"Zayeeeen! Kamu jahat! Betapa curangnya caramu membalasku! Pulang Zayen ... pulang! Aku ingin dirimu bukan yang lain!" Aira berbicara sendiri di sela-sela tangisnya. Berulang kali ia memukul bantal yang sering dipakai oleh Zayen.Seperti kehilangan separuh jiwa, itu yang Aira rasakan. Ia benar-benar shock menghadapi kenyataan jika Zayen benar-benar meninggalkannya dan tak aka kembali. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Aira terlambat menyadari rasa marah yang sering ia tampakkan pada Zayen, bukanlah marah yang sesungguhnya. Yang sesungguhnya ia rasakan adalah rasa cinta dan sayang yang sangat dalam. Sekarang Aira benar-benar merasa kehilangan. Kehilangan teman bertengkar, kehilangan teman bicara, dan kehilangan teman hidup.Aira berulang kali mengacak-ngacak rambutnya yang sudah mulai basah oleh keringat dan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Sesekali ia memukul-mukul kepalanya dengan bantal sambil meringis. Aira marah pada dirinya sendiri. Marah pada kebodohannya, juga marah
Ada rasa bersalah menelusup di hati Aira. Apalagi saatmengingat bagaimana Niko menjaganya di rumah sakit. Aira berusaha menyingkirkan rasa curiganya sejenak. Bagaimanapun juga, Niko adalah anak dari orang yang sudah memberinya kehidupan kedua. Perlahan ia mendekat daj menyentuh tangan Niko untuk membangunkannya. Alangkah terkejutnya Aira saat ia menyentuh lengan Niko. Kulit lelaki tersebut terasa menyengat. Rupanya Niko demam akibat tidur di luar semalaman bersama angin malam. "Nik ... Niko ... bangun Nik!" Aira menggoyang lengannya pelan.Niko membuka matanya dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seperti baru tersadar dari mimpi. Niko memegang kepalanya yang terasa pusing."Kenapa enggak pulang, sih Nik! Kalau kamu pulang kan enggak kaya gini jadinya. Mana di rumah enggak ada stok obat penurun panas lagi," sesal Aira.Niko menggeleng dengan lemah. Aira bingung harus berbuat apa. Akhirnya Aira membawa Niko kembali masuk dengan menggandengnya pelan. "Berbaringlah di si
"Baik, Bu." Karena memang masih dilanda rasa bersalah, Aira langsung menyanggupi permintaan Bu Indarti. Aira segera menuju ke kamar Niko.Aira menatap punggung Niko yang membelakanginya. Lagi-lagi ia berhalusinasi jika Niko adalah Zayen."Zayen," desisnya tanpa sadar. Niko sontak membalikkan badan dan menatap Aira dengan wajah sayu dan pucat. "Za ... Eh, Nik!" Panggilnya gugup karena menyadari salah menyebut nama.Aira mendekat dan langsung mengangkat nampan, memindahkannya ke dekat Niko."Makanlah," ucap Aira dengan nada kaku."Hemm ... suapin!" Rengek Niko manja.Aira menarik napas kesal. Tapi tak ingin menambah rasa bersalah, Aira segera meraih sendok dan mulai meyuapkan makanan ke mulut Niko.Hati Aira tiba-tiba merasa sangat sedih. Ia membayangkan sedang menyuap Zayen makan. Hayalan konyol yang membuatnya tersenyum getir, karena tau itu tak akan pernah terjadi.Aira melihat Niko memandangnya seperti orang keheranan setiap ia habis menyuapi makanan. Hingga sampai suapan terakhi
Pagi-pagi Aira sudah menyibukkan dirinya di dapur. Walaupun Bu Indarti melarangnya untuk bekerja, tapi ia menolak dengan dalih sudah sehat dan tak enak jika berdiam diri. Sesungguhnya Aira berusaha mengalihkan pikirannya dari Zayen. Setiap teringat Zayen, Aira selalu ingin menangis."Aira, kamu antarkan makanan lagi buat Niko, ya?" ucap Bu Indarti setelah mereka selesai menyiapkan makananan.Aira terdiam. Enggan sekali rasanya. Tapi untuk menolak juga sungkan."Ra! Kamu keberatan ya?"Aira menggeleng sambil menyunggingkan senyum yang sangat dipaksakan."Sepertinya, Niko selera makannya muncul kalau kamu yang antar, Ra!" tutur Bu Indarti."Baik, Bu," jawab Aira sambil mengangguk.Bu Indarti menyunggingkan senyum sambil meletakkan semua makanan untuk Niko yang masih terbaring di kamarnya ke dalam nampan."Sudah nih! tinggal kamu bawa," ucap Bu Indarti pada Aira.Aira meraih nampan dan melangkah dengan berat hati menuju kamar Niko. Pintu kamarnya sudah terbuka, jadi Aira langsung saja ma
"Udah selesai makannya, Ra?" tanya Bu Indarti melihat Aira melangkah dengan tergesa menuju dapur. "Udah, Bu. Emang Niko lagi enggak selera makan. Ini cuma dimakan separuh," sahut Aira sambil menuang sisa makanan Niko ke tempat pembuangan. "Oh, tapi mendinganlah, daripada enggak makan. Selama Niko sakit dan kamu juga belum sehat total, kamu enggak usah ngerjain apa-apa dulu di dapur, ya. Biar saya yang urusin semuanya. Tugasmu cuma nemanin Niko makan, terus kamu istirahat.""Kok gitu, Bu?" Aira mengerutkan dahi. "Ya ... biar kalian berdua sama-sama cepat pulih. Kalau perlu, kamu sama Niko sering-sering makan bareng. Biar selera makan. Atau kalian mau makan di luar berdua? Siapa tahu bosan sama masakan rumah?" tawar Bu Indarti sambil tersenyum. Penawaran Bu Indarti sontak membuat Aira menggeleng tegas. "Sa-ya ... permisi ke kamar dulu, Bu," pamit Aira. Ia merasa Bu Indarti seperti sedang berusaha mendekatkan dirinya dengan Niko."Iya, silahkan," sahut Bu Indarti sambil tersenyum ra
Aira memandang Niko. Niko membuang muka berpura-pura memandang ke arah lain. Malu rasanya jika ia mengingat bagaimana ia memaksa perasaannya pada Aira di Taman Cerdas saat itu. Apalagi status Aira saat itu masih sebagai istri orang."Benar, Pak!" Kali ini Aira bersuara menjawab. Dalam hatinya masih kesal dan menganggap Niko biang masalahnya dengan Zayen."Niko!" Panggil Pak Margono.Niko terperanjat. Sungguh dia tak siap jika papanya bertanya macam-macam."Kamu benar-benar menyukai Aira? Sejak kapan?"Niko menggaruk-garuk tengkuknya. Ingin rasanya ia melarikan diri dari depan keluarganya saat itu juga. Ia benar-benar malu akibat tingkahnya sendiri."Niko! Benar kamu menyukai Aira?" ulang Pak Margono setengah membentak.Niko mengangguk sambil menunduk. Sungguh ia merasa sangat malu mengakui perasaannya yang tak lazim di depan seluruh keluarganya."Sejak kapan?" Pak Margono menatap putranya lekat-lekat.Niko menggeleng dengan kepala yang semakin tertunduk.Pak Margono menghela nafas be
Aira memandang wajah Bu Indarti yang nampak penuh pengharapan. Majikan yang sedari dulu memang selalu memperlakukan dirinya seperti anak sendiri. Demi melihat wajah teduh itu tetap bahagia, Aira meraih kembali pulpen yang semula terlepas dari genggaman.Aira segera meraih surat cerai tersebut. Walaupun tangannya masih gemetar namun, Aira tetap berusaha menandatangani kolom di atas nama lengkapnya.Setelah ditandatangani oleh Aira, Bu Indarti kembali meraih surat cerai tersebut dan memasukkan ke dalam amplop semula. Setelah itu ia meletakkan surat cerai tersebut di samping tempat duduknya.Sejak detik itu, Aira mengakhiri kisahnya dengan Zayen. Namun demikian, rindunya masih tersimpan dan berlanjut untuk Zayen di dalam segumpal daging bernama hati.Usai menandatangi surat cerainya, Aira kembali menangis sesenggukan. Aira beranjak meninggalkan Bu Indarti, Pak Margono, dan Niko ke kamarnya. Ada rasa sakit yang tak terhingga menempel di hatinya. Dulu Aira pernah menginginkan berpisah dar
Tok ... tok ... tok ....Aira yang masih terlelap samar-samar mendengar pintu kamarnya di ketuk. Aira mendorong selimut yang masih menutupi kakinya lalu beranjak bangun. Aira menatap wajahnya di cermin. Terlihat sembab dan pucat, kantung matanya tampak jelas, akibat terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Aira menatap jam dinding."Astaga! Sudah jam 07. 00. Belum menyiapkan sarapan!" Aira bergumam pada dirinya sendiri dengan panik. Aira segera membuka pintu, tampak Bu Indarti berdiri di depannya."Maaf, Bu ... semalam Saya tidur kemalaman. Jadi kesiangan, kenapa Ibu enggak bangunin?" Aira menunduk sambil bertanya sekaligus meminta maaf. Harusnya jam segini sarapan sudah siap di meja makan."Hehehehh ... kenapa Ibu harus membangunkan calon menantu Ibu, sedangkan kondisinya sedang tak sehat," ucap Bu Indarti membuat Aira tertegun sejenak mengingat malam tadi ia menerima permintaan keluarga majikannya. Aira yang baru bangun tidur, masih seperti orang linglung mengikuti langkah Bu I
4 tahun kemudian ....Sebuah keluarga kecil beranggotakan 4 orang melangkah turun dari pesawat. Kedua orang tuanya tersenyum lebar, doa mereka terkabul untuk bisa kembali menjajakkan kaki di pulau Kalimantan.Setengah berlari mereka mengejar langkah kedua bocah yang tak pernah lelah berlari."Ragil ... Rasya ... jangan lari-lari terus, bunda capek, Nak!" Seru Ibunya yang menggunakan baju gamis berwarna merah maron dengan jilbab hitam. Ia nampak kesulitan, mengejar dua bocah yang sedang lincah-lincahnya.Sang Bapak, yang mengenakan jaket berwarna senada, hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat tingkah kedua bocahnya.Dari jauh tampak dua orang berdiri, untuk menyambut kedatangan mereka. "Ibuuuu ....""Airaaa ...."Kedua wanita tersebut saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Sementara kedua bocah yang tadi berlari-lari menyembunyikan wajah di belakang ayahnya."Hey, Ragil! Rasya! Sini ... ini juga Nenek dan Kakek" ucap Aira memperkenalkan Bu Indarti dan Pak Margono pada ked
Aira dan Zayen baru saja selesai salat subuh. Zayen masih saja mengajak Aira bermanja-manjaan dan melarang Aira keluar dari kamar. Aira terpaksa menuruti kemauan bayi besarnya tersebut."Zayen, Bank jauh gak dari sini?" Tiba-tiba Aira bertanya.Zayen diam tak menjawab."Zayeeen! Dengar enggak sih Aku nanya!" Sungut Aira kesal."Enggak!""Enggak kok jawab.""Panggil Aku, Mas dulu ... baru aku jawab!""Hedeeh! Iya ... iyaaa ... Mas Zayen Zeyeeeenggg. Bank jauh enggak dari sini?""Mau ngapain ke Bank?"Aira duduk di samping Zayen dan meraih tangan suaminya. "Kalau aku panggil sayang aja, enggak papa kan?"goda Aira tanpa menghiraukan pertanyaan Zayen sebelumnya."Terserah dah, penting jangan panggil nama, ya! Mau ngapain ke Bank?" Ulangnya."Ya ... ya ... ya ... Sayaang, tadi malam, Bu Indarti transfer uang kita yang udah masuk untuk bayar rumah sama motor yang disana dia bayar juga. Karena rumahnya sekarang ditempatin sendiri ama Niko, jadi uang kita total di ganti.""Oh, Gitu! Tapi bia
Zayen melihat raut wajah istrinya yang nampak gelisah. Ingin sekali ia membawa istrinya ke kamar dan bertanya. Tapi kerabat dan tetangga masih datang silih berganti. Bisa jadi bulan-bulanan dia, jika siang bolong ketahuan mengajak Aira ke kamar.Zayen tersenyum sendiri, ingat bagaimana pernikahan pertamanya dengan Aira yang penuh kepalsuan, bagaimana Aira pingsan setelah ia mengucapkan Ijab qobul, bagaimana mereka bertengkar sepanjang bulan madu yang penuh kepalsuan.Zayen sedikit heran dengan reaksi sebagian orang. Ia diam-diam memperhatikan mereka seperti menemoohkan istrinya. Mungkin itu sebabnya Aira gelisah. "Ah ... lambat kali matahari tenggelam," gumam Zayen dalam hati.Menjelang Ashar, kerabat sudah mulai pulangan. Rumah mereka mulai sepi. Aira dan Alya membersihkan sisa-sisa piring kotor yang belum di cuci. Sebagian tadi sudah di cuci oleh orang-orang yang berdatangan secara bergantian. Sementara itu Zayen membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan Aqua yang masih berceceran.K
"Ada yang ngebet minta di halalin nih! Kayaknya ....""Ihhh ... Zayeeen!" Aira memukul lengan Zayen pelan."Eh, bukan ngebet ... kebelet!""Iiihhhh ...." Aira mencubit tangan Zayen sambil menunduk malu.Zayen tertawa gemas melihat tingkah Aira. Jika tidak berada ditempat umum sudah pasti di peluknya wanitanya itu."Yakin? Mau dihalalin lagi sama aku?"Aira mengangguk malu-malu."Tapi ..."Aira mendongakkan wajahnya harap-harap cemas, mendengar kata tapi dari mulut Zayen."Tapi apa?" Aira tak sabar."Tapi, aku enggak punya mobil. Enggak bisa beliin kamu berlian," ucap Zayen sambil tersenyum simpul.Aira mencubit pinggang Zayen berkali-kali dan menjawab," tapi kamu masih punya uang buat bayar penghulu kan?Lalu mereka tertawa berdua."Tapi, Zayen! Darimana dulu kamu bisa berpikir menyerahkan aku ke Niko, kaya barang aja!" Aira kembali merengut.Zayen menarik nafas panjang. Lalu mulai bercerita."Waktu malam, sebelum pagi-pagi Aku marah itu, ada nomor enggak kukenal ngirim video ke Aku."
"Tunggu!" Suara wanita memanggilnya. Aira membalikkan badan, rupanya mempelai wanita yang memanggil."Apa ... kamu bernama Aira?" Tanyanya."I-iya!" Aira menganggukkan kepalanya dan lanjut menunduk lagi."Masuklah!" Perintahnya kembali.Aira diam, tidak melangkah masuk juga tidak meneruskan keluar. Mempelai wanita tersebut berbisik ke telinga calon suaminya. Lalu suaminya mengangguk-angguk.Mempelai wanita tersebut mengisyaratkan kepada seseorang untuk membawanya ke kamar."Ayo!" Ia menghampiri Aira dan membawanya masuk ke kamar yang nampaknya merupakan kamar pasangan yang akan menikah. Aira menurut saja arah wanita tersebut menariknya, ia tak mengerti maksud perlakuan mereka."Disini dulu, ya! Sampai akad selesai. Kami khawatir kamu membuat keributan lagi!" ucap wanita tersebut sambil mengunci pintu kamar dari luar.Aira yang masih bingung dan malu hanya pasrah. Entah setelah itu apa yang akan mereka lakukan padanya, ia benar-benar sudah pasrah.Aira duduk di pinggir ranjang yang su
Aira mengecek jarak tempatnya berada dengan alamat Zayen. 30 menit, tertera. Aira segeara memanggil Gojek."Selama janur kuning belum melengkung, masih ada harapan," Aira nekad ingin menggagalkan akad nikah Zayen bagaimanapun caranya.Beruntung jalanan tampak senggang. Aira bisa sampai di alamat tujuan sesuai perkiraan waktu. Aira membayar gojek lalu melangkah menuju ke sebuah rumah yang nampak ramai. Aira melirik ke kanan-kiri, alamat tidak mencantumkan nomor rumah. Tapi ia yakin, di tempat yang ramai itulah akan berlangsung akad nikah.Aira berlari dan menerobos kerumunan orang. Belum nampak kedua mempelai yang akan melangsungkan akad nikah, karena acaranya masih setengah jam lagi."Hentikan!" Teriak Aira dengan suara lantang.Orang-orang yang semula riuh melihat kedatangannya, mendadak diam. "Ada apa ini? Kamu siapa?"Seorang lelaki tua menghampiri Aira yang masih berdiri dengan tubuh bergetar."Aku Aira, aku calon istri dari mempelai laki-lakinya," jawab Aira lantang.Suara orang
Hari sudah beranjak siang, Aira kembali tiba di hotel."Huh!"Aira melempar tasnya ke kasur dan langsung merebahkan diri. Tangannya langsung memijit-miji kakinya yang sakit bukan kepalang."Sialan ...." gerutunya.Aira benar-benar sebal karena mengejar mayat lelaki tua yang beristri dua tadi. Tapi kemudian Aira tersenyum, ia tak membayangkan bila mayat tadi benar mayat Zayen. Aira terus memijit-mijit kakinya yang sakit sekali. Ia meringis, ada bagian yang terkelupas karena kena gesekan sandalnya saat berlari. Aira kembali meraih handuk untuk mandi lagi."Asem," sungut Aira sambil mengendus-ngendus bagian keteknya sendiri.Selesai mandi, Aira merasa sangat lapar. Sebelum meninggalkan hotel menuju alamat Zayen, Aira berniat keluar untuk mencari makanan. Tadi pagi, Aira lupa makan. Energinya terkuras habis hari ini. Aira melangkah dengan lemas.Aira mencari-cari tempat makan yang ada di sekitar melalui internet. Aira banyak menemukan restoran hingga warteg yang menawarkan makanan.Aira
"Jam berapa dibawa, Mbak?" Aira bertanya dalam isak tangisnya."Baru aja, Mbak, mungkin bersamaan sama datangnya Mbak," terang petugas.Aira mengingat-ngingat kejadian saat masuk tadi. Ada sebuah ambulan yang berpas-pasan dengannya di depan gerbang menuju ke kiri."Apa tadi, yang di bawa ambulan mbak?" Aira memastikan."Iya, benar!"Tanpa pikir panjang Aira langsung berlari meninggalkan rumah sakit. Ia melihat jalanan masih macet panjang. Sekuat tenaga ia berlari. Aira yakin masih mampu mengejar ambulan yang membawa jenazah Zayen.Benar saja, dari kejauhan tampak mobil ambulan yang bertulis mobil Jenazah terjebak macet. Aira berlari lebih cepat lagi. Sekitar beberapa meter lagi Aira sudah sampai ke mobil tersebut. Namun sayangnya, macet sudah berkurang dan Ambulan tersebut menjauh.Aira yang wajahnya sudah tak terurus karena kelelahan berlari sambil menangis, langsung mencari cara. Ia melihat seorang wanita naik motor sendirian. Aira segera menghadang dengan kedua tangannya. Tentu saj
Pagi-pagi sekali Aira sudah siap untuk berangkat menuju bandara Sepinggan Balikpapan. Tiket yang ia dapat tadi malam melalui aplikasi traveloka terbang pukul 12.15 menuju Bandara Juanda, Surabaya.Bu Indarti dan Pak Margono yang mengantarkan Aira. Ninda tak bisa ikut karena ada kegiatan sosial di kampusnya."Aira!" Tiba-tiba Aira dikejutkan oleh kedatangan Niko, Davina, dan Widya. Tak ketinggalan bayi mungil mereka."Aira ... Aku ... mau minta maaf," ucap Widya lirih sambil memeluk Aira yang sudah siap memasuki mobil."Maaf? Untuk apa?""A-aku ... yang mengirim video itu. Waktu itu, A-ku sedang menemani anakku bermain di Taman cerdas, maaf ... karena Aku sempat berniat tidak baik, pada rumah tanggamu, Aira," ucap Widya sambil tertunduk. "Aku dengar dari Davina, Kamu mau mencari Zayen. Aku minta maaf, kalau karena ulahku kalian bertengkar. Aku alan mendoakan kebahagiaan untukmu, Aira. Semoga Kamu dan Zayen bisa bertemu lagi, kalau sudah bertemu, sampaikan maafku pada Zayen," do'a Wid