Jack terlihat terus mondar - mandir, dengan ponsel menempel di telinganya. Jack terus menyangkal semua pemberitaan yang menerpa Zein pada beberapa wartawan yang menghubunginya.
"Astaga!" erang Jack setelah sambungan berakhir, dia merasa kupingnya panas karena banyak menerima panggilan hari ini.
Zein masih diam, larut dalam pikirannya. Zein terlihat acuh dengan kejengkelan, kesibukan Jack karena memang sudah tugasnya Jack menangani semua tentangnya di dunia penuh sandiwara itu.
"Dalam sebulan, rumor kamu dating hampir sama 6 perempuan terkenal dengan minus 1 anak presiden." oceh Jack dengan wajah di tekuk muram, dia menyesal rasanya mengambil pekerjaan ini.
Zein mengangkat bahunya acuh."Ga semua aku yang deketin bang, mereka yang nyamperin." balasnya malas - malasan.
Zein meringkuk di sofa, memikirkan soal Zeva membuatnya lelah. Baru pertama kali selama dia hidup, p
Zeva merapihkan kasurnya, setelah puas melihat isi rumah Zein. Perutnya yang terhalang gaun tidur putih cukup menutupi perutnya yang buncit. "Belum tidur?" Zeva menoleh, mengerjap pelan dengan melempar senyum."Belum, Zeva masih ga ngatuk, Geo." jawabnya. Zein terlihat canggung, entahlah. Kenapa juga seorang playboy mendadak canggung hanya karena melihat perempuan manis dengan gaun tidur tipis dalam keadaan hamil di kamarnya. Ugh! Zein merasa telinganya panas. Imajinasinya tiba - tiba aktif. Bagaimana ya rasanya making love dengan wanita hamil? Zein memang brengsek, baru bertemu lagi malah ingin membuat Zeva lelah di bawahnya. "Geo?" Zeva sudah berdiri di depan Zein, mendongkak dengan menatap bingung. "Hm?" "Kok ngelamun? Zeva panggil - panggil sama tanya Geo tadi." jelasnya dengan mengerja
Dokter berusia matang itu terlihat serius memperiksa Zeva, semua peralatan medis untuk kandungan mendadak memenuhi kamar Zein. Zein yang berdiri di samping Jack terlihat bahagia, dia baru saja mendengar detak jantung anaknya. "Kandungan sudah masuk 8 bulan akhir, posisi dan keadaan keduanya baik, terus pertahankan." Zein tersenyum tipis setelah mendengarnya. Sudah 3 hari Zeva di rumahnya, dokter baru sekarang datang karena Zein melarang untuk datang sebelum dia dapat waktu luang. "Makasih, dok." Jack membungkuk sopan. "Suaminya siapa?" dokter itu memandang keduanya lalu tersenyum."kamukan?" tepuknya pada Zein. Zein tersentak pelan, Jack tampak terkejut. "Tenang, rahasia aman. Semangat shootingnya, istri saya begitu tergila - gila padamu Zein." Zein tersenyum hangat."Lain kali kita bisa makan malam bers
Red karpet membentang panjang. Para wartawan terlihat sibuk di setiap sisinya, menyiapkan semua kamera dan perlengkapan lainnya. Para bintang malam ini terlihat bergantian masuk, dari yang senior hingga Junior, dari yang terkenal hingga yang baru. Dan hingga berakhir pada bintang utama yang sedang hangat - hangatnya di perbincangkan dan di gilai. Semua tampak bersiap, para fans mulai ricuh meneriakan nama Zein. Zein melirik semuanya di balik jendela mobilnya, dia merasa tidak percaya bisa di gilai melebihi para bintang lainnya yang lebih dulu berkecimpung di dunia sandiwara. "Abang tunggu di ruang sebelahnya, jangan jawab pertanyaan yang ga sesuai sama yang kita diskusiin kemarin." Zein mengangguk, merapihkan jasnya lalu mulai membuka pintu dan turun dari mobil. Semua terlihat berlomba menjadi yang paling depan. Kedipan - kedipan kamera b
Zein menyesap jus jeruknya sedikit, matanya mengedar ke setiap sudut kantin yang kini ramai. Apalagi di tambah dirinya yang hadir. "Dia kelas dua belas, udah pengalaman." Andi membisik pada Zein yang acuh dan terlihat malas sekolah itu. Zein mengangkat alisnya."Terus? Dia yang waktu itu lo ceritain? Yang mau aja di ajak main di toilet?" tanyanya dengan santai. Andi mengangguk."Dia juga anak dari pemilik tempat tatto yang bikinin lo tatto, Gar." jelasnya. Zein menautkan alisnya."Oh cewek itu, gue pernah liat. Sempet main juga abis beres tattoan." jelasnya acuh tak acuh. "Anjir, keduluan dong, tatto yang mana?" kini Agil yang terlihat penasaran. Zein membuka seragamnya sedikit."Ini, udah cukup lama dan gue ga minat, ga terlalu enak servisnya." terangnya acuh. "Lo mau yang kawai'kan, tipe lo gue tahu,
Zeva menggeliat, matanya terbuka lalu mengerjap beberapa kali. Kenapa langit - langitnya berubah? Setahu Zeva dia masih di ruangan serba putih, alias rumah sakit. "Udah bangun?" Zein menghampiri Zeva, mengusap sekilas kepalanya lalu berlalu lagi menuju meja tempat dia bermain komputer. Zein menyesap tehnya lalu mulai menyalakan lagi film yang sempat dia jeda. Zeva perlahan menuruni kasur milik Zein, melangkah gontai ke arah Zein yang tengah fokus itu. "Zeva kok di sini?" tanya Zeva setelah berdiri di samping Zein yang duduk itu. Zein menoleh, mengusap perut Zeva sekilas sebelum meraih pinggangnya dan membantu bumil itu duduk di sebelah pahanya. "Infusan udah habis, demamnya juga udah turun." Zein menjelaskan dengan acuh, dia mencoba fokus walau wangi Zeva sedikit mengganggunya. Zeva yang duduk di sebelah paha Zein terlihat ikut
Zein mengeringkan rambutnya, kedua kakinya bergerak menghampiri Jack yang terlihat sendirian dengan wajah mendung itu. "Bang Jack keliatan makin tua." ejeknya sebelum duduk di sebrang sang manager. Jack memindai dengan kesal wajah tampan yang berlagak tidak berdosa itu. "Dasar bocil!" Jack mendorong tab di meja ke arah Zein."baca itu, biar bisa dapet pengetahuan." lanjutnya dengan sedikit sensi. Zein meraih tab, membaca beberapa tradisi di negara ini. Pernikahan dan hamil di luar nikah. "Terus?" tanya Zein dengan begitu ringannya. Jack menganga sesaat."Terus kamu bilang? Anak kamu mau lahir dan butuh status yang jel—" "Bang Jack serius nyuruh artis abang nikah? Secara hukum, nanti akan ada data loh bang." Zein menatap Jack serius. "Terus kamu mau biarin wanita muda yang baru beres di bikin cape itu begitu aja?
Zein tersenyum tipis, gelagat Zeva sungguh lucu. Seperti pencuri amatiran. Ragu, kaku tapi ingin jadi satu. Zein yang sangat mudah menghafal dialog itu jelas tidak lupa soal tidak bolehnya Zeva terlalu banyak makan ice cream. "Udah cukup." Zein meraih cup ice cream di tangan Zeva lalu memasukannya ke tempat sampah mini yang selalu ada di dalam mobil itu. Zeva mengerjap pelan, melirik tong sampah lalu menatap Zein yang tersenyum seraya mencubit gemas pipinya. "Dokter bilang apa? Jangan terlalu banyak makan ice, biar bayinya ga besar di dalem." Zein meraih kepala Zeva, mengecup acak rambutnya. Jack yang mendengar itu menoleh sekilas, dia juga lupa soal itu. Untung Zein panjang ingatan. "Di buang?" tanya Zeva dengan melirik tong sampah itu nanar. Zein terkekeh pelan, wajah polos Zeva semakin terlihat menggemaskan. Zein menggigit sayang pipinya
Suara 'CUT' terus saja berulang, bahkan terdengar kesal."Zein, ada apa hari ini? Bahkan baru di mulai." keluh sutradara. "Maaf, om." sesal Zein dengan di akhiri helaan nafas berat. Zein masih terganggu dengan keadaan Zeva. Katanya Zeva di larikan ke rumah sakit, tanpa tahu alasannya apa. Zein paham, mungkin Zeva dan yang lainnya tidak mau membuatnya khawatir. Tapi, dengan ketidak tahuannya justru Zein semakin terbebani. "Istirahat sebentar." putus sang sutradara. Zein sesekali meminta maaf, pada kru maupun lawan mainnya. Dia sungguh tengah kacau. Pengaruh ibu dari anaknya itu memang dahsyat. "Zein, bang Jack udah bilangkan, Zeva ga papa cuma capek." gemasnya kesal. Zein menyorot Jack dengan tidak percaya."Bang, kita emang baru sebentar bareng - bareng, tapi aku tahu kalau bang Jack lagi bohong sekarang." nada suara
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***