Dalam kekalutan pikiran Zayen terpikir untuk menelpon Bu Indarti. Berkali-kali ia memencet tombol panggilan di handphonenya, berkali-kali pula jempolnya membatalkan. Zayen ragu dan malu jika harus meminta bantuan pada orang yang terlalu banyak membantunya. Tapi, kalau bukan Bu Indarti, siapa lagi? Akhirnya Zayen memutuskan untuk tetap menghubunginya."Asalamualaikum, Bu! Maaf menggangu, Saya ... saya ...memerlukan bantuan Ibu," ungkap Zayen terbata-bata."Ada apa, Zayen?""Bu ... Aira kecelakaan, dia belum sadar dan mengalami pendarahan di bagian kepala. Aira ....""Katakan di rumah sakit mana?" Potong Bu Indarti cepat.Setelah menyebutkan rumah sakit tempat mereka berada, Zayen menutup sambungan teleponnya. Zayen terduduk lemas dan tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Aira. Sekitar setengah jam kemudian, Bu Indarti tiba dan menghampiri Zayen dengan terburu-buru."Bagaimana keadaan Aira?""Masih ditindak, Bu," suara Zayen terdengar parau."Kenapa bisa jadi begini? Tadi Aira p
Niko mengangkat wajah dan memandang zayen meminta penjelasan. Kedua telapak tangannya mengepal. Niko berdiri dan menarik kerah baju Zayen seperti yang dilakukan Zayen padanya di Rumah Sakit. Satu bogem mentah telak mengenai pipi Zayen."Brengsek! Kupikir kamu lelaki baik-baik! Ternyata kamu bajingan! Suami macam apa yang meninggalkan istrinya dalam keadaan sakit?"Niko kembali mengangkat tangannya siap menambah pukulan ke wajah Zayen, namun Zayen berhasil menangkap tangan Niko dan mendorongnya hingga tersungkur."Kamu salah! Aira pasti senang lepas dariku. Aira tidak pernah mencintaiku. Kami bahkan tidak pernah tidur sekamar selama hampir setahun pernikahan kami!" Ucapan Zayen membuat Niko terhenyak. Ia merasa tak percaya dengan ucapan Zayen."A-apa maksudmu, Zayen?" Zayen menceritakan tentang pernikahannya dengan Aira yang di awali dengan kebohongan sampai terjadinya musibah yang menimpa Aira, dan kondisi orang tuanya yang kritis, Ibunya terus memintanya untuk pulang dalam keadaan
Aira membuka matanya perlahan-lahan. Dinding bernuansa putih mendominasi pemandangan awal yang ia lihat. Aira mengerjap-ngerjapkan mata sejenak. Terlihat seorang perawat dengan pakaian serba putih berdiri dan tersenyum padanya."Alhamdulillah, akhirnya Mbak sudah sadar," ucapnya sambil mengusap kedua telapak tangan ke wajahnya."Dimana Aku?" Tanya Aira dengan suara lemah."Di Rumah Sakit," jawab perawat lembut."Aku sendirian?""Ada Aku," seloroh perawat tersebut."Enggak sendirian Mbak, ada suaminya yang super menjaga Mbak. Beruntung banget memiliki Dia," lanjutnya.Aira tersenyum mendengar ucapan perawat tersebut. Tiba-tiba hati kecilnya merindukan Zayen. Rasa rindu ingin bertengkar dengannya menggebu."Dimana Dia?""Tadi pamit ke Mushola. Ini kan sudah waktu zuhur. Tadi dia memintaku menjagamu," jelas perawat tersebut mengingatkan pada Aira yang tak sadarkan diri sehari semalam, tentang waktu.Aira kemudian diam. Merasakan nyeri di beberapa bagian tubuh, dan rindu di hatinya. Aira
Aira menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir mendengar ucapan Niko barusan."Benarkah yang di katakan Niko?" tanya Aira dalam hati.Aira kemudian mengingat-ngingat kembali pertengkaran antara dirinya dengan Zayen sebelum ia kecelakaan. Kemudian Aira meraih ponsel dan memeriksa pesan yang kemaren ia kirim. Sama saja, tidak ada balasan padahal pesannya dibaca.Aira menghempas ponselnya di atas kasur. Rasa rindu yang sejak kemaren membuncah, mulai membawanya pada rasa sakit yang menimbulkan kebencian.Aira benar-benar merasa sakit hati pada Zayen, yang tega meninggalkannya tanpa pesan saat sedang terbaring sakit. Ia kembali meraih ponsel.[Kalau ada manusia yang paling tega di muka bumi ini, itu adalah kamu, Zayen!]Demikian ungkapan kekesalan yang ia kirim melalui whatssap. Aira kembali menatap layar ponselnya resah. Pesan yang di kirimnya, tak kunjung di baca.Hampir setengah jam berlalu, Aira melihat pesannya sudah terbaca. Tapi sama saja seperti sebelum-sebelumnya, tak ada bal
Lebih seminggu, Aira memulihkan kondisi tubuhnya di rumah Bu Indarti. Aktivitasnya hanya makan, tidur, mandi, dan menonton televisi. Hal itu membuatnya bosan. Di tambah ponselnya yang rusak, membuat Aira benar-benar jenuh. Selama itu juga hampir tiap malam, ia tidur larut karena selalu teringat pada sosok Zayen. Setiap hari, ia selalu makan dengan paksaan. Kali ini dia termenung lagi menatap makanan di depannya. Pemansangan yang kadang membuat Niko merasa jengah."Loh, Ra! Dimakan ... biar kamu cepat kuat!" Paksa Niko.Aira menggeleng."Aku mau pulang, Nik!""Tapi, Ra! Kamu belum benar-benar pulih." Tolak Niko lagi."Aku kangen rumah, Nik! Sudah lebih seminggu Aku di sini." Aira mulai terisak-isak.Hatinya bukan hanya merindukan rumah. Walaupun kepergian Zayen membuat Aira sakit hati, tapi tetap saja ia merindukan semua kejadian yang pernah mereka lewatkan dirumahnya."Oke ... oke! Aku ngomong dulu sama Mama," Niko tak tahan melihat Aira menangis. Niko meninggalkan Aira di kamar se
Ia mengambil bantal dari kamar dan memilih berbaring di depan sambil menonton televisi. Aira memeluk bantai yang biasa di pakai Zayen lalu ia mendekap selimut yang di pakai Zayen. Aira merasa hatinya benar-benar aneh. Seluruh ruangannya seolah-olah dipenuhi oleh bayangan Zayen.Aira mengambil handphone dan mencoba menghubungi kontak Zayen. Tapi tetap saja tak bisa. Aira mulai menyesali pertengkaran mereka sebelumnya."Bagaimana jika Zayen benar-benar pergi dan tak ingin kembali?" Aira masygul dengan pikiran yang ia buat sendiri."Ah, enggak mungkin!" Ia menepis kembali pikiran buruknya.Akhirnya Aira menghabiskan waktunya siang itu dengan menonton televisi di kasur milik Zayen.***Sekitar pukul 17.00 sore, Aira ingin membersihkan diri. Saat ingin masuk ke kamar mandi, Aira mendengar pintunya di ketuk dari luar."Sebentar!" Teriak Aira yang sudah terlanjur mengenakan handuk.Aira kembali memasang baju yang sudah ia lepas, tak mungkin Aira menemui tamunya dalam keadaan seluruh tubuhnya
Dengan tangan gemetar dan dada bergemuruh, Aira mulai membuka surat dari Zayen.♤♤♤Hai Aira ....Apa kabar cantik?Kalau surat ini sudah kamu pegang, berarti kamu udah sehat, ya?Aira ....Maaf Aku pergi tanpa pamit. Bagaimana aku bisa pamit, Kamu enggak bangun-bangun?Maaf juga, karena diriku kamu harus terbaring di rumah sakit. Sungguh, aku menyesal untuk itu. Tapi aku hanya ingin meluruskan satu hal, Aku dan Widya makan bersama di situ hanya sebuah kebetulan. Kami kebetulan bertemu, Widya mengajak bergabung di mejanya.Aira ....Aku ingin kamu tahu satu hal. Walaupun pernikahan kita berdiri di atas kebohongan, seiring berjalannya waktu, Aku merasa bahwa rasa itu ada. Rasa ingin bersamamu yang sesungguhnya. Aku ingin mengakui satu hal. Aku sering memperhatikan wajahmu saat kamu tertidur. Dan ... aku pernah menciummu. Kamu mau marah? Marah aja! Kamu kan istriku ... hehehheh.***Aira menyapu bulir bening yang mulai lolos dari pelupuk matanya. Kemudian ia berusaha kembali tersenyum s
"Zayeeeen! Kamu jahat! Betapa curangnya caramu membalasku! Pulang Zayen ... pulang! Aku ingin dirimu bukan yang lain!" Aira berbicara sendiri di sela-sela tangisnya. Berulang kali ia memukul bantal yang sering dipakai oleh Zayen.Seperti kehilangan separuh jiwa, itu yang Aira rasakan. Ia benar-benar shock menghadapi kenyataan jika Zayen benar-benar meninggalkannya dan tak aka kembali. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Aira terlambat menyadari rasa marah yang sering ia tampakkan pada Zayen, bukanlah marah yang sesungguhnya. Yang sesungguhnya ia rasakan adalah rasa cinta dan sayang yang sangat dalam. Sekarang Aira benar-benar merasa kehilangan. Kehilangan teman bertengkar, kehilangan teman bicara, dan kehilangan teman hidup.Aira berulang kali mengacak-ngacak rambutnya yang sudah mulai basah oleh keringat dan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Sesekali ia memukul-mukul kepalanya dengan bantal sambil meringis. Aira marah pada dirinya sendiri. Marah pada kebodohannya, juga marah
4 tahun kemudian ....Sebuah keluarga kecil beranggotakan 4 orang melangkah turun dari pesawat. Kedua orang tuanya tersenyum lebar, doa mereka terkabul untuk bisa kembali menjajakkan kaki di pulau Kalimantan.Setengah berlari mereka mengejar langkah kedua bocah yang tak pernah lelah berlari."Ragil ... Rasya ... jangan lari-lari terus, bunda capek, Nak!" Seru Ibunya yang menggunakan baju gamis berwarna merah maron dengan jilbab hitam. Ia nampak kesulitan, mengejar dua bocah yang sedang lincah-lincahnya.Sang Bapak, yang mengenakan jaket berwarna senada, hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat tingkah kedua bocahnya.Dari jauh tampak dua orang berdiri, untuk menyambut kedatangan mereka. "Ibuuuu ....""Airaaa ...."Kedua wanita tersebut saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Sementara kedua bocah yang tadi berlari-lari menyembunyikan wajah di belakang ayahnya."Hey, Ragil! Rasya! Sini ... ini juga Nenek dan Kakek" ucap Aira memperkenalkan Bu Indarti dan Pak Margono pada ked
Aira dan Zayen baru saja selesai salat subuh. Zayen masih saja mengajak Aira bermanja-manjaan dan melarang Aira keluar dari kamar. Aira terpaksa menuruti kemauan bayi besarnya tersebut."Zayen, Bank jauh gak dari sini?" Tiba-tiba Aira bertanya.Zayen diam tak menjawab."Zayeeen! Dengar enggak sih Aku nanya!" Sungut Aira kesal."Enggak!""Enggak kok jawab.""Panggil Aku, Mas dulu ... baru aku jawab!""Hedeeh! Iya ... iyaaa ... Mas Zayen Zeyeeeenggg. Bank jauh enggak dari sini?""Mau ngapain ke Bank?"Aira duduk di samping Zayen dan meraih tangan suaminya. "Kalau aku panggil sayang aja, enggak papa kan?"goda Aira tanpa menghiraukan pertanyaan Zayen sebelumnya."Terserah dah, penting jangan panggil nama, ya! Mau ngapain ke Bank?" Ulangnya."Ya ... ya ... ya ... Sayaang, tadi malam, Bu Indarti transfer uang kita yang udah masuk untuk bayar rumah sama motor yang disana dia bayar juga. Karena rumahnya sekarang ditempatin sendiri ama Niko, jadi uang kita total di ganti.""Oh, Gitu! Tapi bia
Zayen melihat raut wajah istrinya yang nampak gelisah. Ingin sekali ia membawa istrinya ke kamar dan bertanya. Tapi kerabat dan tetangga masih datang silih berganti. Bisa jadi bulan-bulanan dia, jika siang bolong ketahuan mengajak Aira ke kamar.Zayen tersenyum sendiri, ingat bagaimana pernikahan pertamanya dengan Aira yang penuh kepalsuan, bagaimana Aira pingsan setelah ia mengucapkan Ijab qobul, bagaimana mereka bertengkar sepanjang bulan madu yang penuh kepalsuan.Zayen sedikit heran dengan reaksi sebagian orang. Ia diam-diam memperhatikan mereka seperti menemoohkan istrinya. Mungkin itu sebabnya Aira gelisah. "Ah ... lambat kali matahari tenggelam," gumam Zayen dalam hati.Menjelang Ashar, kerabat sudah mulai pulangan. Rumah mereka mulai sepi. Aira dan Alya membersihkan sisa-sisa piring kotor yang belum di cuci. Sebagian tadi sudah di cuci oleh orang-orang yang berdatangan secara bergantian. Sementara itu Zayen membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan Aqua yang masih berceceran.K
"Ada yang ngebet minta di halalin nih! Kayaknya ....""Ihhh ... Zayeeen!" Aira memukul lengan Zayen pelan."Eh, bukan ngebet ... kebelet!""Iiihhhh ...." Aira mencubit tangan Zayen sambil menunduk malu.Zayen tertawa gemas melihat tingkah Aira. Jika tidak berada ditempat umum sudah pasti di peluknya wanitanya itu."Yakin? Mau dihalalin lagi sama aku?"Aira mengangguk malu-malu."Tapi ..."Aira mendongakkan wajahnya harap-harap cemas, mendengar kata tapi dari mulut Zayen."Tapi apa?" Aira tak sabar."Tapi, aku enggak punya mobil. Enggak bisa beliin kamu berlian," ucap Zayen sambil tersenyum simpul.Aira mencubit pinggang Zayen berkali-kali dan menjawab," tapi kamu masih punya uang buat bayar penghulu kan?Lalu mereka tertawa berdua."Tapi, Zayen! Darimana dulu kamu bisa berpikir menyerahkan aku ke Niko, kaya barang aja!" Aira kembali merengut.Zayen menarik nafas panjang. Lalu mulai bercerita."Waktu malam, sebelum pagi-pagi Aku marah itu, ada nomor enggak kukenal ngirim video ke Aku."
"Tunggu!" Suara wanita memanggilnya. Aira membalikkan badan, rupanya mempelai wanita yang memanggil."Apa ... kamu bernama Aira?" Tanyanya."I-iya!" Aira menganggukkan kepalanya dan lanjut menunduk lagi."Masuklah!" Perintahnya kembali.Aira diam, tidak melangkah masuk juga tidak meneruskan keluar. Mempelai wanita tersebut berbisik ke telinga calon suaminya. Lalu suaminya mengangguk-angguk.Mempelai wanita tersebut mengisyaratkan kepada seseorang untuk membawanya ke kamar."Ayo!" Ia menghampiri Aira dan membawanya masuk ke kamar yang nampaknya merupakan kamar pasangan yang akan menikah. Aira menurut saja arah wanita tersebut menariknya, ia tak mengerti maksud perlakuan mereka."Disini dulu, ya! Sampai akad selesai. Kami khawatir kamu membuat keributan lagi!" ucap wanita tersebut sambil mengunci pintu kamar dari luar.Aira yang masih bingung dan malu hanya pasrah. Entah setelah itu apa yang akan mereka lakukan padanya, ia benar-benar sudah pasrah.Aira duduk di pinggir ranjang yang su
Aira mengecek jarak tempatnya berada dengan alamat Zayen. 30 menit, tertera. Aira segeara memanggil Gojek."Selama janur kuning belum melengkung, masih ada harapan," Aira nekad ingin menggagalkan akad nikah Zayen bagaimanapun caranya.Beruntung jalanan tampak senggang. Aira bisa sampai di alamat tujuan sesuai perkiraan waktu. Aira membayar gojek lalu melangkah menuju ke sebuah rumah yang nampak ramai. Aira melirik ke kanan-kiri, alamat tidak mencantumkan nomor rumah. Tapi ia yakin, di tempat yang ramai itulah akan berlangsung akad nikah.Aira berlari dan menerobos kerumunan orang. Belum nampak kedua mempelai yang akan melangsungkan akad nikah, karena acaranya masih setengah jam lagi."Hentikan!" Teriak Aira dengan suara lantang.Orang-orang yang semula riuh melihat kedatangannya, mendadak diam. "Ada apa ini? Kamu siapa?"Seorang lelaki tua menghampiri Aira yang masih berdiri dengan tubuh bergetar."Aku Aira, aku calon istri dari mempelai laki-lakinya," jawab Aira lantang.Suara orang
Hari sudah beranjak siang, Aira kembali tiba di hotel."Huh!"Aira melempar tasnya ke kasur dan langsung merebahkan diri. Tangannya langsung memijit-miji kakinya yang sakit bukan kepalang."Sialan ...." gerutunya.Aira benar-benar sebal karena mengejar mayat lelaki tua yang beristri dua tadi. Tapi kemudian Aira tersenyum, ia tak membayangkan bila mayat tadi benar mayat Zayen. Aira terus memijit-mijit kakinya yang sakit sekali. Ia meringis, ada bagian yang terkelupas karena kena gesekan sandalnya saat berlari. Aira kembali meraih handuk untuk mandi lagi."Asem," sungut Aira sambil mengendus-ngendus bagian keteknya sendiri.Selesai mandi, Aira merasa sangat lapar. Sebelum meninggalkan hotel menuju alamat Zayen, Aira berniat keluar untuk mencari makanan. Tadi pagi, Aira lupa makan. Energinya terkuras habis hari ini. Aira melangkah dengan lemas.Aira mencari-cari tempat makan yang ada di sekitar melalui internet. Aira banyak menemukan restoran hingga warteg yang menawarkan makanan.Aira
"Jam berapa dibawa, Mbak?" Aira bertanya dalam isak tangisnya."Baru aja, Mbak, mungkin bersamaan sama datangnya Mbak," terang petugas.Aira mengingat-ngingat kejadian saat masuk tadi. Ada sebuah ambulan yang berpas-pasan dengannya di depan gerbang menuju ke kiri."Apa tadi, yang di bawa ambulan mbak?" Aira memastikan."Iya, benar!"Tanpa pikir panjang Aira langsung berlari meninggalkan rumah sakit. Ia melihat jalanan masih macet panjang. Sekuat tenaga ia berlari. Aira yakin masih mampu mengejar ambulan yang membawa jenazah Zayen.Benar saja, dari kejauhan tampak mobil ambulan yang bertulis mobil Jenazah terjebak macet. Aira berlari lebih cepat lagi. Sekitar beberapa meter lagi Aira sudah sampai ke mobil tersebut. Namun sayangnya, macet sudah berkurang dan Ambulan tersebut menjauh.Aira yang wajahnya sudah tak terurus karena kelelahan berlari sambil menangis, langsung mencari cara. Ia melihat seorang wanita naik motor sendirian. Aira segera menghadang dengan kedua tangannya. Tentu saj
Pagi-pagi sekali Aira sudah siap untuk berangkat menuju bandara Sepinggan Balikpapan. Tiket yang ia dapat tadi malam melalui aplikasi traveloka terbang pukul 12.15 menuju Bandara Juanda, Surabaya.Bu Indarti dan Pak Margono yang mengantarkan Aira. Ninda tak bisa ikut karena ada kegiatan sosial di kampusnya."Aira!" Tiba-tiba Aira dikejutkan oleh kedatangan Niko, Davina, dan Widya. Tak ketinggalan bayi mungil mereka."Aira ... Aku ... mau minta maaf," ucap Widya lirih sambil memeluk Aira yang sudah siap memasuki mobil."Maaf? Untuk apa?""A-aku ... yang mengirim video itu. Waktu itu, A-ku sedang menemani anakku bermain di Taman cerdas, maaf ... karena Aku sempat berniat tidak baik, pada rumah tanggamu, Aira," ucap Widya sambil tertunduk. "Aku dengar dari Davina, Kamu mau mencari Zayen. Aku minta maaf, kalau karena ulahku kalian bertengkar. Aku alan mendoakan kebahagiaan untukmu, Aira. Semoga Kamu dan Zayen bisa bertemu lagi, kalau sudah bertemu, sampaikan maafku pada Zayen," do'a Wid