Dengan rikuh, Kavita mendekati Monic dan keduanya terlihat berpose dengan berbagai gaya. Monic terlalu antusias saat mengubah posenya, hingga tanpa sengaja Kavita terdorong jatuh ke dalam danau.“Astaga! Oh tidak!” jerit Monic histeris sembari berjongkok di atas jembatan kayu. “Ya ampun!”“Vita!” Adya langsung berlari ke bibir danau. “Aku akan cari bantuan! Kamu jaga di sini, jangan tinggalkan dia—aku mohon!” pinta Monic dengan wajah pucat, cepat-cepat dia berlari meninggalkan taman untuk mencari bantuan. Namun, begitu jaraknya dengan Adya sudah cukup jauh, Monic sengaja menghentikan larinya dan berjalan pelan seolah tidak terjadi apa-apa.“Huh, merepotkan saja. Aku pikir dia secantik aku ... Dengan begini Ezra tidak akan semudah itu berpaling dariku—sekalipun hubungan kami adalah terlarang ....”Sementara itu di dapur, Ezra mulai bosan menunggu. “Dia lama sekali, apa tidak sebaiknya aku langsung masuk saja ke kamarnya?” gerutu Ezra tidak sabar. “Waktuku juga terbatas, sebenar
Namun, dia tidak mungkin menceritakannya kepada Ezra sekarang. Terlebih masih ada Monic yang berada di sekitar mereka ....“Pak Ezra ...?” Kavita memandang bingung ke arah wajah-wajah yang balas memandangnya, dia masih terbatuk-batuk kecil.“Jangan bicara dulu,” cegah Ezra sambil membantu Kavita untuk bangun dari posisinya. “Bisa-bisanya kamu tercebur ke danau, ceroboh.”Monic terkikik, sementara Adya memandang ke arahnya dengan geram. “Saya tercebur, Pak ... Bukan sengaja terjun ...” ucap Kavita lemah, ucapan Ezra kali ini membuatnya sedikit sakit hati.“Sudah saya bilang jangan banyak bicara dulu—Adya, bawa mobilnya ke sini!”“Kamu mau ke mana?” sela Pasha sebelum Adya menjawab. “Tidak mungkin kamu bawa Kavita dalam keadaan basah kuyup begitu, kan?”“Menurutmu bagaimana? Di sini tidak aman, ternyata!” “Setidaknya biarkan mereka mengeringkan pakaiannya, lihat! Sopir kamu juga basah kuyup begini ...” Pasha menyarankan.“Atur sajalah,” ketus Ezra sambil melangkah pergi menin
“Siapa yang tega berbuat seperti ini—apa maksudnya?” Ezra tiba-tiba muncul di dapur dan mengagetkan mereka berdua. “Mana Kavita?” Pasha dan Adya sama-sama terpaku di tempat duduk mereka. “Itu ... katanya sedang di kamar pelayan, biarkan saja dulu ... Dia tidak bawa pakaian ganti soalnya,” jelas Pasha sambil tersenyum rikuh. “Kamu mau minum teh dulu?” “Sudah tadi,” sahut Ezra sambil duduk di salah satu kursi. “Sekarang jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, kalian berdua pasti tahu sesuatu kan?” Baik Pasha maupun Adya tidak ada yang langsung menjawab pertanyaan Ezra, membuat bos muda itu berang dan menatap keduanya bergantian. “Bagaimana bisa Kavita jatuh ke danau, bukankah saya sudah suruh kamu dan dia untuk menunggu di parkiran?” tanya Ezra kepada Adya karena seingatnya hanya dia saja yang saat itu bersama Kavita. Pasha melirik Adya yang terlihat bimbang. “Aku akan berjaga di luar untuk memastikan kalau Monic tidak akan menguping pembicaraan kalian,” katanya sambil berdiri dari
Monic meletakkan ponselnya dan mendongak menatap Shadan. “Kedatangan Ezra ke sini kan? Menurutmu apa? Dia mau ambil bagian?” tebak Monic yakin. “Lebih dari itu, ayah kita sudah menyiapkan tempat untuknya di sini.” Monic terdiam, kemudian nyengir perlahan. “Apa itu? Kenapa kamu tertawa?” tanya Shadan tersinggung. “Kenapa ya? Aku tahu kalau kamu merasa takut bagianmu berkurang kan? Hah, di otakmu cuma ada harta saja!” cela Monic. “Tutup mulutmu, jelas saja aku tidak suka kalau Ezra menampakkan batang hidungnya ke sini lagi. Tidak cuma aku yang terancam, tapi kamu dan anggota keluarga lainnya.” Shadan mengembuskan napas panjang. “Dia beruntung karena datang di saat yang tepat, sebagian keluarga sedang berlibur ... Apa boleh buat.” Monic bangun dari posisinya, lalu pura-pura berpikir. “Kenapa kamu harus repot-repot memikirkan itu? Nikahkan saja kami, maka aku yang akan menjamin kalau Ezra tidak akan keluar dari batasannya.” “Kamu sudah gila, Mon? Hubungan kalian itu terlarang!” “
Ezra mengulurkan tangannya secara resmi.“Tentu saja, deal.” Kavita menyambut uluran tangan Ezra dan menjabatnya dengan erat.Setelah izin selama dua hari karena sakit, Kavita kembali masuk kerja seperti biasa.“Ke mana saja kamu, Vit?” Siska adalah orang pertama yang menyambut kehadirannya. “Tumben cuti tidak bilang-bilang?”Kavita duduk di kursinya dan menyahut, “Aku tidak cuti, tapi izin sakit.”“Sakit apa?”“Meriang.”“Aku kira hamil,” celetuk Siska, membuat Kavita terkaget-kaget. “Hamil sama siapa?” “Ya mana aku tahu!” Siska malah tertawa terbahak, membuat Kavita meliriknya curiga.“Sedang bahagia sepertinya?” komentar Kavita. “Ada info apa nih?”Mendadak, ekspresi wajah Siska mendadak berubah dan dia menarik napas panjang.“Aku ... kelihatannya aku mantap mengambil keputusan untuk bercerai dari Roni.” Dia memberi tahu.“Serius, Sis?” “Tentu saja, aku sudah mempertimbangkan semua hal ... termasuk anak-anak kami, Saga dan Cilla sudah mengetahui kelakuan ayahnya. J
Namun, Ezra berhenti sesaat ketika jarak mereka tinggal beberapa senti saja. Dia justru teringat momen yang cukup mengesalkan hatinya itu. Kenapa di saat Ezra memandang bibir Kavita, bayangan Adya tiba-tiba muncul begitu saja di kepalanya? Tangan Ezra terkepal saat mengingat bagaimana Adya memberikan napas buatan kepada Kavita setelah terjadi musibah di pinggir danau .... “Pak?” panggil Kavita ragu-ragu. “Anda tidak apa-apa?” Ezra mengerjabkan matanya dan kembali fokus menatap sang istri kontrak. “Dari kejadian di danau itu, saya bisa lihat seberapa dekatnya Adya sama kamu.” Dia menekankan, mendidih rasanya jika membayangkan Kavita sering berciuman dengan Adya tanpa sepengetahuan Ezra. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda, Pak ....” “Saya lihat sendiri dengan sangat jelas.” “Lihat apa?” “Lihat apa yang tidak kamu lihat.” Kavita terperangah, kedua pipinya semakin memerah. Dia jauh lebih suka jika pembicaraan super sensitif ini dilakukan dalam posisi yang seharusnya. “Sebaikny
“Jangan macam-macam atau aku tendang kamu keluar dari kantorku,” ancam Ezra sungguh-sungguh.Pasha tersenyum lebar mendengar ancaman yang dilontarkan oleh saudara sepupunya itu.“Jadi betul dugaanku kalau kamu ada hati sama pegawaimu itu?”Ezra tidak menjawab dan melanjutkan pekerjaannya.“Aku sarankan supaya kamu terus terang tentang latar belakang kamu termasuk keluarga kita,” sambung Pasha dengan suara berat. “Untuk jaga-jaga biar dia tidak kaget dengan segala konflik keluarga yang mungkin tidak akan ada habisnya.”Ezra masih diam, sejauh ini dia belum bisa sepenuhnya mempercayai Pasha.Alasannya adalah karena Pasha merupakan salah satu anggota keluarga besar Danadyaksa.“Aku tidak pernah bilang kalau aku menganggap keluarga Danadyaksa sebagai bagian dari diriku,” kata Ezra dengan nada tidak peduli.“Tapi ayahmu kan ....”“Pengakuan ayahku tidak serta merta membuat aku merasa dianggap ada, paham kan?” sela Ezra sembari menyerahkan kembali berkas itu kepada Pasha yang duduk
Dia tidak habis pikir dengan Ezra, bisa-bisanya bermesraan sedemikian rupa di dalam kantor. Sementara Kavita sendiri senantiasa ditekan dengan ketat untuk menjaga batasan interaksi sosial antara pegawai yang lainnya.“Sudah, Vit?” sambut Siska begitu Kavita muncul.“Sudah, tapi aku titipkan Reni ....”“Kenapa tidak kamu serahkan sama Pak Ezra langsung?”“Dia sedang ada tamu, tidak enak kalau aku tiba-tiba nyelonong masuk.” Kavita beralasan, lalu kembali bekerja dengan pikiran yang sudah tidak sefokus sebelumnya.Apa sih yang aku harapkan dari pernikahan kontrak ini selain hanya uang? Kavita membatin dalam hati. Kalau bukan demi uang, mana pernah terpikirkan dalam benaknya untuk menawarkan diri menjadi istri kontrak seorang Ezra.Sementara itu di dalam ruang kantor ....Ezra melepas kedua tangan Monic dan menguncinya di belakang punggung wanita itu sehingga terkesan jika mereka sedang berpelukan.“Aw, kasar sekali kamu!”“Aku tidak peduli, bukankah aku sudah suruh kamu untuk s
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay