Ezra mengembuskan napas kasar dan balas menatap Pasha tajam. “Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu bicarakan, silakan keluar dari ruanganku.”“Santai! Aku ada berita terbaru dari Danadyaksa Grup, aku jamin kamu pasti tertarik!”Ezra berbalik menjauhi Pasha, lalu duduk di sofa. “Jadi sekarang kamu sudah jadi mata-mata untuk keluargamu sendiri? Aku tidak pernah bayar kamu untuk hal itu.”Pasha tersenyum aneh mendengar komentar Ezra.“Aku bukan mata-mata keluarga dan tidak akan mungkin mengadu domba salah satu dari kalian,” katanya sembari menyusul Ezra.“Terus yang kamu lakukan ini apa?”Pasha berdiri di depan Ezra dan menatapnya serius. “Kamu bilang aku berhak bereaksi kalau ada sesuatu yang berpotensi kecurangan seperti saat orang-orang berusaha menyabotase truk yang membawa bahan baku pesanan kamu?”“Iya juga sih ....”“Makanya jangan berprasangka buruk terus sama aku!” sergah Pasha. “Ibarat ada orang yang mau diracun di hadapanku, masa iya aku akan diam saja?”Ezra yan
Malam itu dia tidak ingin lagi tidur satu kamar dengan Ezra. Tanpa pikir panjang, Kavita mengeluarkan koper dan mulai memasukkan baju-baju yang jarang dia pakai supaya kelak dirinya tidak kerepotan jelang kepergiannya."Mau ke mana kamu?"Kavita mendongak, Ezra tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapannya."Kok Anda tidak ketuk pintu dulu sih?" "Kamu pikir ini rumah siapa?""Setidaknya hargai privasi saya," tuntut Kavita. Pandangan Ezra terarah ke koper Kavita uang masih terbuka. "Mau ke mana kamu?" Dia mengulang pertanyaannya."Tidak ke mana-mana ....""Terus kenapa ambil koper?""Memangnya tidak boleh? Saya kan cuma beres-beres pakaian, biar nantinya tinggal angkut kalau kontrak pernikahan kita sudah berakhir."Ezra yang kesabarannya setipis tisu, tentu saja tidak akan membiarkan Kavita yang mengendalikan situasi di antara mereka."Seperti yang sudah berkali-kali saya katakan, kita akan tetap menikah resmi dengan atau tanpa persetujuan kamu.""Mana bisa begitu, saya juga berhak unt
“Om Endrawan bagaimana? Tidak mungkin kalau kamu tidak mengundangnya di hari bersejarah kamu kan?” Pasha menatap Ezra dengan serius. “Dia itu ayah kandung kamu.” “Aku akan mempertimbangkan soal itu, yang terpenting adalah aku dan Kavita segera resmi menikah dan para pegawai sini bisa ikut hadir.” Pasha menggaruk-garuk rambutnya, dia benar-benar heran dengan kabar berita ini. Pernikahan yang begitu cepat dan mendadak, tanpa dia tahu kalau sebetulnya Ezra dan Kavita sudah berstatus suami istri. “Tumben Vita belum datang juga jam segini,” gumam Siska sembari melirik meja sahabatnya yang kosong. Tiba-tiba Karin melangkah masuk sembari membawa baki yang berisi beberapa gelas minuman. “Rin, kamu lihat Kak Vita?” tanya Siska saat Karin memberikan segelas minuman kepadanya. “Belum tuh, Kak.” Karin menggeleng. “Aku tadi habis antar minum ke gudang juga nggak lihat.” “Ya sudah, mungkin dia terlambat.” Siska menyeruput minumannya dan tidak bertanya apa-apa lagi. Namun, dalam hati dia tetap
“Aku capek, mau nikah saja sama bos kaya ...” Yura mengeluh seraya mengambil handuk untuk mandi, dia teringat dengan brosur baju pengantin yang dilihatnya di kantor Ezra tadi. Seandainya dia yang menjadi calon istri Ezra, maka seluruh kemewahan dunia sudah pasti akan berada dalam genggaman tangannya. “Aku dapat bonus dari bosku,” kata Deryl saat dia pulang petang dan langsung menemui Yura di kamar. “Kamu pakai untuk perawatan tubuh seperti dulu, ya?” Yura melirik sejumlah uang yang diulurkan Deryl kepadanya. “Berapa?” “Dua juta ....” “Dua juta kamu bilang bonus?” cibir Yura. “Dua juta dalam sehari itu besar!” tukas Deryl yang merasa kerja kerasnya tidak dihargai. “Bahkan dalam hitungan jam, seharusnya kamu bersyukur.” Yura melengos dan mengambil uang itu dari tangan Deryl tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali. “Kamu kerja di mana sih?” tanya Deryl ingin tahu. “Di perusahaan sepatu, tapi di bagian kantornya. “Jadi apa?” “Masih percobaan sih, siapa tahu nanti aku dipromos
Kavita sontak membeku.“Satu langkah saja kamu keluar dari kamar ini, saya pastikan kamu akan kembali dipingit hingga tidak bisa lagi melihat matahari besok pagi.” Ezra melanjutkan, hingga membuat Kavita menelan saliva.“Anda ... Anda ternyata seorang psikopat ....”“Betul sekali, psikopat berdarah dingin dan tidak kenal belas kasihan kalau calon korbannya berani macam-macam.” Ezra berbalik dan berjalan pergi ke kamar mandi, meninggalkan Kavita sendiri dengan jantung yang sudah siap meledak saking gemetarnya.“Bisa-bisa aku mimisan setiap saat!” pikir Kavita sambil menutup mulut dan hidungnya dengan telapak tangan.Keesokan paginya, Kavita sudah bisa beraktivitas seperti biasa di kantor. Itu juga karena semalam dia harus meyakinkan Ezra dengan penuh perjuangan, tarik-ulur yang sangat alot di kedua belah pihak hingga akhirnya Kavita terpaksa menggunakan jurus terakhirnya untuk membuat Ezra luluh.Yaitu memanaskan suasana malam mereka ....“Dasar, laki-laki memang sama saja.” Kav
“Kapan-kapan aku akan cerita,” jawab Kavita dengan suara yang tersangkut di tenggorokan. “Setelah aku resmi mengundurkan diri dari kantor ini ....” “Apa, Vit? Kenapa kamu harus mengundurkan diri segala?” Siska buru-buru membuntuti langkah Kavita. Setibanya di ruang kerja, Kavita segera membereskan seluruh barangnya. “Vit, jelaskan dulu sama aku apa yang sebenarnya terjadi!” Siska terus menerus mendesak. “Itu si Yura ngapain ada di ruangannya Pak Ezra? Terus kenapa kamu harus keluar dari sini segala?” Kavita memejamkan matanya, dia tidak mungkin berkata jujur kepada Siska bahwa sedang terjadi masalah yang cukup pelik antara dirinya dengan Ezra. “Sis, aku ... biarkan aku berpikir dulu ya? Aku belum bisa cerita semuanya sekarang ....” Siska menatap wajah Kavita yang tampak kalut. “Tapi kamu janji ya, Vit? Aku yakin ada sesuatu yang terjadi sama kamu.” Kavita mengangguk dengan berat hati, dia harus secepatnya pergi dari perusahaan. Termasuk dari kehidupan Ezra sekalian kalau perlu.
Kepala pegawai itu mengipas-ngipas wajahnya yang pias, di saat Yura memberikan senyum mautnya dengan penuh pesona.“Sudah kamu pecat orangnya?” selidik Ezra ketika Pasha muncul kembali di ruangannya.“Itu kewenangan kepala pegawai yang menyeleksi para pelamar kan?” tukas Pasha sambil duduk di sofa. “Tugasku cuma menyampaikan perintah kamu.”Ezra menatap Pasha, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.Beberapa saat kemudian, terlihat pintu ruangan Ezra digedor, tapi tidak ada orang yang muncul.“Saya harus bertemu Pak Ezra!” kata kepala pegawai tegas kepada Reni. “Yura, jangan terburu-buru begitu.”Yura yang sudah mendorong pintu ruangan Ezra, lantas menarik tangannya kembali dengan tidak sabar.“Silakan Pak, tapi Yura dilarang masuk.” Reni memberi tahu. “Saya juga pegawai di sini!” Yura tidak terima.“Masih dalam masa percobaan, jadi tolong jaga sikap kamu.” Reni mengingatkan.“Tapi ....”“Yura, biar saya yang coba bicara dengan Pak Ezra. Tolong jangan bikin keributan,
“Aku baik-baik saja kok, Sis. Tapi aku tidak bisa bilang lokasi aku saat ini, maaf.” “Kenapa sih, aku betul-betul khawatir sama kamu. Apalagi kamu tiba-tiba mau mengundurkan diri, apa ini gara-gara Yura?” Kavita tidak menjawab. “Vit?” “Aku belum bisa cerita semuanya sekarang, Sis. Tunggu sampai situasi aman dulu, ya ....” Siska terdiam sebentar. “Aman? Aman bagaimana maksud kamu?” “Pokoknya kapan-kapan aku akan cerita sama kamu,” sahut Kavita berjanji. “Sudah dulu ya, aku masih ada urusan!” “Vit, tunggu!” cegah Siska, tapi Kavita telanjur menutup teleponnya. “Jadi ... Kavita bahkan tidak memberi tahu apa pun sama kamu?” Di kantor Dyaksa Company, Siska baru saja menelepon Kavita di bawah tatapan menyelidik dari sorot mata Ezra. “Begitulah, Pak ... Sejak hari itu saya sudah berusaha tanya, tapi ... Vita sama sekali tidak mau memberi tahu saya.” Siska menjelaskan dengan terbata. “Saya tidak tahu dia ada di mana, saya ... bahkan saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Ezra terli
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay