Kavita mengangguk dan berusaha untuk tidak bersikap mencolok, dia merasakan tatapan tajam menusuk dari salah seorang anggota keluarga Danadyaksa yang mengarah kepadanya dari sudut ruangan. Para orang tua terpantau belum hadir di ruang makan, sehingga sebagian anggota keluarga yang sudah hadir memilih untuk menyibukkan diri dengan mengobrol bersama sanak saudara mereka. Dan hanya Pasha yang duduk di meja yang Ezra tempati. “Di mana ayah dan ibumu?” tanya Ezra sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Aku lihat para orang tua belum ada yang hadir.” “Mungkin sedang berkumpul di tempat Om Endrawan, kita tunggu saja.” Kavita diam sambil menjaga sikap, dan tetap menutup mulut jika Ezra tidak mengajaknya bicara. “Wah, wah, siapa ini yang datang!” Suara Shadan terdengar ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di ruang makan, membuat orang-orang yang berada di sana menolehkan wajah ke arahnya. “Halo, Shadan!” balas Ezra elegan, dengan pandangan terarah lurus kepada kakak laki-l
“Saya tunggu di sini,” kata Ezra di depan toilet yang disediakan untuk para pelayan. Kavita mengangguk dan segera masuk melewati pintu dan menghilang di baliknya. Tiba-tiba ada pelayan yang lewat dengan setumpuk baki berisi piring kotor di depan Ezra, baki itu oleng dan membuat sisa-sisa makanan tumpah ke pakaiannya. “Maaf, Tuan! Saya tidak sengaja, saya ... pelayan senior bilang kalau saya harus bisa membawa banyak piring kotor supaya efisien!” ratap pelayan itu. Ezra mengerutkan wajahnya saat melihat bagian depan pakaiannya terkena sisa-sisa masakan seperti sambal, tomat lembek, kuah santan kuning, dan macam-macam lagi. Di saat yang bersamaan ada tiga-empat pelayan perempuan yang muncul dan langsung mendatangi mereka. “Apa yang terjadi?” “Kenapa bisa pecah seperti ini?” “Kamu bisa kerja tidak sih?” Beberapa pertanyaan bernada panik langsung dilontarkan bertubi-tubi kepada pelayan yang teledor tadi. “Maaf, Tuan. Baju Tuan harus dibersihkan dulu ....” “Saya akan pinjamkan ba
Pasha ikut berpikir keras. Sebagai asisten pribadi, sangat tidak mungkin jika Kavita pergi begitu saja tanpa pamit kepada atasan yang mempekerjakannya. “Aku sedang tidak bawa orang-orangku pula!” Ezra nyaris melempar ponselnya ketika Kavita tidak kunjung bisa dihubungi. “Tenang dulu, aku yakin kalau Kavita tidak jauh-jauh dari sini!” sahut Pasha. “Kawasan ini sangat luas, mungkin dia tersesat atau apa ....” “Masalahnya dia tidak menjawab teleponku, itu yang bikin aku berpikir macam-macam!” “Aku akan suruh orang-orang ayahku untuk bantu mencari Kavita, tenang saja.” “Tidak usah, aku akan mencarinya sendiri.” Ezra berkeras menolak, tapi Pasha langsung melesat pergi menuju meja yang ditempati oleh kedua orang tuanya. “Yah, bisa suruh orang untuk mencari asisten pribadi Ezra?” pinta Pasha buru-buru. “Memangnya apa yang terjadi?” sahut sang ibu dan Pasha lantas menceritakan kronologi hilangnya asisten pribadi Ezra. “Oke, ayah akan telepon orang-orang ayah. Tapi jangan bilang kalau i
“Ya, ambil daging di lemari pendingin dulu.” Monic menunjukkan kepada Kavita sebuah ruangan dengan suhu rendah dan penuh stok makanan beku termasuk daging. Ketika Kavita melangkah masuk ke dalam, Monic mendorongnya dan segera menutup ruangan itu rapat-rapat. “Nona Monic!” Kavita cepat-cepat berbalik dan menggedor pintu. “Keluarkan saya dari sini! Nona Monic!” Tangan Kavita terus menggedor-gedor pintu karena dia tidak mungkin bertahan lama di ruangan pendingin bersuhu rendah tanpa alas kaki seperti ini. “Wanita itu benar-benar gila ...” keluh Kavita, ucap hangat muncul dari hidung dan bibirnya. Hawa menggigil mulai menyerang, rasa dingin yang dahsyat terasa menusuk hingga ke tulang. “Siapa saja, tolong!” Kavita masih berusaha keras menimbulkan bunyi keras pada pintu ruang pendingin yang terkunci rapat. “Buka pintunya! Saya terkunci, tolong!” Kavita teringat dengan tas dan ponselnya yang tertinggal di luar karena Monic berkeras memaksanya untuk meletakkan barang-barang itu di kursi
Ezra lantas mengarahkan tatapan matanya yang setajam silet ke arah Monic yang berdiri congkak di dekat mereka.“Jangan mau diperalat sama perempuan rendah itu, Ezra!” Monic membela diri.“Tutup mulutmu!” sentak Ezra. “Kamu kira aku tidak lihat apa yang kamu lakukan?”“Tapi dia juga menamparku lebih dulu!” bantah Monic dengan napas tersengal.Ezra beralih menatap Kavita. “Saya cuma berusaha melindungi diri ... saya juga kena tampar ...” Kavita menyentuh wajahnya dan Ezra bisa melihat sudut bibirnya yang lecet.“Kamu bisa berdiri?” tanya Ezra pelan.Kavita mengangguk, dia sengaja menunjukkan kepada siapa saja yang menyaksikan bahwa dirinya adalah wanita lemah yang wajib mendapatkan perlindungan dari perundung bar-bar seperti Monic.“Hati-hati,” kata Ezra.Monic menyipitkan matanya dengan geram saat melihat Kavita berpegangan pada lengan Ezra sembari berdiri dari posisinya.“Kamu jangan percaya sama sandiwara dia, Zra! Perempuan itu cuma pura-pura lemah!” seru Monic tidak teri
Ezra tidak menjawab, dia bimbang harus menceritakan hal yang sesungguhnya atau tidak mengenai masa lalu yang pernah dijalaninya bersama Monic. “Tapi ...” Kavita melanjutkan ucapannya dengan ragu-ragu. “Kalau Anda mau ubah rencana, saya rasa tidak apa-apa dicoba ....” “Maksud kamu?” tanya Ezra tidak mengerti sambil tetap memegang kapas yang menempel di sudut bibir Kavita. “Anda kan mau mengambil hak Anda di keluarga itu ... Kalau saya lihat, Nona Monic itu sangat peduli sama Anda. Jadi ... kenapa Anda tidak coba minta bantuan dia untuk membantu mewujudkan rencana ini?” Ezra menatap Kavita lebih intens, saat itu tanpa sengaja tangannya menekan kapas yang menempel di sudut bibir Kavita. “Pak, sakit ...! Jangan dipencet!” protes Kavita. “Oh ... ini kan gara-gara kamu sendiri,” sahut Ezra tenang. “Siapa suruh bicara ngawur soal rencana saya.” “Kan saya cuma usul, karena saya lihat Nona Monic sangat memperhatikan Anda ... bahkan bisa menilai siapa saja yang pantas untuk jadi asisten
“Monic, ayah minta maaf. Tidak ada yang bisa ayah lakukan selain mencegah kamu agar tidak lagi mencintai Ezra, tolong ....”Monic menatap nyalang kepada pria itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Endrawan Danadyaksa.“Atau kamu mau ayah carikan jodoh?” Endrawan menawari.“Tidak,” tolak Monic mentah-mentah.“Monic, kamu harus memikirkan masa depanmu. Ayah lihat, Ezra sudah bisa bersikap normal sama kamu—jadi seharusnya kamu juga melakukan hal yang sama.”Monic mengepalkan tangan, dia masih tidak terima dengan kenyataan yang ada meskipun di sisi lain Ezra sudah berlapang dada sejak mengetahui kenyataan pahit itu.“Ayah tahu ayah yang paling bertanggung jawab atas apa yang kamu alami, ayah minta maaf ... Tapi ayah juga tidak ingin masa depan kamu hancur karena memaksakan hubungan ini.” Endrawan meneruskan. “Ayah sayang kamu, juga anak-anak ayah yang lain. Ayah harap kamu bisa mengerti, Monic. Jangan lakukan hal itu lagi, oke?”Monic diam saja, masalahnya dia tidak bisa berja
Dyaksa Company awalnya hanya anak perusahaan kecil yang diberikan kepadanya sebagai imbalan supaya Ezra dan ibunya tidak menampakkan diri lagi di hadapan keluarga besar Danadyaksa.Setelah Ezra dewasa, selama bertahun-tahun dia mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya sehingga mampu membuat Dyaksa Company tumbuh menjadi perusahaan pembuat sepatu yang produknya mampu menembus pasar-pasar negara tetangga.“Aku siap menjadi rintangan besar bagi langkah Shadan untuk memajukan perusahaannya,” pungkas Ezra dengan senyum mencekam. “Pertemuan itu akan jadi saksi persaingan antar anggota keluarga Danadyaksa.”Pasha mengangkat jempolnya.“Tapi ngomong-ngomong ...” Ezra melirik curiga ke arah Pasha. “Kenapa kamu mau repot-repot?”“Repot-repot kenapa?”“Repot segalanya, kenapa kamu harus susah-susah mendatangi aku? Bahkan mau-maunya menjadi penghubung antara aku dan ayahku.”Pasha tidak buru-buru menjawab.“Kalau kamu punya tujuan terselubung, lebih baik katakan saja semuanya sekarang. A
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay