Sebelum baca bab selanjutnya, jangan lupa masukkan ke rak biar muncul notifikasi kalau aku up bab baru, terima kasih:)
Ezra diam membisu, perasaan muak mulai menjangkiti hatinya yang sejak awal tidak terkesan dengan sosok suami Kavita yang resmi.Karena menurutnya, suami yang normal tidak akan mengizinkan istrinya menikah kontrak dengan pria lain apa pun alasannya.Terlebih lagi sampai membebankan tanggung jawab mencari nafkah ke pundak istri, Deryl benar-benar telah mencoreng citra seorang pria sejati yang sesungguhnya.“Bagaimana, Pak? Bisa?” tanya Deryl tanpa malu-malu.“Apa yang membuat kamu merasa berhak atas gaji Kavita?” balas Ezra datar, masih dengan posisinya duduk membelakangi Deryl.“Karena saya ini suaminya, Pak. Dia pernah bilang kalau gajinya belum ditransfer padahal kontrak pernikahan kalian sudah berakhir.”Ezra mengepalkan tangannya, dia ingin sekali rasanya mempermalukan Deryl sampai puas.“Buktinya apa kalau Anda ini adalah suaminya Kavita?” Deryl sontak diam. Bayangan setumpuk uang mulai menari-nari di kepalanya, jadi dengan alasan apa pun dia tidak boleh mundur kali ini.
“Tidak, tidak, Ibu minta lagi saja sama Deryl. Ini saja masih kurang banyak dari yang awalnya dia janjikan dulu sama aku.”Ibu Deryl menarik napas dengan sabar.“Semoga kamu maklum ya, suami kamu sedang berada di situasi susah. Jadi mungkin apa pun yang pernah Deryl janjikan ke kamu bisa terwujud suatu saat nanti.”Yura tidak menjawab, ibu Deryl menganggap bahwa diamnya Yura merupakan tanda penolakan terhadap permintaannya.Setelah mendapatkan jatah bulanan, seperti biasa Yura langsung belanjakan kebutuhan pribadi seperti skincare rutin dan makanan enak-enak untuk dia konsumsi sendiri. Deryl menyipit heran ketika ada kurir yang mengantar paket atau makanan meskipun dia tidak merasa pesan.“Pasti Yura langsung belanja,” batin Deryl dalam hatinya, tapi dia tidak sempat untuk memastikan sendiri karena masih sibuk di toko. Dipikirnya Yura pesan makanan juga untuk sekeluarga.“Bu, masak apa?” Karin muncul di dapur. “Lapar berat aku ....”“Kamu duduk dulu, ibu buatkan teh hangat ya
Ezra menyipitkan matanya saat mendengar Kavita lagi-lagi menyebut nama Adya. “Kamu ini tidak peka sama sekali, ya?” “Peka? Bagaimana maksudnya ...?” “Kalau saya bilang akan mengantar kamu, itu artinya cuma akan ada saya dan kamu saja.” Kavita tertegun mendengar ada ketegasan dalam nada suara Ezra. “Tapi, Pak ... Bukankah nanti kalau kita pergi berdua saja, Adya dan yang lain akan berpikir yang tidak-tidak?” Ezra mengangkat bahu. “Biarkan saja mereka bertanya-tanya, saya akan jawab kalau mereka berani bertanya sama saya.” Kavita meringis tertahan, tentu saja dia sangat yakin seratus persen jika mereka lebih memilih untuk tutup mulut daripada bertanya tentang sesuatu yang bukan urusan mereka. “Ya sudah, Pak. Saya tidur duluan ya?” “Kamu sudah mengantuk?” “Iya, lihat Pak ... Mata saya sudah tinggal segaris, saya harus bangun pagi besok.” Ezra mengangguk setuju karena dia sendiri juga sudah cukup penat dengan padatnya pekerjaan di hari itu. Setelah mendapatkan persetujuan, Kav
Langkah Deryl terhenti ketika dia melewati dapur dan mendengar suara Karin yang sedang mengobrol dengan ibunya.“Namanya keputusan kan harus yang terbaik untuk semua orang, sudah bagus-bagus Kak Vita yang menanggung biaya hidup kita ... tapi kita malah ... malah membiarkan Kak Deryl nikah lagi.”“Karin, kita juga bersalah kan? Andai ayah kamu masih ada, tentu ibu juga tidak akan mau ikut Deryl dan hari beban Kavita. Setidaknya ibu tidak perlu menyaksikan penyelewengan yang dilakukan kakak kamu itu ....”Karin menyeka matanya. “Sekarang gimana, Bu? Kak Yura sudah menunjukkan watak aslinya, baik cuma saat Kak Deryl memanjakan dia ... Sekarang setelah keadaan mulai sulit, dia mau enaknya sendiri. Pesan makanan sedikit, dimakan sendiri pula. Beres-beres rumah tidak pernah ....”Deryl menggenggam tangannya sendiri, dia berniat untuk mendidik Yura supaya menjadi istri yang sayang keluarga.Seperti Kavita.“... uangnya bisa cepat habis kalau aku pesan makanan online semua.” Itulah
“Itu piyama punya saya, Pak!” Dia menunjuk tumpukan piyama lain yang sudah disiapkan. “Kenapa Anda tidak tanya dulu?”“Saya kira sama saja,” kilah Ezra sambil melepas piyama milik Kavita yang bahkan tidak bisa dikancingkan sama sekali.Sambil memaksa tawanya agar berhenti, Kavita mengulurkan piyama Ezra yang sesungguhnya.“Kenapa kamu tidak beli gaun tidur saja?”“Emmm ... saya lebih nyaman pakai piyama seperti Anda, Pak. Apalagi yang ini bahannya adem, tidak bikin gerah.”Ezra menerima piyama miliknya dan tanpa sungkan mengganti pakaiannya di depan Kavita, membuat sang istri kontrak refleks membalikkan badan.Beberapa hari kemudian, seolah menjawab kegelisahan Kavita, Karin tiba-tiba meneleponnya.“Ada apa ya?” gumam Kavita seraya memandang layar ponselnya dengan ragu-ragu. “Halo? Karin?”“Kak Vitaaaa!” “Ada apa, Rin? Kok teriak-teriak?”“Nggak apa-apa kok, kak! Kangen saja, gimana kabar Kakak?”“Oh, aku baik! Ada apa kamu telepon aku?” tanya Kavita, tidak ingin memperpan
“Pak, saya tidur di sebelah ya?”“Sebelah mana?”“Maksud saya kamar sebelah,” ucap Kavita dengan bibir pecah-pecah dan mata sayu. “Saya tidak enak badan, takut mengganggu tidur anda.”Ezra mengangguk singkat tanpa berkata apa-apa, tapi Kavita sangat berterima kasih atas pengertiannya.Ketika malam semakin larut, Ezra membuka pintu kamar Kavita yang ternyata tidak dikunci dan melangkah masuk.Wajah lelah Kavita terpejam lelap sehingga tidak menyadari jika sang bos sudah berada di kamar yang sama dengannya.Sepertinya dia betul-betul sakit, pikir Ezra yang tadinya berpikir bahwa Kavita kurang nyaman jika mereka tidur bersama.Setelah istri kontraknya itu benar-benar resmi bercerai dari suami sahnya, Ezra merasa lebih leluasa untuk bertindak.Keesokan paginya ....Kavita terbangun membuka matanya dengan perlahan, kenyamanan yang dia rasakan begitu lekat menyelimutinya sehingga membuat dia betah berlama-lama di tempat tidur.Merem sebentar lagi saja sepertinya tidak masalah, pik
Di saat sudah terjepit seperti ini, pikiran Deryl hanya tertuju kepada satu orang saja. Kavita! “Cuma dia yang bisa menolongku, aku harus menemuinya!” Tangan Deryl mengepal erat. Di tengah rasa keputusasaannya, dia ingat bahwa Kavita-lah sang dewi penolong yang harus bisa dia manfaatkan. Entah bagaimana pun caranya. “Kontrak kita akan selesai lebih cepat sepertinya, Pak.” Kavita menyerahkan jas Ezra sembari berbasa-basi dengannya. “Oh ya? Kamu terlihat yakin sekali.” “Karena sesuai ketentuan, Deryl harus memenuhi tuntutan saya dalam waktu tiga bulan. Sekarang tinggal tersisa kurang dari dua bulan dan ....” “Mantan suami kamu belum memberikan hak kamu sedikit pun kan?” tanggap Ezra sembari mengenakan jasnya. “Bagaimana kalau sampai lebih dari tiga bulan, dia tidak mampu memenuhi kewajibannya?” Kavita yang sedang membantu merapikan jas Ezra, mendadak terdiam. “Tentu saja ... saya masih harus memperjuangkan hal itu, dan karenanya saya masih butuh kontrak ini—untuk membayar jasa
Kavita terkejut ketika Karin tiba-tiba muncul dan memeluknya.“Eh, Karin ...!”“Biarpun Kakak sudah pisah sama Kak Deryl, aku mau kita tetap berhubungan baik ....”Kavita saling lirik dengan Siska yang mengedikkan bahu tidak mengerti. Sorot matanya menyiratkan kebingungan yang besar.“Mau ngobrol apa memangnya, Rin?” tanya Kavita, jujur dia mulai risi karena terus dipeluk seperti ini.“Ngobrol banyak hal, Kak ... tapi nggak enak sama temannya Kakak.” Karin meringis, dan Siska langsung paham apa maksudnya.“Ya sudah, ngobrol saja dulu!” Kavita balas menatap Siska dengan mengangkat dagunya.Sebetulnya dia tidak ingin terikat hubungan terlalu dekat dengan keluarga mantan suaminya, apalagi Karin juga sebelas dua belas dengan Deryl kalau soal uang. Dulu-dulu Kavita dengan senang hati membiayai sekolah Karin atas nama pengabdian terhadap suami tercinta, tapi keputusan Deryl untuk menikah lagi diam-diam seketika membakar habis rasa cinta dalam dirinya.Dan kini Kavita khawatir, b
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay