PoV Maya***Hari ini aku resmi telah menjadi tunangan Mas Yoga. Semalam, acara lamaran dilangsungkan di rumahku secara sederhana. Yang hadir hanya keluarga saja. Dari apa yang kuketahui mengenai keluarga calon suami, nampak sekali mereka tidak gengsian. Meskipun lamaran tidak mewah, tapi yang penting sakral.Malam itu aku serasa di awang-awang. Bagaimana tidak? Aku yang bukan konglomerat malah selangkah lagi akan dipersunting oleh seorang pria keturunan Medan dan Minang.Sebenarnya untuk jadi istri keturunan orang daerah luar itu banyak sekali peraturan dan adat istiadat ternyata. Mungkin saja bila nanti aku sudah menjadi istri Mas Yoga, aku akan membeli marga dengan cara upacara adat kata Mas Yoga. Aku sih belum begitu paham. Ah, nanti saja bahas itu. Sekarang aku harus fokus kerja dulu.Sebenarnya setelah bertunangan aku merasa malu dan canggung bila bertemu dengan Mas Yoga. Ini rasanya seperti mimpi, karena ada rasa malu akan status, sehingga aku pun bersikap layaknya bos dan kary
POV MAYA***"Haha. Ya ampun, sudah kuguda. Sudah kuduga kalian memang orang-orang misikin yang ingin diakui kaya. Aduh," kekeh Mas Anang."Mas, jangan ditertawain, entar mereka nangis dan malu loh, Mas!" Sama saja, pacar Mas Anang mengejek kami berdua."Sayang, ayok, lebih baik kita duduk di tempat sana. Di sini gerah sekali," saran Mas Yoga, aku pun manggut-manggut."Hush! Pergi!" Mereka berdua mengusir kami."Mohon maaf, ada apa ini?" Tiba-tiba seorang pria yang kuduga tadi adalah manajer resto menghampiri."Enggak, ini, mereka mau duduk sembarangan di tempat duduk kami. It's oke, sudah saya usir," ujar Mas Anang dengan angkuh.Sang manajer manggut-manggut, namun ia melirik kami berdua. "Kalau begitu kami minta maaf atas ketidaknyamanannya, Mas, Mbak. Kalau begitu mari kami antar Mbak dan Mas ke ruang VIP di restoran kami ini."Deg!Manajer mempersilahkan kami dengan santun dan ramah. Aku dan Mas Yoga pun merasa tersanjung. Lalu, dua orang menyebalkan itu sekarang malah menahan kep
PoV Maya***"Selamat siang, Pak, Bu? Selamat datang."Resepsionis menyapa aku dan juga Mas Yoga dengan ramah. Yang aku lakukan hanyalah tersenyum sambil manggut.Sepertinya dia berpikir kalau aku adalah sekretaris Mas Yoga."Selamat siang. Di mana manajer Andi?" tanya Mas Yoga tanpa basa-basi. Aku masih berada di sampingnya."Manajer Andi sedang keluar, Pak." Itu jawaban resepsionis yang kuketahui namanya Santi dari tanda pengenal yang ia pakai."Keluar? Ke mana? Tinjau pekerjaan?" tanya Mas Yoga."Saya tidak tahu, Pak. Baru saja manajer Andi keluar. Apa ada yang bisa saya sampaikan, Pak?" ucap resepsionis itu."Tak usah. Saya mau menunggu saja." "Baiklah, Pak, mari saya antar," katanya dengan penuh kesantunan."Tak usah, saya bisa sendiri." Mas Yoga menjawab."Apa perlu saya hubungi Pak Andi, Pak?" saran Santi si resepsionis."Tak usah, saya yang akan hubungi dia." "Baikah, Pak."Aku dan Mas Yoga pun lanjut melangkahkan kaki ke sebuah ruangan yang tersekat hanya dengan partisi din
"A … apa maksud, Pak Bos?" tanyanya seakan ingin berdalih. Kata 'bos' yang aku tanggapi itu berarti hanya untuk pencitraan setelah merasa dirinya mungkin salah."Konsumen mengeluhkan. Kondisi bangunan barangnya tidak seperti yang diinginkan. Apakah yang salah ini perusahaan atau supplier barang?" Mas Yoga mencecar Pak Andi."Bukankah supplier juga sudah tahu apa yang kita inginkan? Kenapa jadi berubah? Pak Andi yang tak teliti atau mereka yang berhasil memasukkan barang jelek dengan harga yang sama dengan kualitas yang diinginkan?" Saat ini wajah Pak Andi mulai memucat. Dia yang baru bekerja beberapa bulan itu sepertinya harus bersiap-siap menerima surat peringatan dari perusahaan."Ma … maaf, Pak. Saya betul-betul tak tahu. Sepertinya saya juga baru tahu masalah ini." Pak Andi menjawab dengan ragu. Dia ini sedang berakting atau takut?"Tolong ambil semua laporan mengenai proyek itu," titah Mas Yoga."Baik, Pak."Sepertinya Pak Andi kaget betul dengan pertanyaan Mas Yoga saat ini. Di
"Lalu, mana uangnya? Kalau barang dengan kualitas begitu yang kita beli? Kenapa laporan uang yang keluar masih tetap sama? Ini artinya, Pak Andi yang raup keuntungan bersama orang yang diajak kerjasama dengan Pak Andi. Karena tak mungkin orang kerja sendiri tanpa bantuan orang lain. Ini jelas, Pak Andi memang mengambil keuntungan dari proyek ini. Jadi, silahkan beresi barang-barang Pak Andi dan tinggalkan kantor ini sekarang juga."Hah?Aku benar-benar kaget dengan keputusan Mas Yoga. Kupikir manajer Andi hanya akan diberikan SP saja, belum sampai dipecat."Pak Yoga? Kenapa Bapak memutuskan hal yang belum tentu benar? Bapak kenapa pecat saya?" Kedua bola mata Pak Andi terbelalak lebar. Ia kaget dengan keputusan Mas Yoga saat ini."Belum tentu benar? Jelas Anda yang jelaskan pada saya kalau semuanya itu ada keuntungannya. Tapi, keuntungan bagi siapa? Dana yang dihabiskan untuk proyek ini begitu besar dengan barang yang tak sesuai. Jadi, dari jawaban Pak Andi tadi, itu membuktikan kala
PoV Anang***"Bagian Mas telah aku transfer. Aku bangga bisa kerjasama dengan Mas dalam hal ini. Lain kali, saat ada proyek seperti ini lagi, Mas jangan lupa bimbing aku. Aku ini orangnya panikan, Mas. Untung ada Mas yang atur semuanya." Dia bicara padaku.Saat ini aku dan sohib hitamku sedang duduk manis di sebuah tempat asing. Menikmati anggur untuk menemani keberhasilan kami. Tak lupa juga pesta pizza hanya berdua saja. Yang lainnya nanti belakangan, ini hanya pesta si dalang saja."Tentu, ini sebenarnya hal kecil namun kita bisa untung besar. Halilintar corps itu sekarang lebih sering menang proyek, imbasanya, bos marah-marah gak karuan. Halah, aku bodo amat, dia gak kasih komisi, tapi kita punya komisi sampingan. Tinggal tek, tek, tek, selesai. Lagipula, barang yang kamu kirim itu gak ada bedanya. Sekilas mereka tak akan teliti soal itu," jelasku penuh wibawa.Siasatku sejak awal memang berbuah manis. Sejak bertemu dengan Sindy dan juga omnya ini, peluang bisnis terbuka lebar. K
"B … bos," jawabnya seperti tak bernyawa."Apa mungkin bosmu tahu?" selidikku, karena kalau secepat ini tidak mungkin. Apa Halilintar Corps menghubungi perusahaan supplier?"Coba diangkat?" saranku.Gelas berisi anggur kusimpan sejenak. Penasaran dengan apa yang bosnya katakan, aku pun menyuruh Lukman untuk loud speaker.Wajah Lukman memucat, padahal belum tentu apa yang kita lakukan diketahui oleh bos."Pak Lukman, Anda di mana?" tanya bos Lukman.Aku berharap Lukman bisa menjawab dengan santai. "Saya sedang di luar, Bos. Sebentar lagi saya kembali." Bagus, sekarang sepertinya dia sudah bisa berakting. Walaupun tak bertatap muka, tapi mimik wajah menjadi bumbu keluarnya nada dari pita suara."Sebentar lagi kita ada proyek besar. Sore ini kita meeting dadakan. Saya masih di batas kota, satu jam lagi saya sampai."Aku sudah kaget dengan apa yang ingin dikatakan oleh bos Lukman. Namun, sepertinya tak ada sangkut paut dengan kegiatan kami. Aku harus cepat-cepat memastikan si manajer ya
"Tuh, udah berhasil." Aku menunjukkan tatapan kami ke layar datar lebih dari 7 inchi ini."Oke, makasih anak Ibu yang terbaik."Aku mengerutkan kening. "Memang anak Ibu siapa lagi yang baik? Aku doang 'kan?""Iya, kamu doang. Anak Ibu 'kan cuma satu, kamu," ucap Ibu manja, "ya sudah, sekarang Ibu mau berangkat. Ibu mau telepon Jeng Nur biar jemput Ibu." Aku pun mengiyakan. Kami di rumah punya dua mobil yang harganya tiga ratus jutaan. Yang satu milikku, yang satu inventaris dari perusahaan.Ibu tak bisa mengendarai mobil, sehingga kemana-mana dia selalu bersama rekannya."Eh, Jeng Nur sudah jemput. Ibu berangkat dulu ya, Nak. Kamu memang cerdas dan pintar. Bye." Ibu pergi dengan sumringah. Berpakaian keren dengan tampilan masa kini. Ibu sudah menduga kecerdasan anaknya. Aku lagi-lagi berterima kasih karena Ibu selalu mendukung. Ingin rasanya aku bertemu lagi dengan Maya, biar aku ejek dia sampai mati kutu karena masih miskin saja.Oh ya, sebenarnya aku belum ada waktu untuk cari tah
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,