Selama sepersekian detik, Ezra sudah akan memalingkan wajahnya. Namun, dia teringat tentang ucapan Kavita yang memintanya untuk percaya diri.“Kami duluan, Tuan Danadyaksa?” Ezra mengangguk hormat ke arah Endrawan, setelah itu dia berbalik pergi dan mendahului mereka untuk masuk ke dalam gedung.“Ayo, Yah?” Shadan menoleh ke arah Endrawan yang berdiri mematung. “Hei kamu, tunggu di sini ya?”Selanjutnya dia mengalihkan pandangannya kepada Deryl yang masih menatap lurus ke arah Ezra yang berlalu bersama Pasha.“Kenapa kamu melihatnya seperti itu?” tanya Shadan curiga. “Kamu kenal dia?”Deryl terhenyak, dia samar-samar mengingat Ezra yang dulu pernah dia temui dalam rangka menuntut hak dari gaji yang dimiliki Kavita. Namun, tentu saja Deryl tidak mungkin mengatakan hal yang terus terang kepada Shadan.“Ayo!” ajak Endrawan ketika melihat Shadan tidak segera melangkah dan malah menatap Deryl dengan sorot mata curiga.“Oke, Yah—jaga mobilnya!” bisik Shadan yang disambut anggukan ku
Masalahnya, apakah Kavita sanggup jika dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun lebih lama dengan karakter Ezra yang tidak bisa ditebak sama sekali? Suami yang jarang bicara kalau tidak ada hal penting untuk dibicarakan, sekaligus suami yang sikapnya sedingin tembok. Sejak perusahaannya mendapatkan tender, Ezra memerintahkan para pegawai untuk bekerja lebih optimal agar target pesanan terpenuhi. “Ini jadwal kerja yang aku dapat dari kepala pabrik, termasuk jam lembur.” Pasha menaruh selembar kertas di atas meja Ezra. “Kamu pesankan makanan setiap kali mereka lembur,” suruh Ezra sembari mengamati jadwal yang tercantum. “Untuk bonus, biasanya aku bayarkan bersama gaji pokok.” “Fasilitas makan dan bonus, aku rasa itu cukup untuk membuat para pegawai menjadi lebih bersemangat.” Pasha berkomentar. “Bukankah itu hal yang wajar terjadi dalam setiap perusahaan? “Tidak juga, karena aku jarang melihat yang seperti itu di perusahaan keluarga.” Ezra menarik napas. “Aku tidak tahu bagaim
“Vit, dipanggil Pak Ezra tuh!” Siska menepuk bahu Kavita hingga mengagetkannya.“Aduh ... lagi bahas hal penting juga!” keluh Kavita.“Bahas hal penting sama siapa?” Siska menatap heran ke arah rekan kerjanya. “Masih jam kerja juga, kena tegur nanti. “Sudah sana, siapa tahu mau dikasih bonus spesial kan?”“Ini, aku kan mau lanjut usaha toko yang dulu aku rintis buat mantan suami.” Kavita memberi tahu. “Sayang saja kalau tidak lanjut, jadi biar rumahku ada penghuninya juga.”“Nanti kita lanjut ngobrolnya ya? Kamu ke ruangan Pak Ezra dulu,” tukas Siska. “Pasti ada hal penting yang mau disampaikan ke kamu, cepat sana—aku jadi penasaran!”Kavita mengirim balasan terakhir kepada Adya sebelum akhirnya melesat pergi ke ruangan Ezra yang ada di lantai dua.“Permisi, Pak! Anda memanggil saya?” tanya Kavita formal karena berada di kantor.“Kamu terlambat enam menit dari yang seharusnya,” jawab Ezra, tatapan matanya beralih dari yang semula melihat arloji di tangan menjadi ke arah Kavita
“Bagaimana?” tanya Kavita cemas. “Tidak diangkat, Vit. Bukankah terakhir kali kamu pergi ke ruangan Pak Ezra?” balas Siska. “Siapa tahu ketinggalan di sana?” Kavita seketika menepuk keningnya keras-keras. “Aku lupa!” Siska geleng-geleng kepala. “Yang lupa kamu, paniknya orang satu tim ....” “Terus aku harus bagaimana, Sis?” “Tinggal kembali ke sana lagi dan minta maaf sama Pak Ezra karena mau ambil ponsel,” suruh Siska tenang. “Takut kena marah,” keluh Kavita. “Kamu kan tahu Pak Ezra itu seperti apa ....” “Ya sudah, biarkan saja ponsel kamu tetap di sana. Itu juga kalau benar ponsel kamu ada di ruangan Pak Ezra,” timpal Siska sambil mengangkat bahu. Kini Kavita benar-benar merasa bimbang. Ingin rasanya kembali ke ruangan Ezra, tapi dia khawatir kena tegur lagi karena lebih mementingkan ponsel daripada fokus pada pekerjaan. Ambil sajalah, pikir Kavita sambil berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Aku tidak bisa apa-apa tanpa ponsel itu .... “Permisi, Pak!” Ezra mendongak
“Kita mau berangkat sekarang atau nanti?” tanya Pasha memastikan. “Nanti saja,” jawab Ezra seolah sengaja mengulur waktu, padahal tadinya Kavita berharap kalau dia akan segera mengajak Pasha untuk pergi sehingga dia pun bisa otomatis meninggalkan ruangan Ezra tanpa dicurigai oleh siapa pun. “Kalau nanti, pasti ada kemungkinan macet.” Pasha mengeluh. “Itu tangan kamu kenapa di belakang terus? Kamu bawa apa sih?” Kavita sontak menahan napas, meringkuk serendah-rendahnya di atas lantai dan berdoa semoga Pasha tidak melongok ke bawah sofa. “Aku tidak bawa apa-apa!” tegas Ezra sambil berdiri dan menarik bahu Pasha. “Aku harus beli buah tangan untuk ayah ibumu ....” “Tidak usah repot-repot, Zra!” Pasha sukses teralihkan perhatiannya, lalu kembali fokus berbicara dengan Ezra. “Aku yakin ayah ibuku sudah senang dengan kamu mau datang memenuhi undangan mereka.” Ezra mendadak memasang wajah serius. “Kamu yakin ini aman-aman saja untuk posisi kalian di keluarga besar?” “Orang tuaku sih ama
“Tidak kenapa-kenapa, lain kali hati-hati saja kalau jalan.” Yura memalingkan wajahnya. “Aku akan lanjut kerja lagi, kita tidak perlu saling mengganggu.”“Siapa juga yang mau ganggu?” gumam Kavita, sedikit bergidik ketika melihat Yura yang dulunya polos kini berdandan seperti orang yang hendak pergi kondangan. Mana parfumnya menyengat pula, batin Kavita sembari geleng-geleng kepala.“Apa? Istri kedua Deryl kerja di sini ternyata?” Siska membulatkan mata ketika mendengar informasi yang Kavita berikan kepadanya.“Bukan istri kedua, kan sekarang dia sudah jadi istri satu-satunya.” Kavita meralat.“Iya sih, tapi ... kenapa para benalu itu tiba-tiba muncul di kantor ini sih?” Siska mengerling curiga. “Jangan-jangan mereka merencanakan sesuatu yang ada kaitannya sama kamu?” “Sesuatu apa?”“Sesuatu yang ada hubungannya sama uang lah, apa lagi?” sergah Siska. “Bukankah kamu bilang kalau Karin terpaksa kerja karena terdesak kebutuhan? Bisa jadi Yura juga merasa kurang uang, makanya kerj
“Macam perempuan penggoda, kalau bicara harus mepet-mepet begitu ... Ih!” Sofi menjelaskan sambil bergidik. “Orangnya yang mana sih si Rosa itu?” tanya Kavita penasaran. “Aku kok belum pernah lihat.” “Pokoknya kalau kamu lihat ada pegawai yang dandan lengkap dari bulu mata sampai kuku jari tangan, ya dia orangnya!” Sofi menjelaskan. “Sama wangi parfumnya yang semerbak!” imbuh rekan lain yang menyimak. Kavita dan Siska saling pandang, mereka tentu merasakan keresahan yang sama. Seakan ada virus mematikan yang siap menjangkiti seluruh penghuni Dyaksa Company. “Rosa yang mana, aku juga belum pernah lihat!” sahut Siska bingung. “Kan tadi sudah aku kasih tahu ciri-cirinya!” “Tapi memang aku belum pernah lihat ....” Kavita terdiam sebentar, dia jadi teringat dengan seseorang yang juga berpenampilan serupa dengan yang diceritakan rekan-rekan kerjanya. “Kalau yang namanya Yura, aku malah tahu. Dia juga dandan berlebihan, macam orang yang mau pergi kondangan.” Kavita memberi tahu. “Ja
“Perempuan yang mana?” “Pegawai baru, saya tidak ingat siapa namanya.” Detik itu juga Kavita terbelalak. “Jangan bilang kalau perempuan itu baru saja dari sini, Pak?” Ezra mendongak dengan ekspresi datar. “Memangnya kenapa?” Kavita mengerutkan keningnya, heran dengan pertanyaan yang Ezra lontarkan. “Kok kenapa sih, Pak? Dia itu—namanya Yura, orangnya habis dari sini kan? Bahkan wangi parfumnya saja sampai menyengat begini ....” Ezra menaikkan sebelah alisnya saat Kavita berjalan cepat ke arah pintu dan menguncinya rapat. “Anda habis ngapain sama Yura?” tanya Kavita dengan nada menyelidik. “Dia datang ke sini atas suruhan kepala pegawai ....” “Setelah itu?” desak Kavita lagi. “Apa saya harus menjawab tentang semua hal yang saya lakukan bersama pegawai saya ke kamu?” tukas Ezra. “Mungkin tidak harus, kalau perempuan itu adalah Reni atau Tantri yang mana mereka itu sekretaris Anda. Tapi beda halnya sama Yura, dia itu adalah istri kedua yang dulu dinikahi Deryl.” Ezra tidak men
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay