“Maaf Pak, saya tidak tahu kalau Anda sudah pulang!” Kavita menunduk dengan sikap bersalah.Ezra menyipitkan matanya ke arah kepala Kavita yang menunduk.“Kamu masih juga memberikan ruang bagi Adya untuk berinteraksi sama kamu?“Kami masih berinteraksi secara wajar kok, Pak. Tidak seperti yang Anda pikirkan, apalagi tugas kami berbeda.” Kavita menjelaskan tanpa memandang Ezra.“Terus siapa pacar yang kamu maksud tadi itu? Yang kamu bilang tegas dan tidak bisa dibantah?’Kavita terdiam, jawaban tadi khusus dia berikan untuk Adya saja sebenarnya. Karena fakta menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak memiliki pacar. “Saya ... bilang begitu untuk ... menjaga jarak dengan Adya,” ucap Kavita, masih belum berani mengangkat pandangannya. “Saya tidak punya pilihan lain, tidak mungkin kan kalau saya bercerita tentang pernikahan kontrak kita?”Ezra menarik napas. Sebetulnya dia agak-agak tersinggung dengan sebutan pacar yang disematkan Kavita untuknya.“Jadi menurut kamu saya ini tegas,
Kavita mengerutkan keningnya, tapi dia enggan bertanya lebih jauh kalau Ezra sudah berkehendak.“Pak Sahrul, makan dulu!” Tukang kebun yang dipekerjakan Ezra itu menoleh saat suara Kavita memanggilnya.“Iya, Mbak ... Biasanya nanti kalau Tuan dan yang lain sudah selesai makan ....”“Tidak apa-apa makan sekarang, Pak! Adya, kamu juga!” Kavita menoleh ke arah sopir Ezra yang sedang mengelap kaca mobil.“Memangnya kenapa kami disuruh makan sekarang, Vit?” tanya Adya heran.Senada dengan Adya, Sahrul juga terlihat sungkan karena biasanya mereka makan setelah Ezra dan keluarga selesai.“Nyonya Miranti sedang merayakan sesuatu,” ucap Kavita memberi tahu. “Pabrik sepatu Pak Ezra saat ini sedang sibuk-sibuknya memenuhi pesanan ....”“Syukurlah!” ucap Sahrul ikut senang. “Kamu sendiri sudah makan, Mbak?”“Saya nanti menyusul, Pak. Adya, ayo!” panggil Kavita sekali lagi.“Oke, Vit.”Setelah hampir semua pekerja berkumpul di dapur kecuali penjaga pos depan rumah, Kavita kembali ke ru
Ezra tidak lagi berkomentar, sebagai gantinya dia meraih tangan Kavita dan menggenggamnya sepanjang langkah kaki mereka menapak.Kavita bukannya tidak tahu, tapi dia juga bingung harus bersikap bagaimana selain membiarkan Ezra menggenggam tangannya seakan-akan mereka memiliki hubungan yang spesial.Di salah satu bagian mal, ternyata Karin sedang nongkrong bersama teman-teman sekolahnya.“Shopping, yuk?”“Tanggal tua nih!”“Aku belum dapat transferan dari orang tua!”Karin memilih diam sembari menyeruput es cokelatnya. Dia yang tidak punya uang sepeser pun untuk belanja, terpaksa hanya diam mendengarkan keluhan teman-temannya.“Nggak seru deh kalian, mumpung kita ada di sini ....”“Memangnya kamu mau bayar? Aku benar-benar tinggal yang saku sampai akhir bulan!”“Kamu sendiri gimana, Rin?”Karin tersentak ketika ada yang memanggil namanya.“Sama, aku juga nggak punya duit.” Dia meringis. “Es ini saja yang bayar Mela.”“Duh, terus kita ngapain ini di mal kalau nggak belanja?”
“Tapi, Pak ... Anda kan tidak boleh makan sembarangan.” Kavita mengingatkan. “Masalahnya pencernaan Anda kan sangat sensitif.”“Itu dulu saat masih kecil, sekarang saya sudah dewasa—seharusnya sih tidak apa-apa.”Kavita tidak menjawab, dia memilih jalan paling aman yaitu menuruti apa yang menjadi keputusan Ezra.Begitu tiba di taman, perhatian Kavita langsung teralihkan kepada para pedagang yang mulai berjualan.“Anda tinggal pilih mau beli yang mana,” ujar Kavita sambil mengarahkan langkah Ezra menuju pedagang yang menjual aneka macam es. “Saya mau beli cokelat dingin.”“Kopi ada?”“Ada, saya pesankan kalau Anda mau.”Ezra mengangguk singkat dan Kavita segera meminta kepada penjual untuk membuatkan es kopi dan es cokelat.“Berapa semua?” tanya Ezra sambil mengulurkan kartu debitnya.Kavita menggeleng perlahan sambil mendorong halus tangan Ezra. “Saya ada uang tunai kok.”Selesai membeli es, Kavita mengajak Ezra berkeliling lagi. “Capek, Pak?”“Biasa saja.”Kavita menaha
“Nenek bicara apa sih?” elak Ezra. “Aku cuma makan jajanan di taman tadi ....” “Apa? Kamu kan tidak boleh makan sembarangan, apalagi jajanan pedas! Kavita, kenapa kamu biarkan cucu saya mengonsumsi makanan luar?” Kavita terperanjat ketika nada suara Miranti naik beberapa oktaf, padahal selama ini wanita itu hampir tidak pernah bersuara keras terhadapnya. “Sa—saya sudah berusaha melarang Pak Ezra, tapi ....” “Kamu biarkan dia makan sembarangan kan?” “Saya sudah larang, Nyonya. Tapi ....” “Aku yang memaksa, Nek. Jangan memarahi Kavita,” potong Ezra cepat-cepat. “Makan apa kamu tadi?” tanya Miranti galak. “Aku tidak ingat namanya, daging ayam yang digeprek sambal itu ... Nenek tahu, ayam geprek ....” “Kamu makan ayam geprek?” Mata Miranti membulat sempurna, kemudian perlahan redup menyisakan pandangan berkaca-kaca. “Bisa-bisanya kamu, Ezra ... Dari kecil kamu tidak kuat makan pedas! Masa kamu tidak ingat?” Ezra diam, ekspresi wajahnya terlihat masih menahan sakit. Lebih-lebih K
Ezra berdecak. “Kamu ini banyak omong sekali, ya? Mau kerja atau tidak?” “Santai saja, Zra. Aku cuma penasaran sama dia, siapa namanya?” “Rahasia,” ketus Ezra. Tepat saat itu Kavita masuk ke kamar untuk mengantarkan sarapan Ezra. “Silakan, Pak.” “Mbak, kamu namanya rahasia ya?” celetuk Pasha tiba-tiba. “Maaf, maksud Bapak?” “Jangan panggil Bapak, saya masih muda ini ....” “Jangan dengarkan dia,” sela Ezra datar. “Taruh saja sarapannya di situ, tolong tinggalkan kami sebentar.” “Baik, Pak.” Kavita mengangguk dan pergi meninggalkan Ezra bersama tamunya. “Jadi apa tugas aku hari ini?” tanya Pasha yang kembali fokus. “Kamu gantikan aku di kantor, nanti akan dijelaskan lebih lanjut sama sekretaris aku.” “Oke, memangnya kamu sakit apa sih?” “Cuma salah makan.” “Yakin? Aku bisa saja bilang sama om tentang penyakit kamu, biar dia kirimkan dokter terbaik yang mereka punya ....” “Aku cuma salah makan, bukan sakit parah!” tukas Ezra. “Cepat sana ke kantorku, jangan harap aku akan m
“Tadinya saya tidak peduli dengan yang namanya hak saya di keluarga besar Danadyaksa, tapi ... Mengingat ayah saya di sana dan ibu saya seharusnya juga memiliki hak, saya berubah pikiran.”Kavita mendengarkan cerita Ezra dengan saksama.“Karena itu, saya ingin kita menikah resmi.”“Apa? Tapi, Pak ....”“Kenapa? Kamu menolak? Kembalikan uang saya kalau begitu.”“Sebentar, sebentar, setidaknya kasih saya waktu untuk berpikir dulu, Pak!” Ezra menyandarkan punggungnya ke kursi dan melipat kedua tangan di depan dada, sorot matanya terarah lurus kepada Kavita, memancarkan aura intimidasi yang kuat terhadap lawan bicara di hadapannya kini.“Berpikir? Untuk apa kamu berpikir lagi? Satu tahun lebih kita menikah kontrak apa belum cukup untuk membuat kamu mempertimbangkan pernikahan resmi?”Kavita memegang keningnya, berusaha menata pikirannya yang mulai bercabang karena mendadak Ezra memintanya untuk menikah sungguhan.“Kenapa harus menikah resmi, Pak? Sebelumnya Anda minta saya untu
Ketika Kavita dan Pasha sudah duduk di tempatnya masing-masing, Adya segera mengemudikan mobil Ezra menuju kediaman keluarga besar Danadyaksa.Keluarga yang tidak pernah dia harapkan akan dimilikinya karena konflik internal yang sangat rumit.Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan yang tercipta di antara mereka berempat. Adya sibuk mengemudi, Kavita sesekali mengecek ponselnya, sedangkan Ezra dan Pasha sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.Perjalanan itu mereka lalui hampir satu jam lamanya, tapi Kavita tidak berani mempertanyakan kepada Ezra kenapa tujuan mereka tidak sampai-sampai juga.Adya sendiri mengemudi di bawah komando Pasha, yang rutin memberi tahu rute mana saja yang harus mereka lewati.“... kita sudah sampai kawasan Danadyaksa, tapi untuk sampai ke rumah utama masih sepuluh menitan lagi—kamu ingat kan, Zra?” tanya Pasha sembari melirik Ezra melalui kaca spion.“Entahlah, memangnya apa yang harus aku ingat dari tempat ini?” balas Ezra acuh tak acuh. “Aku juga j
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay