pasrah. Entah setelah itu apa yang akan mereka lakukan padanya, ia benar-benar sudah pasrah.Aira duduk di pinggir ranjang yang su
Aira mengecek jarak tempatnya berada dengan alamat Zayen. 30 menit, tertera. Aira segeara memanggil Gojek."Selama janur kuning belum melengkung, masih ada harapan," Aira nekad ingin menggagalkan akad nikah Zayen bagaimanapun caranya.Beruntung jalanan tampak senggang. Aira bisa sampai di alamat tujuan sesuai perkiraan waktu. Aira membayar gojek lalu melangkah menuju ke sebuah rumah yang nampak ramai. Aira melirik ke kanan-kiri, alamat tidak mencantumkan nomor rumah. Tapi ia yakin, di tempat yang ramai itulah akan berlangsung akad nikah.Aira berlari dan menerobos kerumunan orang. Belum nampak kedua mempelai yang akan melangsungkan akad nikah, karena acaranya masih setengah jam lagi."Hentikan!" Teriak Aira dengan suara lantang.Orang-orang yang semula riuh melihat kedatangannya, mendadak diam. "Ada apa ini? Kamu siapa?"Seorang lelaki tua menghampiri Aira yang masih berdiri dengan tubuh bergetar."Aku Aira, aku calon istri dari mempelai laki-lakinya," jawab Aira lantang.Suara orang
Hari sudah beranjak siang, Aira kembali tiba di hotel."Huh!"Aira melempar tasnya ke kasur dan langsung merebahkan diri. Tangannya langsung memijit-miji kakinya yang sakit bukan kepalang."Sialan ...." gerutunya.Aira benar-benar sebal karena mengejar mayat lelaki tua yang beristri dua tadi. Tapi kemudian Aira tersenyum, ia tak membayangkan bila mayat tadi benar mayat Zayen. Aira terus memijit-mijit kakinya yang sakit sekali. Ia meringis, ada bagian yang terkelupas karena kena gesekan sandalnya saat berlari. Aira kembali meraih handuk untuk mandi lagi."Asem," sungut Aira sambil mengendus-ngendus bagian keteknya sendiri.Selesai mandi, Aira merasa sangat lapar. Sebelum meninggalkan hotel menuju alamat Zayen, Aira berniat keluar untuk mencari makanan. Tadi pagi, Aira lupa makan. Energinya terkuras habis hari ini. Aira melangkah dengan lemas.Aira mencari-cari tempat makan yang ada di sekitar melalui internet. Aira banyak menemukan restoran hingga warteg yang menawarkan makanan.Aira
"Jam berapa dibawa, Mbak?" Aira bertanya dalam isak tangisnya."Baru aja, Mbak, mungkin bersamaan sama datangnya Mbak," terang petugas.Aira mengingat-ngingat kejadian saat masuk tadi. Ada sebuah ambulan yang berpas-pasan dengannya di depan gerbang menuju ke kiri."Apa tadi, yang di bawa ambulan mbak?" Aira memastikan."Iya, benar!"Tanpa pikir panjang Aira langsung berlari meninggalkan rumah sakit. Ia melihat jalanan masih macet panjang. Sekuat tenaga ia berlari. Aira yakin masih mampu mengejar ambulan yang membawa jenazah Zayen.Benar saja, dari kejauhan tampak mobil ambulan yang bertulis mobil Jenazah terjebak macet. Aira berlari lebih cepat lagi. Sekitar beberapa meter lagi Aira sudah sampai ke mobil tersebut. Namun sayangnya, macet sudah berkurang dan Ambulan tersebut menjauh.Aira yang wajahnya sudah tak terurus karena kelelahan berlari sambil menangis, langsung mencari cara. Ia melihat seorang wanita naik motor sendirian. Aira segera menghadang dengan kedua tangannya. Tentu saj
Pagi-pagi sekali Aira sudah siap untuk berangkat menuju bandara Sepinggan Balikpapan. Tiket yang ia dapat tadi malam melalui aplikasi traveloka terbang pukul 12.15 menuju Bandara Juanda, Surabaya.Bu Indarti dan Pak Margono yang mengantarkan Aira. Ninda tak bisa ikut karena ada kegiatan sosial di kampusnya."Aira!" Tiba-tiba Aira dikejutkan oleh kedatangan Niko, Davina, dan Widya. Tak ketinggalan bayi mungil mereka."Aira ... Aku ... mau minta maaf," ucap Widya lirih sambil memeluk Aira yang sudah siap memasuki mobil."Maaf? Untuk apa?""A-aku ... yang mengirim video itu. Waktu itu, A-ku sedang menemani anakku bermain di Taman cerdas, maaf ... karena Aku sempat berniat tidak baik, pada rumah tanggamu, Aira," ucap Widya sambil tertunduk. "Aku dengar dari Davina, Kamu mau mencari Zayen. Aku minta maaf, kalau karena ulahku kalian bertengkar. Aku alan mendoakan kebahagiaan untukmu, Aira. Semoga Kamu dan Zayen bisa bertemu lagi, kalau sudah bertemu, sampaikan maafku pada Zayen," do'a Wid