“Laura ...” Nina kembali memanggil Laura, yang dipanggil menjawab sambil menggeliat malas.“Hmmh, kenapa sih, Nin? Masih pagi, kan?”“Apanya yang masih pagi, coba kamu lihat jam meja yang ada di nakas samping kamu,” ucap Nina sambil menujuk ke salah satu nakas yang ada di sisi sebelah Laura berbaring.“Ooh, Nina. Kamu hidupin alarm di sebelas sini juga ya, pantas suaranya seperti di deket kepalaku.” Laura menggerutu sambil cemberut.“Siapa yang hidupin?” elak Nina, “aku sudah setting off, dan biasanya yang berbunyi cuma yang disebelah sini, tapi kenapa sekarang dua-duanya berdering.”Ada dua nakas cantik di sisi kanan dan kiri tempat tidur Nina, dan masing-masing diletakan jam meja unik. Namun biasanya Nina hanya mensetting alarm yang ada di satu sisi saja.“Hah Nina, beneran bukan kamu yang setting?” tanya Laura bingung. Nina menggeleng, “terus siapa?” desak Laura, Nina hanya mengedikkan bahu.“Ih Nina, aneh sekali. Jangan-jangan ...” Laura mengedarkan matanya ke seluruh kamar, “han
Nina segera membawa sang tante masuk ke mobilnya, namun tante Sophie tertegun melihat mobil mewah Nina. Wanita paruh baya itu mengedarkan pandangan seperti mencari-cari seseorang. “Tante cari siapa?” tanya Nina heran. “Nina, ini mobil Nathan, kan? Nathannya mana?” tanya Tante Sophie masih celingukan, belum sempat Nina menjawab Laura sudah nyerocos. “Tante, ini bukan mobil Nathan, ini mobil Nina hadiah pernikahan dari sang pangeran.” Seketika Tante Sophie tercengang, “benar, Nina?” Nina hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu duduk di belakang kemudi. Sang tante tidak berkata apa-apa lagi, ia pun langsung duduk di samping Nina. “Tante, kita cari resto dulu ya, aku dan Laura sudah lapar, tante sudah makan belum?” tanya Nina sambil fokus pada jalan di hadapannya. “Kalau makan siang sih belum, tapi tadi tante sudah sarapan cukup dan sudah makan snack juga di pesawat, kenapa kalian belum makan?” “Hehe, kita bangun kesiangan, tante.” Laura yang menyahut, sedang Nina hanya senyum-senyu
Laura masih terdiam ketika suara Mike kembali mengejutkannya. “Halo Laura apa kamu masih di sana? apa kakak ipar ada bersamamu?” “Halo, i-iya, iya benar,” sahut Laura sedikit bingung. “Dengar, dalam waktu 7 menit saya akan tiba di sana untuk menjemput kamu, tolong jangan bilang apa-apa sama Nina ya, kalau ia tanya bilang aja Mike mau menjemput, selebihnya nanti saya yang akan bicara sama Nina, oke?” “Oke,” sahut Laura. Setelah panggilan dengan Mike berakhir Laura masih tertegun, gadis itu tampak bingung. Ia menatap Nina yang juga sedang menatapnya, namun tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Itu Mike yang telepon, Ra?” tanya Nina penasaran, Laura hanya mengangguk. “Ah, bagus lah punya pengagum baru,” goda Nina, tapi kenapa kamu bingung begitu?” “Aku heran aja, Nin. Darimana Pak Mike tahu nomorku?” Laura menjawab masih dengan ekspresi bingung, Nina tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. “Ya pasti dari Nathan, lah.” Nina menjawab dengan santai, “kamu kan karyawan Wils,
Mike masih terkesima, namun ia mencoba mengikuti arah tatapan mata Laura, pria itu pun mulai mengerti. “Apa itu mantan kamu?” Mike balas berbisik, Laura mengangguk. “Hmm, Ok. Aku akan mengajarkanmu bagaimana cara membalas yang elegan.” Sambil berkata Mike merangkul Laura dengan mesra. “Laura sayang, makasih ya sudah mau menemani aku kemari.” Mike berujar, suaranya dibuat mesra dan cukup terdengar ke sekitar termasuk pasangan yang tidak jauh dari mereka. “Memangnya kamu mau cari apa sih?” jawab Laura sambil tersenyum, ia bergelayut manja di lengan Mike. “Aku mau cari set perhiasan edisi terbatas di toko ini,” sahut Mike sambil mengusap rambut Laura. Keduanya pun melangkah melewati dua pasang mata yang terbelalak memperhatikan mereka. “Loh, bukannya itu Laura?” ujar gadis yang berdiri di samping Benny, lelaki itu tak menjawab, namun tatapan matanya tak lepas dari Laura dan Mike. “Baru aja putus sama kamu, sudah ngegaet cowok ganteng. Ternyata dia nggak selugu yang kamu kira, Ben.”
Mike menatap Laura, ia berpikir jika Laura masih belum bisa melupakan mantan yang jelas-jelas sudah mengkhianatinya.“Kenapa Laura? kamu masih menangisi lelaki itu?” Mike mengulangi pertanyaannya.“Dih, sok tahu. Siapa juga yang nagisin dia,” sahut Laura sambil menghapus air matanya.“Terus kenapa kamu menangis?” tanya Mike kembali memperjelas, kali ini ia langsung menatap Laura, “jangan bilang kelilipan ya.”Sontak Laura tertawa sambil memukul bahu Mike, pria itu pun terkekeh. “Aku merasa lega aja, karena akhirnya aku tahu bajingan itu yang sesungguhnya.” Laura berkata sambil menghela napas.“Memang kamu pacaran berapa lama sama pria itu?” tanya Mike santai.“Hampir dua tahun,” sahut Laura.“Dua tahun, tapi kamu nggak mengenali pria macam apa yang kamu pacari itu?” Mike menggeleng-gelengkan kepala, ia merasa aneh dengan gadis ini.“Mungkin karena dia menutupi dirinya dengan topeng kepalsuan, aku kira domba yang jinak tak tahunya srigala yang buas.”“Itu artinya cinta kamu belum mend
Ternyata Mike menghubungi Bill, ia meminta Bill menyiapkan alat-alat musik di acara besok malam, namun ia meminta asisten Nathan itu untuk tidak memberitahu Nathan dan Nina, karena ini akan menjadi kejutan buat mereka, supaya semakin berkesan. Mike menyebutkan detail-detail dari rencananya. Bill pun setuju, ia segera menghubungi WO yang menangani acara itu untuk menambahkan rencana Mike dalam konsep acara mereka. Setelah berbicara dengan Bill melalui telepon, Mike tersenyum pada Laura. “Kamu bersiap ya, aku akan membantumu mempermudah menyampaikan hadiah buat sahabatmu.” “Sebenarnya aku juga sudah lupa, dulu aku dan Nina buat bareng, kami mencoba berkali-kali, setelah merasa pas kami simpan, baru akan kami mainkan pada saat salah satu diantara kami menikah.” Laura tersenyum manakala mengingat ide konyolnya dengan Nina, dulu Nina sangat yakin dia yang akan duluan membawakan lagu itu, karena sekian lama dia masih menjomblo sedangkan Laura sudah punya pacar. Siapa sangka justru gadis
Laura merasa heran dengan kemunculan Mike yang tiba-tiba dan di saat-saat yang sangat krusial, padahal tadi ia lihat dengan mata kepalanya sendiri mobil Mike sudah pergi, bahkan ia melihat mobil itu sudah menjauh. “Ya, aku memang pergi tapi bukan pulang, melainkan untuk mengecoh bajingan itu.” Mike menjawab sambil tersenyum. “Maksudmu?” tanya Laura heran, “jangan bilang kalau kamu sudah tahu kalau lelaki brengsek itu ada di sini.” “Sorry friend, sayangnya aku memang tahu bajingan itu menunggumu di sini.” “Hah? Bagaimana kamu bisa tahu? apa kamu punya mata bathin atau kekuatan supranatural?” Mike tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Laura, “kamu sering baca cerita fantasy ya.” “Uh, Mike aku serius, bagaimana kamu bisa tahu?” Laura menggerutu sambil cemberut. “Iya-iyaa, tapi jangan cemberut gitu dong, ah. Nanti tambah cantik lho,” seloroh Mike sambil terkekeh. “Kamu ingat gak waktu aku tanya kamu tinggal di sini?” Mike berkata serius, Laura mengangguk. “Saat itu aku menoleh ke
“Nathan!” teriak gadis itu, ia setengah berlari lalu memeluk Nathan. Bukan hanya Nina dan tante Sophia yang terkejut, tapi Nathan pun tidak kalah terkejutnya. “Christy?” tanya Nathan kaget, “bagaimana kamu bisa ada di sini?” Sontak Nathan menatap Mike, yang ditatap garuk-garuk kepala. “Sorry Tan, aku nggak bisa sembunyi dari bocah ini,” ujar Mike membela diri. “Sembarangan, aku bukan bocah, aku sudah dewasa,” sahut Christy sambil mendelik pada Mike. “Dewasa, tapi kelakuan kamu itu masih seperti bocah, main lari langsung peluk tanpa permisi, bikin orang kaget aja,” oceh Mike, “lihat tuh kakak ipar dan tante jadi bingung.” Saat itulah Christy menoleh pada Nina, mulut gadis itu pun membulat karena terkejut. “Oh, kamu ... Nina, kan?” “Hai Christy apa kabar? Kita ketemu lagi,” sapa Nina sambil tersenyum manis, sesungguhnya ia masih belum jelas siapa gadis remaja ini, tapi Nina bisa meraba sepertinya ia adalah dari keluarga Nathan. “Loh, kalian sudah saling kenal?” tanya Nathan bingun
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka