Citra menginap di rumah Amira malam ini. Katanya, dia ingin membicarakan sesuatu pada kakak angkatnya itu. Entah mengapa sejak kemarin perasaannya tak tenang.
Bukan hanya Citra saja yang menginap, ternyata Sam pun juga. Pria itu datang setelah Citra lalu dengan seenaknya duduk di sofa ruang tengah sambil menjulurkan kakinya. Yang terlebih dahulu kesal adalah Keenandra. Si pemilik rumah ingin sekali mengusirnya tapi tidak jadi. Mengingat Sam adalah salah satu sponsor pernikahannya dengan Amira."Citra tidur sini juga?" Sam menunjuk ke kamar tamu dekat tangga. Keenandra mengangguk tanpa menoleh. Tangannya sibuk menggulir tablet seluler di tangannya. "Nanti aku tidur di mana?""Enggak usah manja! Noh, ada kamar satu lagi." Keenandra menunjuk ke arah lantai dua dekat kamarnya. "Atau tidur di sofa, lantai juga bisa."Citra keluar dari dalam kamar tamu bersama dengan Amira di sampingnya. Mereka tak menyapa kedua pria yang sedang duduk di ruang tenga"Woow..." Terkejut, itu respon pertama yang ditunjukkan oleh Aletta saat membaca artikel yang terdapat foto Amira dan seorang pria tengah berdiri dengan tangan saling berpegangan. Tampak Amira tersenyum dan tangan pria itu berada di pinggangnya. Sentuhan romantis yang membuat banyak orang bertanya-tanya. "Ada apa, Aletta?" tanya Sonia yang baru saja datang dari luar. Aletta menunjukkan sesuatu pada ibunya. Sebuah artikel yang menunjukkan kedekatan Amira dengan seorang pria di gedung kantornya. "Amira dipegang laki-laki. Mana pegangannya mesra banget tuh," tunjuk Aletta. "Cih, sekali wanita nakal tetap saja wanita nakal. Heran, Keenan suka banget sama wanita kayak gitu," cibir Sonia. "Keenan mungkin belum tahu kalau istri kesayangannya itu 'nakal'." Aletta terkekeh. "Biar saja. Kalau dia tahu, pasti menyesal." Di tempat berbeda, Keenandra tertawa melihat artikel dan foto tentang Amira yang katanya berseli
"Selamat siang pak, Keenan," sapa resepsionis kantor Keenandra. Pria itu hanya mengangguk sambil menggandeng tangan Amira masuk ke dalam kantornya. "Pak, ada tamu ingin bertemu dengan pak Keenan." Keenandra mengerutkan dahinya. Seingatnya, ia tak ada janji bertemu dengan siapapun hari ini. Seakan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh atasannya, sekretaris Keenandra menambah kalimatnya, "Wanita, bernama Anna. Dia kawan lama pak Keenan katanya." "Kawan lama? Saya tidak punya teman bernama Anna. Ya sudah, saya akan temui dia. Kamu, siapkan ruangan untuk briefing kita siang ini." sekretaris Keenandra mengangguk sopan lalu pergi kembali ke ruangannya. "Siapa? Aku belum pernah dengar nama Anna." "Aku juga." Keenandra diikuti Amira masuk ke dalam ruangannya yang sebagian pintunya memakai kaca tembus pandang. Ada semacam bar kecil dan juga ruang makan di dalamnya. Rencananya, Keenandra juga akan menambahkan ruangan kecil di dekat pintu masuk khusus untuk istrinya yang akan menemani di rua
Keenandra keluar dari ruang rapat dua jam kemudian. Seharusnya bisa selesai tepat waktu jika tidak ada kendala di lapangan. Keenandra sempat mengeluh karena ia sudah berjanji pada Amira untuk mengajaknya berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. "Saya ingin semuanya sempurna malam ini. Semua tanggung jawab saya serahkan pada pak Andrinof selaku wakil," ujar Keenandra sebelum mengakhiri rapat. Berkali-kali ia melirik arlojinya, hatinya mulai resah. "Ada pertanyaan lagi? Jangan sampai semua hancur karena ada divisi yang tidak ada persiapan sama sekali." "Enggak bisa diwakilin sama yang lain?" Andrinof mengacungkan tangannya. "Baru pulang tadi siang dari Pekanbaru." "Tidak ada. Kalau kamu punya perwakilan yang mumpuni, silakan saja." Andrinof terlihat tak suka dengan jawaban kakak sepupunya. Ia melirik ke sampingnya lalu menghitung berapa banyak staf andalannya yang berada di sana. "Ok, Dino sama Sasha stand by sampai malam ya." kedua staf itu melotot dengan tatapan mata tajamnya. "Say
Ting... Suara ponsel Keenandra berbunyi nyaring. Amira yang kebetulan sedang memegangnya jadi penasaran dengan sebuah pesan yang masuk entah dari siapa. Kening Amira berkerut tak nyaman saat ia membuka pesan tersebut. Matanya melirik ke arah Keenandra yang sedang sibuk mengemudikan mobilnya. "Tahu enggak sih, ada orang yang mau misahin rumah tangga kita," tanya Amira yang hanya diangguki oleh Keenandra. "Siapa ya? Kayaknya aku kenal orangnya." "Banyak, sayangku. Yang penting kamu jangan terpengaruh. Tadi sudah minum vitamin kan?" Amira mengangguk. "Jangan lupa minum susu pas nanti sampai rumah." "Ini kamu enggak mau tahu siapa yang mau bikin rusak rumah tangga kita?" Keenandra terkekeh. Satu belokan di depan mereka, sampailah di kompleks perumahan. Keenandra mengacak rambut istrinya yang sejak tadi mencebikkan bibirnya. "Pasti haters enggak jelas." Keenandra tak mau ambil pusing dan berdebat tentang siapa yang tak menyukai pernikahan mereka. Biar saja, yang terpenting Amira tak b
Rumor perselingkuhan tuan Bara sudah lama tersebar ke publik. Dulu rumor itu tercetak di berbagai media dengan berbagai spekulasi. Salah satunya adalah rumor Marina yang katanya tidak bisa melayani suami. Entah apa yang membuat publik percaya dengan rumor itu. Seingat Keenandra, rumor itu terendus publik untuk menutupi skandal pejabat negara. Untuk saat ini, rumor itu tak akan berimbas apapun pada Bara dan Marina karena nama mereka sudah tergantikan dengan anak mereka. Buktinya, perceraian Keenandra dengan Aletta telah mendapat perhatian publik hingga berbulan-bulan. Keenandra tak akan mengambil hati apa yang akan orang lain katakan tentang kisah cintanya dengan Amira dan Aletta. Itu bukan masalah yang rumit. Hanya kisah cinta segitiga dan istilah merebut dan direbut antara mereka. Kaki Keenandra melangkah tegap menapaki lorong lantai sepuluh menuju ruangan milik ayahnya. Informasi dari Andrinof, ayahnya masuk kerja hari ini. Keenandra sengaja datang untuk membicarakan rumor persel
Hawa pagi ini terasa sangat dingin. Keenandra merasakan rasa yang tak nyaman saat membuka matanya. Hatinya terasa gelisah seperti akan terjadi sesuatu padanya hari ini. Keenandra masih duduk di atas ranjang lebih dari satu jam hanya untuk memikirkan perasaan gelisahnya. Kepalanya menoleh ke sisi ranjang. Ia tersenyum melihat wajah damai istrinya yang masih tertidur lelap. Tak ingin memikirkan hal konyol, ia cepat-cepat menepis perasaan gelisahnya. Ia yakin dirinya hanya terbawa suasana dingin pagi ini. Segera ia bangun menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tepat pukul tujuh Keenandra telah duduk nyaman di kursi makan bersama ibunya. Amira baru saja bangun lalu tak lama kemudian ikut bergabung di kursi sebelah Keenandra. "Sayang, selamat pagi!" sapa Amira tak lupa mengecup pipi suaminya. "Mama, selamat pagi! Tidurnya nyenyak?" Marina tersenyum lalu mengangguk. "Aku tadi malam nyaman sekali tidurnya. Apa sudah lama engg
Diam. Kaku. Itu yang Amira tunjukkan sesaat setelah kejadian secepat kilat itu terjadi di depan matanya sendiri. Jantungnya masih berdegup kencang dan kakinya lemas. Peluh di dahinya berjatuhan dan tangannya tak bisa berpegangan erat pada lengan Sam yang memeluknya.“Sam, tadi itu...”“Kamu enggak apa-apa kan, Amira?” Amira menggelengkan kepalanya. Tidak Amira tidak apa-apa yang dikhawatirkannya adalah bayi di dalam kandungannya.“Anak aku?” Amira meraba perutnya.“Kita ke dokter.” Sam menggendong Amira menuju ke mobil miliknya yang terparkir tak jauh dari lobby swalayan. Mereka melupakan Marina yang masih berada di sana menunggu taksi datang.Sam menjalankan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Ia panik. Ia takut bayi di dalam kandungan Amira terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Saat mobilnya berbelok ke arah rumah sakit, ponsel miliknya berdering. Itu panggilan dari Keenandra.“Halo, Sam–”“Halo, Keenan. Aku menuju rumah sakit Melati yang dekat sama swalayan lampu merah. Ini urgent
“Keenan!” teriak Sam yang masih terus mengejar Keenandra hingga ke parkiran rumah sakit. Pria posesif itu memang sering tak menggunakan akal sehatnya jika berurusan dengan Amira. Semua hal yang mengusik istrinya harus dibereskan apalagi sampai menyakitinya.“Keenan! Berhenti!” teriak Sam kembali.Keenandra berhenti lalu menoleh ke belakang. Sam nampak terengah-engah dengan napas kembang kempis dan dahi yang penuh keringat. Ia menarik napas sejenak lalu menepuk lengan sahabatnya yang berdiri dipenuhi emosi tak terbendung lagi.“Payah! Katanya sering nge-gym?” ejek Keenandra mendecihkan bibirnya.“Enggak ada hubungannya sama aku. Heh! Jangan asal nuduh Aletta dulu. Tadi itu hanya dugaan aku sama Andrinof. Kita belum ada bukti sama sekali,” ujar Sam yang tak mau Keenandra gegabah mengambil keputusan. Bisa saja itu adalah motif ketidaksengajaan atau suruhan musuh Keenandra yang lain.“Tapi—&rd
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng