“Mungkin saja pelaksanaannya sedikit berbeda, Pak.” Kavita menyahut supaya menetralkan suasana hati Ezra. “Kita tunggu saja giliran kita.”Namun, sampai perwakilan Danadyaksa Grup selesai mempresentasikan produknya, tetap saja giliran Dyaksa Grup tidak kunjung tiba.Mampus kalian, batin Shadan sambil tersenyum miring. Ekspresi wajah Ezra yang begitu keruh membuatnya merasa puas karena rencana-rencana yang dia siapkan telah berhasil diterapkan dengan baik.Sakit hati yang Shadan rasakan menuntut untuk dibalaskan dengan lebih pedih, bagaimana pun caranya.“Kavita, kamu tadi bilang kalau semuanya sudah beres kan?” tanya Ezra tajam. “Lihat ini kamu lihat!”Kavita mulai ikut gelisah. “Tapi saya sudah cek dan mereka melaporkan bahwa tidak ada kendala, Pak.”“Terus kenapa Dyaksa Company sama sekali tidak mendapatkan tempat?” tukas Ezra sembari memegang keningnya. “Mustahil kalau ada kekeliruan, saya tidak percaya ini ....”Kavita menelan saliva, dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi
Kavita yang tahu kalau Pasha belum makan hidangan, lantas menoleh kepada Siska. “Tolong kamu ambilkan makanan untuk Pak Pasha, Sis.” “Kenapa aku?” Kavita menyipitkan matanya, mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu yang terjadi antara Siska dengan Pasha. “Ayo cepat,” desis Kavita pura-pura mengancam. “Aku tahu rahasia kalian lho.” “Apaan sih, Vit?” Siska melotot, tapi dia tetap berdiri dan mengambilkan hidangan untuk Pasha. Kini hampir seluruh tamu memusatkan perhatian ke panggung dan mendengarkan pernyataan testimoni langsung dari para pelaku bisnis yang menjalin kerja sama dengan perusahaan Ezra. Hal itu tentu saja menambah keyakinan bahwa perusahaan Ezra layak diperhitungkan untuk mendapatkan tender yang menjadi incaran banyak pemilik perusahaan. “Apa-apaan ini?” geram Shadan tidak terima. “Kenapa bisa dia ...? Bukankah seharusnya acara sudah hampir selesai?” Berbanding terbalik dengan Shadan yang bersikap seperti cacing kepanasan, Endrawan justru menyimak pernyataan para nar
“Kamu pasti tahu siapa dalang di balik seluruh kejadian ini kan?” tebak Pasha. “Aku punya dugaan, meskipun aku belum punya cukup bukti yang kuat.”Ezra mengetukkan jemarinya di atas permukaan meja.“Aku mungkin terlalu berburuk sangka kalau berpikir bahwa Shadan-lah yang berada di belakang semua ini,” katanya datar.“Sepemikiran,” angguk Pasha. “Tapi seperti yang aku bilang tadi, aku belum menemukan bukti yang kuat.”“Lagipula Shadan tidak mungkin melakukannya dengan tangan sendiri, tipe-tipe yang suka cuci tangan atas kekacauan yang dia lakukan.”Ezra mengangguk setuju. “Aku akan transfer sejumlah bonus ke rekeningmu,” katanya sambil meraih ponsel.“Wah, kamu bos yang cukup baik ternyata.”“Aku tidak butuh komentarmu, cepat masukkan nomor rekening di sini.”Sambil nyengir lebar, Pasha memasukkan nomor rekening di ponsel Ezra.“Mungkin ini tidak seberapa banyak bagi kamu, tapi aku lihat kamu cukup berdedikasi ....”“Aku butuh apresiasi, bukan sekadar dipuji.” Pasha membala
“Di kantor, saya memang bos kamu. Tapi di rumah, saya adalah suami kamu.” Ezra menegaskan.“Saya tahu, Pak ...” Tidak hanya jantung yang berdegup kencang, bahkan tangan Kavita juga ikut bergetar di atas bahu Ezra.“Jadi, mulai sekarang stop panggil saya ‘bapak’ kalau kita sedang berada di rumah.”“Tapi, Pak ....”“Jangan panggil saya bapak, kamu tidak dengar saya bicara apa barusan?”Kavita tergeragap, jaraknya yang sedekat itu dengan Ezra membuatnya sulit bergerak leluasa.“Kalau begitu, saya harus panggil apa?”“Panggil saya seperti seorang istri yang memanggil suaminya.”Kavita berpikir keras, lalu ....“Tidak bisa, saya ... saya malu!” Dia menunduk dan kepalanya membentur dada bidang Ezra.“Kenapa malu, kan cuma di depan saya saja.”“Oh, saya kira ...” Kavita memalingkan wajah tanpa berani mengangkat kepalanya.“Kalau kamu ingin memanggil nama saya di depan umum, silakan saja asalkan kita membuat pernikahan ini menjadi resmi.” Ezra melanjutkan. “Kalau pernikahan kita t
“Sebentar, saya ... saya agak lelah akhir-akhir ini ...” rintih Kavita, yang justru membayangkan bagaimana prosesnya Ezra dan Monic menjalin kisah kasih yang terlarang. “Boleh saya minta waktu untuk berpikir?”Ezra menarik napas.“Berpikir untuk apa lagi? Atau jangan-jangan kamu belum bisa move on dari mantan suami kamu?”Kavita menggeleng, dia benar-benar lelah sejujurnya. Dan pengakuan Ezra sukses menjebol ketahanan fisik dan batinnya yang akhir-akhir ini digembleng.“Ini sama sekali tidak ada hubungannya sama Deryl, kecuali rasa trauma yang dia tinggalkan dan pengkhianatan yang mungkin akan sulit saya lupakan dalam waktu cepat.” Kavita menjelaskan. “Saya cuma tidak ingin ... melakukan kesalahan yang sama.”“Jadi kamu pikir saya sama seperti mantan suami kamu?”“Saya tidak pernah bilang seperti itu ... tolong beri saya waktu untuk berpikir. Kita tidak bisa gegabah, apalagi pernikahan resmi bukanlah sesuatu yang sebentar—jadi jangan sampai Anda salah memilih orang.”Ezra masih
“Saya akan secepatnya hubungi kamu lagi, karena ini sifatnya masih uji coba.” Shadan menjawab tanpa kepastian.“Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah sangat senang bisa uji coba di sini, kantor Anda mengingatkan saya pada kantor lain ....”“Kantor kamu sebelumnya? Di mana?”“Kalau tidak salah namanya ... oh ya, Dyaksa Company!” jawab Deryl segera.Shadan tertegun, berpikir kalau dirinya salah dengar.“Dyaksa Company? Kamu yakin?” Shadan memastikan.“Tentu saja yakin, Pak. Saya kan pernah ke sana,” angguk Deryl. “Memangnya ada apa ya, Pak?”Shadan tidak segera menjawab. Ini sangat menarik, batinnya dalam hati. Bisa dipastikan kalau Deryl juga mengenal pemilik Dyaksa Company.“Tidak apa-apa, kebetulan saya tahu perusahaan itu. Jadi ... bisa kamu ceritakan pengalaman apa saja yang kamu dapatkan selama bekerja di Dyaksa Company?” tanya Shadan layaknya wawancara kerja.“Oh, saya ... saya tidak kerja di sana, Pak!” “Apa? Terus kamu ngapain?”Deryl terdiam, dia tidak mungkin menceritaka
Kavita terbelalak saat Karin muncul di ruangan mereka.“Kalian bisa pesan apa pun sama Karin, tiap pagi dia akan berkeliling mengantar minum.” Pasha menjelaskan.Karin hanya tersenyum gugup di hadapan para seniornya.“Kamu betah kerja di sini, Rin?” tanya Kavita saat jam makan siang dan melihat mantan adik iparnya yang sedang memesan makan.“Bukan betah sih, Kak. Tapi bersyukur,” jawab Karin apa adanya. “Dari kerjaan inilah aku dapat uang.”“Memangnya kakak kamu belum kerja?”“Belum, tapi katanya sudah diterima kerja kantoran.”“Di mana? Bukan di kantor ini kan?” Kavita memastikan.“Kayaknya bukan, Kak.” Karin meringis. “Kakak nggak mau lagi bertemu Kak Deryl ya?”“Masalahnya nanti Yura cemburu kalau tahu suaminya satu kantor sama aku,” kilah Kavita. “Aku cuma tidak mau ribut saja kok, Rin.”“Aku juga belum tahu pasti kantornya di mana kok, Kak. Yang pasti bukan di sini,” ujar Karin menenangkan. “Duluan ya, Kak?”Kavita mengangguk, dia cukup terkesan dengan perubahan sikap
Selama sepersekian detik, Ezra sudah akan memalingkan wajahnya. Namun, dia teringat tentang ucapan Kavita yang memintanya untuk percaya diri.“Kami duluan, Tuan Danadyaksa?” Ezra mengangguk hormat ke arah Endrawan, setelah itu dia berbalik pergi dan mendahului mereka untuk masuk ke dalam gedung.“Ayo, Yah?” Shadan menoleh ke arah Endrawan yang berdiri mematung. “Hei kamu, tunggu di sini ya?”Selanjutnya dia mengalihkan pandangannya kepada Deryl yang masih menatap lurus ke arah Ezra yang berlalu bersama Pasha.“Kenapa kamu melihatnya seperti itu?” tanya Shadan curiga. “Kamu kenal dia?”Deryl terhenyak, dia samar-samar mengingat Ezra yang dulu pernah dia temui dalam rangka menuntut hak dari gaji yang dimiliki Kavita. Namun, tentu saja Deryl tidak mungkin mengatakan hal yang terus terang kepada Shadan.“Ayo!” ajak Endrawan ketika melihat Shadan tidak segera melangkah dan malah menatap Deryl dengan sorot mata curiga.“Oke, Yah—jaga mobilnya!” bisik Shadan yang disambut anggukan ku
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay