Dia tidak habis pikir dengan Ezra, bisa-bisanya bermesraan sedemikian rupa di dalam kantor. Sementara Kavita sendiri senantiasa ditekan dengan ketat untuk menjaga batasan interaksi sosial antara pegawai yang lainnya.“Sudah, Vit?” sambut Siska begitu Kavita muncul.“Sudah, tapi aku titipkan Reni ....”“Kenapa tidak kamu serahkan sama Pak Ezra langsung?”“Dia sedang ada tamu, tidak enak kalau aku tiba-tiba nyelonong masuk.” Kavita beralasan, lalu kembali bekerja dengan pikiran yang sudah tidak sefokus sebelumnya.Apa sih yang aku harapkan dari pernikahan kontrak ini selain hanya uang? Kavita membatin dalam hati. Kalau bukan demi uang, mana pernah terpikirkan dalam benaknya untuk menawarkan diri menjadi istri kontrak seorang Ezra.Sementara itu di dalam ruang kantor ....Ezra melepas kedua tangan Monic dan menguncinya di belakang punggung wanita itu sehingga terkesan jika mereka sedang berpelukan.“Aw, kasar sekali kamu!”“Aku tidak peduli, bukankah aku sudah suruh kamu untuk s
Ezra menggeleng. “Aku tidak tahu Nek, sifat perempuan itu sama sekali tidak bisa ditebak.” Setidaknya begitulah yang dia yakini, terlebih saat menyaksikan Kavita yang bisa tersenyum lepas ketika ada Adya di dekatnya. Berbeda sekali dengan saat Kavita berada di samping Ezra, tampangnya begitu tegang dan tertekan. “Itu karena kamu tidak mau introspeksi diri.” “Kenapa aku harus introspeksi?” tanya Ezra. “Kavita memiliki pandangan tersendiri tentang siapa saja yang membuatnya nyaman atau tidak nyaman.” Miranti geleng-geleng kepala, lalu dengan susah payah mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang sedang berlangsung di bawah. “Masalahnya adalah kamu itu suaminya Kavita,” tegas Miranti sambil berbalik memandang Ezra. “Suami kontrak, Nek ....” “Nenek tidak peduli, faktanya kamu dan Kavita adalah suami istri.” Miranti memotong. “Kalau nenek jadi kamu, nenek akan introspeksi diri kenapa Kavita bisa lebih ceria saat dia bersama dengan orang lain.” Ezra menarik napas lelah. “Perni
Di saat itulah Ezra baru mengerti apa sekiranya alasan yang menyebabkan Kavita bisa menunjukkan emosinya secara frontal di hadapannya. “Apa? Jadi Monic sudah pernah datang ke kantor ini?” Pasha membelalakkan matanya ketika mendengar pengakuan Ezra sebelum jam kerja usai. “Ya, bisa-bisanya ... Aku pikir pasti ada seseorang yang dengan sengaja memberi tahu dia di mana alamat kantor ini,” ujar Ezra dengan sorot mata menuduh. “Kamu tidak berpikir kalau aku yang sudah memberi tahu Monic kan?” “Siapa yang tahu? Masalahnya cuma kamu satu-satunya orang yang tahu betul lokasi kantor aku.” “Tidak, aku rasa kamu melupakan satu hal. Sebelum aku muncul, bukankah Om Endrawan sudah mengutus orang untuk mengontak kamu?” tanya Pasha logis. “Itu artinya mereka kemungkinan sudah mendapatkan informasi tentang kantor ini sebelumnya.” Ezra terdiam. “Masuk akal juga sih, karena aku pernah mendapatkan telepon juga dari seseorang melalui sekretarisku.” “Nah, jadi terbukti kalau bukan aku yang membocork
“Sanksi seperti apa itu kalau saya boleh tahu?” tanya Kavita, jari telunjuknya terulur dan mendarat di dada bidang Ezra. Lalu perlahan, jemari itu turun dengan lembut dan membelah perut rata sang bos hingga ke pusar. Sebelum ujung jemari Kavita semakin turun ke pusat tubuhnya, Ezra langsung menyambar pergelangan tangan sang istri. “Jangan macam-macam,” tegur Ezra tegas, matanya berkilat tajam. “Atau kamu akan menyesalinya.” Kavita sempat terlonjak kaget, tapi dia masih bisa menguasai diri. “Kenapa? Anda orangnya gampang sekali terpancing, ya?” “Apa maksud kamu? Tanpa kamu pancing pun, saya akan lakukan kalau memang saya ingin melakukannya.” Kavita tersenyum aneh lagi. “Oh, begitu ....” Ezra semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada istri kontraknya. Tidak ada lagi sikap malu-malu dan segan yang terpancar dari wajahnya. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan lawan bicara Kavita tadi, pikir Ezra curiga. “Kamu tahu akibatnya kalau saya sudah bermain,” ancam Ezra, de
“Kenapa begitu, Pak?” tanya Kavita tidak mengerti. “Apa itu tidak terlalu gegabah?” Ezra menggeleng. “Saya membutuhkan kamu untuk lebih sering memperlihatkan diri di keluarga besar ayah saya, di saat itu mereka pasti mempertanyakan status kamu.” “Tapi bukankah kita sepakat untuk memperkenalkan saya sebagai asisten pribadi?” “Saya tahu, tapi akan tiba saat di mana kita harus mengungkapkan status kamu yang sebenarnya sebagai istri saya ....” “... istri kontrak, Pak.” “Mereka tidak perlu tahu kalau kita menikah kontrak,” geleng Ezra. “Oke, itu kita pikirkan kapan-kapan saja. Saya cuma tidak ingin kamu kaget kalau suatu saat saya mengungkapkan status kamu yang sebenarnya di depan keluarga besar ayah.” Kavita terdiam, dia tentu ikut-ikut saja semua rencana Ezra terkait permasalahan keluarga besarnya. “Kalau begitu, apa rencana terdekat Anda? Kunjungan rutin ke rumah keluarga besar?” tanga Kavita selanjutnya. “Seperti itu, setidaknya saya harus memanfaatkan momen ini untuk mengambil
Deryl garuk-garuk kepala, tidak ada lagi aura menyenangkan setiap kali dia memandang wajah Yura yang dulu pernah membuatnya tergila-gila. “Tidak bisakah kamu menghargai berapa pun uang yang aku berikan?” ucap Deryl sembari menahan rasa sakit hati yang mulai terasa. Sangat di luar nalar memang. Pria yang selama ini dianggap sebagai kaum yang mengedepankan logika dibandingkan perasaan, sanggup melemah begitu saja di bawah kaki wanita keduanya. Berbanding terbalik saat Deryl menghadapi istri pertamanya dengan keras hati, tetapi tunduk saat istri kedua merajuk manja dengan segala bujuk rayunya yang memabukkan. “Kamu minta dihargai?” ulang Yura dengan mata menyipit. “Kalau kamu bisa kasih aku nafkah yang banyak seperti dulu, aku pasti akan memperlakukan kamu sebagaimana mestinya.” Deryl mengeraskan rahangnya. “Jadi kamu menghargaiku tergantung seberapa besar uang yang aku berikan?” “Memangnya salah? Itu kan yang dulu kamu janjikan sama aku supaya aku mau jadi istri kedua kamu? Mikir
Kavita mengangguk dan berusaha untuk tidak bersikap mencolok, dia merasakan tatapan tajam menusuk dari salah seorang anggota keluarga Danadyaksa yang mengarah kepadanya dari sudut ruangan. Para orang tua terpantau belum hadir di ruang makan, sehingga sebagian anggota keluarga yang sudah hadir memilih untuk menyibukkan diri dengan mengobrol bersama sanak saudara mereka. Dan hanya Pasha yang duduk di meja yang Ezra tempati. “Di mana ayah dan ibumu?” tanya Ezra sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Aku lihat para orang tua belum ada yang hadir.” “Mungkin sedang berkumpul di tempat Om Endrawan, kita tunggu saja.” Kavita diam sambil menjaga sikap, dan tetap menutup mulut jika Ezra tidak mengajaknya bicara. “Wah, wah, siapa ini yang datang!” Suara Shadan terdengar ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di ruang makan, membuat orang-orang yang berada di sana menolehkan wajah ke arahnya. “Halo, Shadan!” balas Ezra elegan, dengan pandangan terarah lurus kepada kakak laki-l
“Saya tunggu di sini,” kata Ezra di depan toilet yang disediakan untuk para pelayan. Kavita mengangguk dan segera masuk melewati pintu dan menghilang di baliknya. Tiba-tiba ada pelayan yang lewat dengan setumpuk baki berisi piring kotor di depan Ezra, baki itu oleng dan membuat sisa-sisa makanan tumpah ke pakaiannya. “Maaf, Tuan! Saya tidak sengaja, saya ... pelayan senior bilang kalau saya harus bisa membawa banyak piring kotor supaya efisien!” ratap pelayan itu. Ezra mengerutkan wajahnya saat melihat bagian depan pakaiannya terkena sisa-sisa masakan seperti sambal, tomat lembek, kuah santan kuning, dan macam-macam lagi. Di saat yang bersamaan ada tiga-empat pelayan perempuan yang muncul dan langsung mendatangi mereka. “Apa yang terjadi?” “Kenapa bisa pecah seperti ini?” “Kamu bisa kerja tidak sih?” Beberapa pertanyaan bernada panik langsung dilontarkan bertubi-tubi kepada pelayan yang teledor tadi. “Maaf, Tuan. Baju Tuan harus dibersihkan dulu ....” “Saya akan pinjamkan ba
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay