"Tanyakan pada ibumu." Andrinof menoleh pada sang ibu yang ditunjuk oleh Keenandra sebagai pelaku utama mengapa dirinya menyerang tadi. Rafika hanya diam saja. Di kepalanya berputar memori tadi pagi saat ia bertemu dengan Amira. Wanita itu kini tengah menyusun banyak kalimat untuk membenarkan tindakannya tadi. "Ma, apa mama bertemu dengan Amira?" Rafika mengangguk pelan. "Untuk apa?" "Mama hanya ingin memberinya peringatan agar tidak lagi menganggumu. Ibu mana yang tega lihat anaknya jadi pelarian orang yang sedang patah hati lalu dijadikan mainan. Apalagi, dia itu—" Rafika menjeda kalimatnya. Matanya melirik Keenandra yang kini memicingkan mata padanya. "—anak dari keluarga tidak jelas." "Apa maksud mama? Amira anak keluarga Winata!" "Anak angkat. Dia anak pungut entah dari mana. Kebetulan saja diangkat anak oleh keluarga terpandang. Harusnya dia bersyukur, bukan menantang dan malah ingin menghancurkan keluarga Aletta dan Keenan. Wanita macam apa itu? Pelakor kok disukai. Jangan
Amira terbangun di pagi hari dengan rasa pusing yang mendera kepalanya sejak tadi malam. Matanya terbuka sedikit, mengimbangi cahaya matahari yang masuk dari sela jendela kamar yang terbuka. Perlahan ia beranjak dari tempat tidurnya, menguap sebentar lalu turun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasa kantuk itu masih terus terbawa hingga ia akhirnya tersadar sedang duduk di atas kloset sambil memegang sikat gigi. Ini semua karena Keenandra yang mengajaknya menghabiskan malam dengan bercerita hingga subuh menjelang.“Hoam...”Amira keluar dari dalam kamar mandi menuju meja makan. Rumah sangatlah sepi. Sedikit melongok keluar jendela, mobil milik Keenandra sudah tak lagi berada di halaman. Pasti kekasihnya itu sudah pulang pagi tadi.“Selamat pagi, Citra.” sapa Amira. Citra yang sedang mengaduk minuman menoleh ke samping lalu tersenyum. “Hari ini saya mau kerja dari rumah. Ada yang bisa dikerjakan?” Amira mengambil cangkir teh yang sedang dipegang oleh Citra lalu meneguknya.“T
"Sebaiknya kamu jangan pergi menemuinya," cegah Keenandra saat Andrinof berjalan keluar dari ruangannya. Andrinof menghentikan langkahnya sejenak. "Dia tak akan mau menemuimu sekarang." "Atas perintahmu?" Keenandra mengangguk. "Apa hakmu melarangnya?" "Aku punya hak." Keenandra menaruh pena yang sedang dipakainya lalu mendongak dan wajah mereka saling bertatapan. "Aku calon suaminya." Andrinof mendengus lalu terkekeh. "Calon suaminya? Mimpi saja sana." Andrinof rupanya meremehkan peringatan dari Keenandra. Sepupunya itu selalu saja mengklaim semua yang disukainya dari kecil. Dulu, mereka pernah berkelahi karena memperebutkan seorang gadis kecil saat masih duduk di bangku sekolah dasar dan kini mereka juga melakukan hal yang sama. "Jangan meremehkan aku." "Dengar, aku tahu apa yang kamu lakukan pada Amira bukanlah hanya cinta semata. Tapi juga obsesi." Andrinof berjalan pelan mendekati meja Keenandra kembali dan kali ini ia membungkuk berhadapan dengan wajah dingin sepupunya itu.
Amira menghela napasnya sedikit kasar dan terdengar tak rela. Dengan perasaan tersiksa serta terpaksa, ia harus membubuhi tanda tangan penyerahan kepemilikan rumah beserta isinya kepada keluarga Winata. Rumah yang sebenarnya telah sah menjadi miliknya, diambil paksa oleh keluarga Winata yang telah membesarkannya.Sebelum melangkah keluar dari dalam rumah itu, Amira memberanikan diri bertanya pada Sonia dan Ardiwira yang ikut hadir di sana. Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan."Saya punya satu permintaan." suara Amira memecah keheningan ruangan. Sonia dan Ardiwira menoleh ke arahnya. "Bolehkah saya dipertemukan dengan keluarga orangtua saya? Kalau memang benar kalian mengadopsi saya dari seseorang di luar sana.""Kenapa kamu mau tahu?" ketus Sonia. Amira mendongakkan wajahnya berusaha menatap lurus wanita yang membencinya kini. "Kamu ada maksud tertentu atau—""Seorang anak yang diadopsi harus tahu latar belakangnya. Andaipun saya tak jelas asal-usulnya, bolehkah say
Keenandra tidak main-main dengan keinginannya untuk kembali pada Amira secepatnya. Sejak satu bulan yang lalu, diam-diam ia telah menemui seseorang yang telah lama bekerja pada kakeknya sejak masih muda. Beruntung dirinya disambut dengan tangan hangat dan orang itu bersedia menjelaskannya. Dahi Keenandra berkerut tak menyangka jika yang dilakukan oleh Aletta adalah sebuah kebohongan. Tangannya tak sadar telah mengepal, kumpulan emosi tersalurkan di sana. “Jadi kalau saya bantu cari hingga berkali-kali bahkan berminggu-minggu lamanya, tidak ada satupun katalog yang menyebutkan kalau tuan El Pasha pernah menulis surat itu. Tapi anehnya, tanda tangan itu sama.” kakek tua yang ditemui oleh Keenandra menunjuk ke tulisan yang pernah dibuat olehnya. Tak ada satupun yang menyebutkan jika kakeknya menyuruh Keenandra untuk menikahi cucu keluarga Winata dari keturunan bernama Ardiwira. “Kakek tak pernah menulis surat itu?” tanya Keenandra memastikan kembali. “Bukan. Kalau dia menulis, agak d
Benar-benar gila! Amira datang bersama Keenandra ke rumah keluarga Winata. Entah kebetulan atau tidak, lusa depan tante Mayang akan mengadakan acara ulang tahun di rumah besar itu. Tentu saja Amira juga diundang, karena hubungannya dengan keluarga Winata tidak ada masalah sama sekali. Amira langsung memeluk tante Mayang begitu i masuk ke dalam rumah. Tante kesayangannya itu telah menunggu sejak satu jam lalu hanya demi Amira. Pelukan hangat dan erat pun tercipta. Bahkan, tante Mayang sampai menangis terharu melihat keponakan tersayangnya datang. "Tante kangen banget sama kamu. Sudah sehat kan?" Amira mengangguk. Tante Mayang pernah menghubungi Amira saat dirawat di rumah sakit, tapi sayangnya ia tengah berada di luar negeri saat itu. "Syukurlah. Ayo masuk." Amira diantar ke kamar tidur di samping kamar tante Mayang. "Aku enggak tidur sama tante?" tanya Amira sambil menaruh koper kecil yang ia bawa tadi. "Ada Sinta nanti malam datang. Dia kan enggak bisa tidur kalau enggak meluk
Pertengkaran antara keluarga Winata dan Keenandra berakhir dengan hadirnya Bara El Pasha di tengah-tengah mereka. Ardiwira yang berinisiatif mengundangnya datang. Lama tak bersua, Marina masih saja memandang sinis akan hadirnya Amira di samping Keenandra. Amira tak banyak bicara, sesekali menunduk lalu menoleh pada Keenandra seolah meminta perlindungan darinya. Keenandra yang paham akan situasi yang membuat Amira takut, segera mengambil tindakan tegas. Mata-mata yang begitu mengintimidasi kekasihnya terasa nyata ingin menghabisinya hidup-hidup. Bagi Amira, Keenandra adalah sosok pelindung yang tepat untuknya. "Jadi, kamu masih tetap memilih wanita itu?" tunjuk Marina pada Amira yang menggenggam lengan Keenandra erat. "Kamu tahu kan, bahwa pernikahan itu suci dan tidak boleh main-main?" Keenandra mendecih. Bola matanya berputar, sepertinya jengah dengan nasehat ibunya. "Keenan, kamu tidak merasa risih dengan pemberitaan yang beredar di masyarakat? Kemana rasa malu kamu sebagai seor
Hampir satu jam lebih Keenandra duduk termenung di depan ruangan darurat rumah sakit. Wajahnya tampak kusam dan lelah. Tangannya berkali-kali mengusap wajah dan kepalanya. Dalam diamnya, ia tak hentinya berdoa untuk Amira yang belum juga keluar dari ruangan itu. Kata dokter, Amira mengalami pendarahan cukup serius di bagian kepala yang membuatnya harus melakukan tindakan secepatnya agar pendarahannya terhenti. Tante Mayang yang baru datang dari kantin, ikut duduk di sebelah Keenandra. Ia memberikan sebotol air mineral dan teh hangat untuknya. Keenandra butuh sesuatu yang bisa membuatnya rileks. "Amira belum keluar?" Keenandra menggeleng lemah. "Tante takut tapi terus berdoa untuk kesembuhan amira." "Terima kasih tante." Keenandra meneguk air minumnya. Ia memejamkan matanya sejenak lalu menghembuskan napas lelahnya. "Keenan, tante mau menyampaikan satu hal. Tante takut lupa kalau tidak menyampaikannya sekarang." Keenandra menoleh lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan tante
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng